Pentingnya Rekonsiliasi dan Memperkuat Semangat Kebangsaan Pascapemilu 2024
Rabu, 28 Februari 2024 - 07:32 WIB
JAKARTA - Guru Besar Pascasarjana IAIN Palangkaraya, Prof Khairil Anwar berbicara mengenai pentingnya rekonsiliasi dan membangun kebangsaan pascapemilu. Menurutnya, langkah rekonsiliasi bertujuan menjaga harmoni di tengah perbedaan.
Hal ini disampaikan Khairil Anwar menanggapi adanya ketegangan antarkubu yang berkontestasi di Pilpres 2024. Saat ini masyarakat berada dalam fase menunggu hasil penghitungan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Seluruh pihak yang telah selesai berkompetisi perlu melakukan rekonsiliasi secara arif dan bijaksana, terutama di tengah dinamika politik pasca-Pemilu 2024 lalu. Menurut saya, langkah pertama rekonsiliasi dapat dimulai dari simpul-simpul antar partai politik yang sempat berbeda dalam menentukan dukungan dan pandangannya," kata Prof Khairil, Jumat (23/2/2024).
Seringkali perbedaan sikap dalam Pemilu yang mulanya terjadi di tingkatan pejabat dan partai politik, lalu ikut turun dan meresap di tingkatan grass root. Bahkan ketika Pemilu telah benar-benar usai, segregasi dan konflik horizontal seolah menjadi residu yang tidak langsung dapat dihilangkan.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Tengah ini juga mengusulkan adanya pertemuan antara perwakilan partai politik, termasuk tokoh-tokoh nasionalis dan agamis yang dianggap dapat mendekati berbagai pihak. Dalam usulannya dirinya menyebut Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dari Nahdlatul Ulama dan Haedar Nashir dari Muhammadiyah, termasuk di antara tokoh-tokoh yang dapat berperan sebagai jembatan rekonsiliasi.
Prof Khairil menegaskan, pemilihan tokoh-tokoh ini tidak semata-mata berdasarkan afiliasi politik, melainkan berfokus pada karakter inklusif dan wawasan kebangsaan yang dimiliki. Dirinya menyatakan bahwa langkah-langkah ini diharapkan dapat memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan mempersatukan Indonesia pasca-Pemilu.
Selain menyoroti pentingnya rekonsiliasi, akademisi yang juga Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalteng ini juga menjelaskan konteks politik identitas, termasuk yang memiliki label agama. Ia menyoroti bahwa politik identitas sebenarnya dapat menjadi instrumen positif, tergantung pada cara penggunaannya.
"Sebagai contoh, kita bisa melihat pada Nabi Muhammad SAW. Rasulullah pernah juga melakukan politik identitas yang inklusif dan dapat menyatukan umat, serta mempersatukan nilai-nilai kebangsaan. Namun, terhadap politik identitas yang eksklusif, yang mendorong ujaran kebencian dan ketidakadilan, harus kita tinggalkan," katanya.
Prof Khairil juga membahas dampak politik identitas, terutama dalam konteks Pemilu. Ia mencermati politik identitas yang bersifat eksklusif masih saja ada di Pemilu 2024, namun tidak separah sebelumnya. Meskipun demikian, ia menekankan peningkatan ujaran kebencian sebagai isu yang patut diwaspadai.
Hal ini disampaikan Khairil Anwar menanggapi adanya ketegangan antarkubu yang berkontestasi di Pilpres 2024. Saat ini masyarakat berada dalam fase menunggu hasil penghitungan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Seluruh pihak yang telah selesai berkompetisi perlu melakukan rekonsiliasi secara arif dan bijaksana, terutama di tengah dinamika politik pasca-Pemilu 2024 lalu. Menurut saya, langkah pertama rekonsiliasi dapat dimulai dari simpul-simpul antar partai politik yang sempat berbeda dalam menentukan dukungan dan pandangannya," kata Prof Khairil, Jumat (23/2/2024).
Seringkali perbedaan sikap dalam Pemilu yang mulanya terjadi di tingkatan pejabat dan partai politik, lalu ikut turun dan meresap di tingkatan grass root. Bahkan ketika Pemilu telah benar-benar usai, segregasi dan konflik horizontal seolah menjadi residu yang tidak langsung dapat dihilangkan.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Tengah ini juga mengusulkan adanya pertemuan antara perwakilan partai politik, termasuk tokoh-tokoh nasionalis dan agamis yang dianggap dapat mendekati berbagai pihak. Dalam usulannya dirinya menyebut Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dari Nahdlatul Ulama dan Haedar Nashir dari Muhammadiyah, termasuk di antara tokoh-tokoh yang dapat berperan sebagai jembatan rekonsiliasi.
Prof Khairil menegaskan, pemilihan tokoh-tokoh ini tidak semata-mata berdasarkan afiliasi politik, melainkan berfokus pada karakter inklusif dan wawasan kebangsaan yang dimiliki. Dirinya menyatakan bahwa langkah-langkah ini diharapkan dapat memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan mempersatukan Indonesia pasca-Pemilu.
Selain menyoroti pentingnya rekonsiliasi, akademisi yang juga Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalteng ini juga menjelaskan konteks politik identitas, termasuk yang memiliki label agama. Ia menyoroti bahwa politik identitas sebenarnya dapat menjadi instrumen positif, tergantung pada cara penggunaannya.
"Sebagai contoh, kita bisa melihat pada Nabi Muhammad SAW. Rasulullah pernah juga melakukan politik identitas yang inklusif dan dapat menyatukan umat, serta mempersatukan nilai-nilai kebangsaan. Namun, terhadap politik identitas yang eksklusif, yang mendorong ujaran kebencian dan ketidakadilan, harus kita tinggalkan," katanya.
Prof Khairil juga membahas dampak politik identitas, terutama dalam konteks Pemilu. Ia mencermati politik identitas yang bersifat eksklusif masih saja ada di Pemilu 2024, namun tidak separah sebelumnya. Meskipun demikian, ia menekankan peningkatan ujaran kebencian sebagai isu yang patut diwaspadai.
tulis komentar anda