Akademisi UGM Ingatkan Ajakan Boikot Produk Picu Angka Pengangguran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi mengkhawatirkan adanya peningkatan angka pengangguran di Indonesia seiring maraknya ajakan boikot produk yang diduga terafiliasi dengan Israel. Sebab, angkatan kerja yang terus bertambah setiap tahun tidak dapat terserap jika banyak perusahaan tutup.
Saat ini sekitar 12% pengangguran di Indonesia didominasi lulusan sarjana dan diploma. "Kasihan para orang tua yang sudah dengan susah payah keluar uang besar untuk menguliahkan anak-anak mereka kalau akhirnya menganggur karena sulitnya mencari pekerjaan. Apalagi dengan ditambah lagi ajakan-ajakan boikot ini mau ke mana para lulusan sarjana kita kalau banyak perusahaan yang tutup," ujarnya, Selasa (19/3/2024).
Di UGM, tempatnya mengajar saja sebanyak 12.000 mahasiswa diwisuda setiap tahun. Belum lagi di universitas-universitas lainnya. Dengan 5% pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka hanya bisa menyerap sekitar satu juta orang per tahun. Sedangkan angkatan kerja Indonesia yang masuk ke pasar kerja setiap tahunnya itu mencapai 2,5 juta.
"Itu berarti kita setiap tahun menciptakan 1,5 juta pengangguran, dan 12%-nya itu adalah lulusan sarjana. Apalagi dengan ajakan-ajakan boikot itu, mau ke mana para lulusan sarjana kita ini nantinya," ucapnya.
Menurut Tadjuddin, sulit hanya mengandalkan perusahaan-perusahaan lokal dan UMKM untuk menampung jutaan pengangguran sarjana di Indonesia. Yang mungkin terjadi adalah semakin banyak orang Indonesia, terutama lulusan sarjana yang mengadu nasib bekerja di luar negeri.
Apalagi beberapa negara sekarang mengalami kekurangan pekerja seperti Jepang, Korea, Taiwan, dan Hongkong.
Dia mendorong pemerintah mengantisipasi lonjakan pengangguran ini seiring isu-isu boikot. Sebab, tugas pemerintah bukan hanya mendidik anak bangsa, tapi juga harus mampu menyalurkan ke bidang-bidang pekerjaan.
Karena itu, dia mengimbau pihak-pihak yang menyerukan ajakan boikot terhadap produk yang diduga terafiliasi Israel bisa melihat dampaknya terhadap para mahasiswa di Indonesia.
Tadjuddin menganggap tidak ada alasan bagi Indonesia untuk menolak perusahaan asing selama tidak melanggar dan tidak mengganggu kedaulatan Indonesia. "Karena perusahaan masuk ke Indonesia itu tidak membawa ajaran apa pun, hanya ingin berinvestasi saja. Sementara, kita mau menciptakan lapangan kerja membutuhkan investasi," ujarnya.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyerahkan daftar produk yang diduga terafiliasi Israel kepada masing-masing individu masyarakat untuk memprosesnya itu justru banyak dimanfaatkan pihak-pihak tertentu.
Di sektor hotel dan restoran, keluarnya daftar produk boikot itu sudah menyebabkan penurunan pendapatan hingga 25%-70% tergantung lokasinya.
"Ini kemudian menjadi masalah serius di mana per Desember kemarin sudah kita record, ada 1.000 orang yang terpaksa di-PHK karena memang turunnya sangat luar biasa," tuturnya.
Beberapa ulama mengimbau agar umat Islam berhati-hati, bijak, dan bisa memilih sekaligus memilah produk yang perlu diboikot dan tidak.
Seperti disampaikan pendiri Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) Prof Quraish Shihab yang meminta masyarakat berhati-hati atas ajakan boikot ini. "Pada dasarnya kita harus memboikot yang jelas-jelas membantu Israel, yang tidak, kita harus berhitung dong, apakah dia lebih rugi atau kita lebih rugi?" ujar alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu.
Hal senada juga disampaikan Ketua MUI Lampung Ustaz Suparman. Dia mengimbau tidak memahami fatwa secara sembarangan. Dia lebih setuju jika umat Islam di Indonesia membantu Palestina lewat donasi.
"Itu bukan solusi. Saya hanya ingin katakan, kita tidak boleh mengharamkan sesuatu yang tidak Allah haramkan. Karena sama saja kita sudah menyekutukan Allah," ucapnya.
Umat Islam diimbau mendukung perjuangan Palestina, seperti gerakan menggalang dana kemanusiaan dan perjuangan, mendoakan untuk kemenangan, dan melakukan shalat ghaib untuk para syuhada Palestina. Pemerintah juga diimbau mengambil langkah-langkah tegas membantu perjuangan Palestina.
Saat ini sekitar 12% pengangguran di Indonesia didominasi lulusan sarjana dan diploma. "Kasihan para orang tua yang sudah dengan susah payah keluar uang besar untuk menguliahkan anak-anak mereka kalau akhirnya menganggur karena sulitnya mencari pekerjaan. Apalagi dengan ditambah lagi ajakan-ajakan boikot ini mau ke mana para lulusan sarjana kita kalau banyak perusahaan yang tutup," ujarnya, Selasa (19/3/2024).
Di UGM, tempatnya mengajar saja sebanyak 12.000 mahasiswa diwisuda setiap tahun. Belum lagi di universitas-universitas lainnya. Dengan 5% pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka hanya bisa menyerap sekitar satu juta orang per tahun. Sedangkan angkatan kerja Indonesia yang masuk ke pasar kerja setiap tahunnya itu mencapai 2,5 juta.
"Itu berarti kita setiap tahun menciptakan 1,5 juta pengangguran, dan 12%-nya itu adalah lulusan sarjana. Apalagi dengan ajakan-ajakan boikot itu, mau ke mana para lulusan sarjana kita ini nantinya," ucapnya.
Menurut Tadjuddin, sulit hanya mengandalkan perusahaan-perusahaan lokal dan UMKM untuk menampung jutaan pengangguran sarjana di Indonesia. Yang mungkin terjadi adalah semakin banyak orang Indonesia, terutama lulusan sarjana yang mengadu nasib bekerja di luar negeri.
Apalagi beberapa negara sekarang mengalami kekurangan pekerja seperti Jepang, Korea, Taiwan, dan Hongkong.
Dia mendorong pemerintah mengantisipasi lonjakan pengangguran ini seiring isu-isu boikot. Sebab, tugas pemerintah bukan hanya mendidik anak bangsa, tapi juga harus mampu menyalurkan ke bidang-bidang pekerjaan.
Karena itu, dia mengimbau pihak-pihak yang menyerukan ajakan boikot terhadap produk yang diduga terafiliasi Israel bisa melihat dampaknya terhadap para mahasiswa di Indonesia.
Tadjuddin menganggap tidak ada alasan bagi Indonesia untuk menolak perusahaan asing selama tidak melanggar dan tidak mengganggu kedaulatan Indonesia. "Karena perusahaan masuk ke Indonesia itu tidak membawa ajaran apa pun, hanya ingin berinvestasi saja. Sementara, kita mau menciptakan lapangan kerja membutuhkan investasi," ujarnya.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyerahkan daftar produk yang diduga terafiliasi Israel kepada masing-masing individu masyarakat untuk memprosesnya itu justru banyak dimanfaatkan pihak-pihak tertentu.
Di sektor hotel dan restoran, keluarnya daftar produk boikot itu sudah menyebabkan penurunan pendapatan hingga 25%-70% tergantung lokasinya.
"Ini kemudian menjadi masalah serius di mana per Desember kemarin sudah kita record, ada 1.000 orang yang terpaksa di-PHK karena memang turunnya sangat luar biasa," tuturnya.
Beberapa ulama mengimbau agar umat Islam berhati-hati, bijak, dan bisa memilih sekaligus memilah produk yang perlu diboikot dan tidak.
Seperti disampaikan pendiri Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) Prof Quraish Shihab yang meminta masyarakat berhati-hati atas ajakan boikot ini. "Pada dasarnya kita harus memboikot yang jelas-jelas membantu Israel, yang tidak, kita harus berhitung dong, apakah dia lebih rugi atau kita lebih rugi?" ujar alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu.
Hal senada juga disampaikan Ketua MUI Lampung Ustaz Suparman. Dia mengimbau tidak memahami fatwa secara sembarangan. Dia lebih setuju jika umat Islam di Indonesia membantu Palestina lewat donasi.
"Itu bukan solusi. Saya hanya ingin katakan, kita tidak boleh mengharamkan sesuatu yang tidak Allah haramkan. Karena sama saja kita sudah menyekutukan Allah," ucapnya.
Umat Islam diimbau mendukung perjuangan Palestina, seperti gerakan menggalang dana kemanusiaan dan perjuangan, mendoakan untuk kemenangan, dan melakukan shalat ghaib untuk para syuhada Palestina. Pemerintah juga diimbau mengambil langkah-langkah tegas membantu perjuangan Palestina.
(jon)