Akademisi UGM Ingatkan Ajakan Boikot Produk Picu Angka Pengangguran
Selasa, 19 Maret 2024 - 23:56 WIB
JAKARTA - Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi mengkhawatirkan adanya peningkatan angka pengangguran di Indonesia seiring maraknya ajakan boikot produk yang diduga terafiliasi dengan Israel. Sebab, angkatan kerja yang terus bertambah setiap tahun tidak dapat terserap jika banyak perusahaan tutup.
Saat ini sekitar 12% pengangguran di Indonesia didominasi lulusan sarjana dan diploma. "Kasihan para orang tua yang sudah dengan susah payah keluar uang besar untuk menguliahkan anak-anak mereka kalau akhirnya menganggur karena sulitnya mencari pekerjaan. Apalagi dengan ditambah lagi ajakan-ajakan boikot ini mau ke mana para lulusan sarjana kita kalau banyak perusahaan yang tutup," ujarnya, Selasa (19/3/2024).
Di UGM, tempatnya mengajar saja sebanyak 12.000 mahasiswa diwisuda setiap tahun. Belum lagi di universitas-universitas lainnya. Dengan 5% pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka hanya bisa menyerap sekitar satu juta orang per tahun. Sedangkan angkatan kerja Indonesia yang masuk ke pasar kerja setiap tahunnya itu mencapai 2,5 juta.
"Itu berarti kita setiap tahun menciptakan 1,5 juta pengangguran, dan 12%-nya itu adalah lulusan sarjana. Apalagi dengan ajakan-ajakan boikot itu, mau ke mana para lulusan sarjana kita ini nantinya," ucapnya.
Menurut Tadjuddin, sulit hanya mengandalkan perusahaan-perusahaan lokal dan UMKM untuk menampung jutaan pengangguran sarjana di Indonesia. Yang mungkin terjadi adalah semakin banyak orang Indonesia, terutama lulusan sarjana yang mengadu nasib bekerja di luar negeri.
Apalagi beberapa negara sekarang mengalami kekurangan pekerja seperti Jepang, Korea, Taiwan, dan Hongkong.
Dia mendorong pemerintah mengantisipasi lonjakan pengangguran ini seiring isu-isu boikot. Sebab, tugas pemerintah bukan hanya mendidik anak bangsa, tapi juga harus mampu menyalurkan ke bidang-bidang pekerjaan.
Karena itu, dia mengimbau pihak-pihak yang menyerukan ajakan boikot terhadap produk yang diduga terafiliasi Israel bisa melihat dampaknya terhadap para mahasiswa di Indonesia.
Saat ini sekitar 12% pengangguran di Indonesia didominasi lulusan sarjana dan diploma. "Kasihan para orang tua yang sudah dengan susah payah keluar uang besar untuk menguliahkan anak-anak mereka kalau akhirnya menganggur karena sulitnya mencari pekerjaan. Apalagi dengan ditambah lagi ajakan-ajakan boikot ini mau ke mana para lulusan sarjana kita kalau banyak perusahaan yang tutup," ujarnya, Selasa (19/3/2024).
Di UGM, tempatnya mengajar saja sebanyak 12.000 mahasiswa diwisuda setiap tahun. Belum lagi di universitas-universitas lainnya. Dengan 5% pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka hanya bisa menyerap sekitar satu juta orang per tahun. Sedangkan angkatan kerja Indonesia yang masuk ke pasar kerja setiap tahunnya itu mencapai 2,5 juta.
"Itu berarti kita setiap tahun menciptakan 1,5 juta pengangguran, dan 12%-nya itu adalah lulusan sarjana. Apalagi dengan ajakan-ajakan boikot itu, mau ke mana para lulusan sarjana kita ini nantinya," ucapnya.
Menurut Tadjuddin, sulit hanya mengandalkan perusahaan-perusahaan lokal dan UMKM untuk menampung jutaan pengangguran sarjana di Indonesia. Yang mungkin terjadi adalah semakin banyak orang Indonesia, terutama lulusan sarjana yang mengadu nasib bekerja di luar negeri.
Apalagi beberapa negara sekarang mengalami kekurangan pekerja seperti Jepang, Korea, Taiwan, dan Hongkong.
Dia mendorong pemerintah mengantisipasi lonjakan pengangguran ini seiring isu-isu boikot. Sebab, tugas pemerintah bukan hanya mendidik anak bangsa, tapi juga harus mampu menyalurkan ke bidang-bidang pekerjaan.
Karena itu, dia mengimbau pihak-pihak yang menyerukan ajakan boikot terhadap produk yang diduga terafiliasi Israel bisa melihat dampaknya terhadap para mahasiswa di Indonesia.
tulis komentar anda