Semangat Kartini Tetap Relevan dengan Tafsir Kebangsaan dan Keagamaan Modern
Kamis, 25 April 2024 - 21:52 WIB
JAKARTA - Peringatan Hari Kartini pada 21 April mengingatkan kepada semua pihak akan pentingnya emansipasi kaum hawa. Kesetaraan gender dan penolakan terhadap diskriminasi perempuan merupakan nilai-nilai yang harus terus diperjuangkan dalam konteks keagamaan yang kontekstual.
Direktur Nasional GusDurian Network Indonesia (GNI), Alissa Wahid menyoroti bagaimana semangat emansipasi Kartini bisa mempengaruhi penafsiran agama yang modern terhadap posisi perempuan.
"Semangat perjuangan Kartini mencerminkan nilai-nilai keadilan dan keberanian untuk melawan ketidakadilan. Prinsip Ibu Kartini ini relevan bahkan hingga saat ini, mengingat masih adanya ketidakadilan dan penyalahgunaan tafsiran agama untuk menindas perempuan," kata Alissa dalam keterangannya dikutip, Kamis (25/4/2024).
Dalam konteks tafsir agama Islam, Alissa menyoroti ayat-ayat yang memerintahkan perlakuan baik terhadap perempuan. Menurutnya, ada banyak perintah Allah kepada laki-laki untuk memperlakukan perempuan dengan baik. Ia menegaskan ajaran Islam menekankan perlunya kesetaraan gender dan perlakuan adil terhadap perempuan.
Dirinya mengungkapkan, seiring dengan semangat perjuangan Kartini dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan, penyalahgunaan agama untuk mendiskriminasi wanita seharusnya dapat dihindari. Radikalisasi kaum hawa untuk menyebarkan radikalisme dan terorisme juga harus dilihat sebagai ancaman serius bagi keamanan dan stabilitas masyarakat.
Alissa menyoroti pentingnya memahami ajaran agama secara kontekstual untuk menghindari penafsiran yang ekstrem. Ajaran agama harus dipahami dengan bijak dan kontekstual, agar tidak disalahgunakan untuk tujuan politik atau kekerasan, apalagi menjadikan perempuan sebagai tamengnya.
"Islam mengajarkan perdamaian dan kasih sayang, bukan kekerasan atau intoleransi. Kita perlu memerangi pemahaman yang menyimpang dan merusak citra agama. Agama itu diturunkan untuk menyempurnakan akhlak manusia, bukan sebagai legitimasi untuk merendahkan golongan atau kaum tertentu," katanya.
Ketua Tanfidziyah PBNU periode 2022-2027 ini juga membahas tentang transformasi sosial yang dibawa oleh Nabi Muhammad, sehingga mampu mengubah paradigma masyarakat terhadap perempuan. Sebelumnya, perempuan hanya dianggap sebagai komoditas dan tidak memiliki hak untuk berpendapat. Namun, dengan hadirnya ajaran Islam, perempuan diberi hak-hak yang sama dengan laki-laki, bahkan dalam hal pengambilan keputusan.
Tidak hanya itu, Nabi Muhammad juga mencontohkan untuk bermusyawarah dengan istri ketika mengambil keputusan penting dalam keluarga. Rasulullah juga memberikan hak pada perempuan untuk menolak pernikahan yang tidak mereka inginkan.
Direktur Nasional GusDurian Network Indonesia (GNI), Alissa Wahid menyoroti bagaimana semangat emansipasi Kartini bisa mempengaruhi penafsiran agama yang modern terhadap posisi perempuan.
"Semangat perjuangan Kartini mencerminkan nilai-nilai keadilan dan keberanian untuk melawan ketidakadilan. Prinsip Ibu Kartini ini relevan bahkan hingga saat ini, mengingat masih adanya ketidakadilan dan penyalahgunaan tafsiran agama untuk menindas perempuan," kata Alissa dalam keterangannya dikutip, Kamis (25/4/2024).
Dalam konteks tafsir agama Islam, Alissa menyoroti ayat-ayat yang memerintahkan perlakuan baik terhadap perempuan. Menurutnya, ada banyak perintah Allah kepada laki-laki untuk memperlakukan perempuan dengan baik. Ia menegaskan ajaran Islam menekankan perlunya kesetaraan gender dan perlakuan adil terhadap perempuan.
Dirinya mengungkapkan, seiring dengan semangat perjuangan Kartini dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan, penyalahgunaan agama untuk mendiskriminasi wanita seharusnya dapat dihindari. Radikalisasi kaum hawa untuk menyebarkan radikalisme dan terorisme juga harus dilihat sebagai ancaman serius bagi keamanan dan stabilitas masyarakat.
Alissa menyoroti pentingnya memahami ajaran agama secara kontekstual untuk menghindari penafsiran yang ekstrem. Ajaran agama harus dipahami dengan bijak dan kontekstual, agar tidak disalahgunakan untuk tujuan politik atau kekerasan, apalagi menjadikan perempuan sebagai tamengnya.
"Islam mengajarkan perdamaian dan kasih sayang, bukan kekerasan atau intoleransi. Kita perlu memerangi pemahaman yang menyimpang dan merusak citra agama. Agama itu diturunkan untuk menyempurnakan akhlak manusia, bukan sebagai legitimasi untuk merendahkan golongan atau kaum tertentu," katanya.
Ketua Tanfidziyah PBNU periode 2022-2027 ini juga membahas tentang transformasi sosial yang dibawa oleh Nabi Muhammad, sehingga mampu mengubah paradigma masyarakat terhadap perempuan. Sebelumnya, perempuan hanya dianggap sebagai komoditas dan tidak memiliki hak untuk berpendapat. Namun, dengan hadirnya ajaran Islam, perempuan diberi hak-hak yang sama dengan laki-laki, bahkan dalam hal pengambilan keputusan.
Tidak hanya itu, Nabi Muhammad juga mencontohkan untuk bermusyawarah dengan istri ketika mengambil keputusan penting dalam keluarga. Rasulullah juga memberikan hak pada perempuan untuk menolak pernikahan yang tidak mereka inginkan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda