Ketua Banggar DPR Sebut APBN 2025 Disahkan Sebelum Prabowo Jadi Presiden
Rabu, 05 Juni 2024 - 21:40 WIB
Sepuluh, pembangunan infrastruktur dan hilirisasi belum mampu mengubah haluan ekonomi, untuk menavigasikan ekspor kita lebih bernilai tinggi. Tingkat investasi untuk menghasilkan barang/jasa belum efisien. ICOR Indonesia pada 2014 tercatat 5,5.
”Setelah hampir sepuluh tahun kita menggelorakan pembangunan infrastruktur, skor ICOR kita malah naik di kisaran 6,5 tahun 2023. Padahal negara negara peers, seperti Malaysia di angka 4,5, Thailand 4,4, Vietnam 4,6, dan Filipina bahkan jauh lebih rendah 3,7,” ujar Said.
Sebelas, data di atas menjelaskan setiap penambahan Rp1 miliar ouput dibutuhkan tambahan investasi sekitar Rp6,5 miliar, sementara negara-negara peers hanya di kisaran Rp 3-4 miliar.
“Seharusnya pembangunan infrastruktur dan investasi sumber daya manusia dan teknologi memberi kontribusi besar bagi turunnya koefisien ICOR nasional,” ujar Said
Dua belas, hilirisasi diharapkan menjadi titian tangga menjadi negara industri. Catatan dari LPEM UI, hampir sepuluh tahun terakhir rata-rata nilai tambah manufaktur sekitar 39,12% hingga 2020, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri 43,94%, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 41,64%. “Situasi ini menjadi tanda deindustrialisasi dini, oleh sebab itu pemerintah harus mewaspadai hal ini,” ujar Said.
Tiga belas, insentif pajak atas kebijakan hilirisasi harus diimbangi dengan kewajiban untuk serapan tenaga kerja Indonesia, alih teknologi, dan memperluas cakupan industri manufaktur nasional. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya alam memberikan nilai tambah luas bagi kemakmuran rakyat.
Empat belas, hilirisasi harus menjadi haluan baru kebijakan ekspor dan pengelolaan devisa. Selama ini ekspor bahan mentah, lalu kita beli lagi ketika menjadi barang jadi, dan puluhan tahun kita lakukan ini. “Kita juga belum merasakan manfaat devisa atas hasil ekspor. Mereka mengambil kekayaan alam kita, namun memarkir devisanya ke luar negeri,” ujar Said.
Menurut Said, pimpinan Banggar DPR mendukung pemerintah lebih tegas dan berani mengubah tata kelola devisa untuk kepentingan nasional. Lima belas, agenda untuk memperkuat kemandirian pangan dan energi yang kita canangkan sejak Nawacita 1 juga belum mampu diraih.
“Food trade deficit kita beberapa tahun ini makin dalam, dimulai sejak 2007 hingga kini. Bahkan tahun lalu food trade deficit kita menyentuh 5,3 miliar USD, tertinggi dalam sejarah Republik,” katanya.
Enam belas, demikian halnya sektor energi. Tingkat konsumsi minyak bumi sejak 2003 hingga kini lebih besar dengan produksi dalam negeri. Tahun lalu tingkat konsumsi minyak bumi Indonesia lebih dari 1 juta barel per hari, sementara kapasitas produksi dalam negeri hanya 600 ribu barel per hari, itupun sebagian hak kelolaan perusahaan minyak asing.
”Setelah hampir sepuluh tahun kita menggelorakan pembangunan infrastruktur, skor ICOR kita malah naik di kisaran 6,5 tahun 2023. Padahal negara negara peers, seperti Malaysia di angka 4,5, Thailand 4,4, Vietnam 4,6, dan Filipina bahkan jauh lebih rendah 3,7,” ujar Said.
Sebelas, data di atas menjelaskan setiap penambahan Rp1 miliar ouput dibutuhkan tambahan investasi sekitar Rp6,5 miliar, sementara negara-negara peers hanya di kisaran Rp 3-4 miliar.
“Seharusnya pembangunan infrastruktur dan investasi sumber daya manusia dan teknologi memberi kontribusi besar bagi turunnya koefisien ICOR nasional,” ujar Said
Dua belas, hilirisasi diharapkan menjadi titian tangga menjadi negara industri. Catatan dari LPEM UI, hampir sepuluh tahun terakhir rata-rata nilai tambah manufaktur sekitar 39,12% hingga 2020, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri 43,94%, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 41,64%. “Situasi ini menjadi tanda deindustrialisasi dini, oleh sebab itu pemerintah harus mewaspadai hal ini,” ujar Said.
Tiga belas, insentif pajak atas kebijakan hilirisasi harus diimbangi dengan kewajiban untuk serapan tenaga kerja Indonesia, alih teknologi, dan memperluas cakupan industri manufaktur nasional. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya alam memberikan nilai tambah luas bagi kemakmuran rakyat.
Empat belas, hilirisasi harus menjadi haluan baru kebijakan ekspor dan pengelolaan devisa. Selama ini ekspor bahan mentah, lalu kita beli lagi ketika menjadi barang jadi, dan puluhan tahun kita lakukan ini. “Kita juga belum merasakan manfaat devisa atas hasil ekspor. Mereka mengambil kekayaan alam kita, namun memarkir devisanya ke luar negeri,” ujar Said.
Menurut Said, pimpinan Banggar DPR mendukung pemerintah lebih tegas dan berani mengubah tata kelola devisa untuk kepentingan nasional. Lima belas, agenda untuk memperkuat kemandirian pangan dan energi yang kita canangkan sejak Nawacita 1 juga belum mampu diraih.
“Food trade deficit kita beberapa tahun ini makin dalam, dimulai sejak 2007 hingga kini. Bahkan tahun lalu food trade deficit kita menyentuh 5,3 miliar USD, tertinggi dalam sejarah Republik,” katanya.
Enam belas, demikian halnya sektor energi. Tingkat konsumsi minyak bumi sejak 2003 hingga kini lebih besar dengan produksi dalam negeri. Tahun lalu tingkat konsumsi minyak bumi Indonesia lebih dari 1 juta barel per hari, sementara kapasitas produksi dalam negeri hanya 600 ribu barel per hari, itupun sebagian hak kelolaan perusahaan minyak asing.
tulis komentar anda