Guru Besar Emeritus Unpad Sebut Pemilu 2024 Paling Amburadul
Senin, 18 Maret 2024 - 23:03 WIB
JAKARTA - Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Romli Atmasasmita menilai kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 merupakan pesta demokrasi paling buruk dan banyak diwarnai kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Penilaian ini dilakukan Romli dengan membandingkan 7 kali Pemilu yang pernah diikutinya.
Menurut dia, Pemilu kali ini yang paling hancur. "Saya sudah 7 kali ikut pemilu. Saya lahir 1944, jadi tahu. Ini yang paling amburadul. Biar KPU, Bawaslu, Polri mengatakan ini sudah lurus, ini kalau bahasa saya, governmental crime. Kejahatan yang dilakukan pemerintah. Pertanyaannya siapa yang bisa mengadili?" ujar Romli dalam diskusi publik bertajuk 'Sirekap dan Kejahatan Pemilu 2024, Sebuah Konspirasi Politik' di Sekretariat Barikade 98, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (18/3/2024).
Romli pun tiba pada kesimpulan pentingnya untuk memperkuat Undang-Undang Pemilu. Undang-Undang tersebut harus memuat soal sanksi yang tegas hingga pemecatan.
"Harus ada karena ini cuma peringatan sanksi administratif. Bayangkan pelanggaran terhadap hak rakyat berdaulat hanya dengan administratif. Membunuh orang satu saja mati, ini membunuh demokrasi 270 juta jiwa dibunuh, dikorupsilah, ini korupsi suara dan sistematis, terstruktur, dan masif. Kalau dilihat dari sudut itu, ini pengkhianatan terhadap konstitusi. Itu kena Undang-Undang makar. Dia membuat persekongkolan untuk meruntuhkan marwah negara," ungkapnya.
Dia mencontohkan salah satunya persekongkolan mengubah batas usia capres-cawapres. Di sisi lain, Romli juga menyarankan adanya lembaga independen untuk mengaudit proses pemilu atau lembaga hukum yang diisi dengan orang-orang berintegritas.
Romli menganggap pemilu tidak bisa dianggap sebagai momen untuk bermain-main. Karena itu, Undang-Undang yang mengaturnya harus dengan kesadaran semata-mata menjaga kedaulatan rakyat.
Selain itu, Sirekap pun pelaksanaannya bukan lagi bisa disebut pelanggaran melainkan sudah tahap kejahatan. Dia menganalogikan Sirekap seperti sudah membunuh, mencuri, yang dari awal dipersiapkan untuk itu.
"Ini sistemnya yang terburu-buru. Demokrasi kita belum siap, kenapa belum siap? Sekitar 60 persen penduduk kita masih jauh dari standar pendidikan modern," ucapnya.
Penilaian ini dilakukan Romli dengan membandingkan 7 kali Pemilu yang pernah diikutinya.
Baca Juga
Menurut dia, Pemilu kali ini yang paling hancur. "Saya sudah 7 kali ikut pemilu. Saya lahir 1944, jadi tahu. Ini yang paling amburadul. Biar KPU, Bawaslu, Polri mengatakan ini sudah lurus, ini kalau bahasa saya, governmental crime. Kejahatan yang dilakukan pemerintah. Pertanyaannya siapa yang bisa mengadili?" ujar Romli dalam diskusi publik bertajuk 'Sirekap dan Kejahatan Pemilu 2024, Sebuah Konspirasi Politik' di Sekretariat Barikade 98, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (18/3/2024).
Romli pun tiba pada kesimpulan pentingnya untuk memperkuat Undang-Undang Pemilu. Undang-Undang tersebut harus memuat soal sanksi yang tegas hingga pemecatan.
"Harus ada karena ini cuma peringatan sanksi administratif. Bayangkan pelanggaran terhadap hak rakyat berdaulat hanya dengan administratif. Membunuh orang satu saja mati, ini membunuh demokrasi 270 juta jiwa dibunuh, dikorupsilah, ini korupsi suara dan sistematis, terstruktur, dan masif. Kalau dilihat dari sudut itu, ini pengkhianatan terhadap konstitusi. Itu kena Undang-Undang makar. Dia membuat persekongkolan untuk meruntuhkan marwah negara," ungkapnya.
Dia mencontohkan salah satunya persekongkolan mengubah batas usia capres-cawapres. Di sisi lain, Romli juga menyarankan adanya lembaga independen untuk mengaudit proses pemilu atau lembaga hukum yang diisi dengan orang-orang berintegritas.
Romli menganggap pemilu tidak bisa dianggap sebagai momen untuk bermain-main. Karena itu, Undang-Undang yang mengaturnya harus dengan kesadaran semata-mata menjaga kedaulatan rakyat.
Selain itu, Sirekap pun pelaksanaannya bukan lagi bisa disebut pelanggaran melainkan sudah tahap kejahatan. Dia menganalogikan Sirekap seperti sudah membunuh, mencuri, yang dari awal dipersiapkan untuk itu.
"Ini sistemnya yang terburu-buru. Demokrasi kita belum siap, kenapa belum siap? Sekitar 60 persen penduduk kita masih jauh dari standar pendidikan modern," ucapnya.
(jon)
tulis komentar anda