Disebut Banyak Kejanggalan, Akademisi UGM Minta KPU Terbuka untuk Audit Sistem IT
Minggu, 18 Februari 2024 - 12:25 WIB
JAKARTA - Rentetan kejanggalan selama proses Pemilu 2024 dinilai berdampak pada lemahnya legitimasi publik terhadap penyelenggaraan Pemilu. Hal ini dikatakan oleh Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Herlambang P Wiratraman menilai.
Salah satu contohnya, kata Herlambang, terkait majunya putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka menjadi pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Ia merasa, legitimasi publik makin lemah setelah putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menjatuhkan sanksi pada paman Gibran, Anwar Usman.
Melalui Anwar Usman, Gibran dapat karpet merah masuk ke gelanggang Pilpres 2024. Pasalnya, Anwar yang saat itu jabat Ketua MK, mengabulkan gugatan praperadilan terkait syarat batas usia capres-cawapres. MKMK pun memecat Anwar dari jabatan Ketua MK karena terbukti melanggar etik.
Selain putusan MKMK, kata Herlambang, putusan DKPP yang jatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU Hasyim Asy'ari juga semakin melemahkan legitimasi Pemilu.
"Dan itu melengkapi skenario yang memperburuk proses demokrasi elektoral itu," terang Herlambang saat dihubungi, Minggu (18/2/2024).
Kendati demikian, Herlambang merasa perlu adanya keterbukaan dari penyelenggara pemilu, terkhusus Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia meminta KPU harus terbuka agar sistem IT-nya dapat diaudit. Permintaan dilayangkan atas dasar maraknya kejanggalan data suara yang terekam dalam Sistem Informasi Rekapitulasi Suara (Sirekap).
"Dalam situasi ini gimana kita memastikan ya bahwa Pemilu ini punya legitimasi? Maka KPU harus terbuka untuk diaudit sistem IT-nya. Apalagi indikasinya memang keamanan dari IT KPU sendiri lemah," ujar Herlambang.
Bila KPU menutup diri, Herlambang merasa wajar bila publik curiga terhadap lembaga yang dipimpin Hasyim Asy'ari itu. Untuk itu, ia meminta KPU terbuka terkait sistem IT-nya.
"Jadi mudah-mudahan KPU punya inisiatif lebih terbuka. Apalagi Form C1 sekarang sudah bisa diakses dan keamanan IT menjadi kunci untuk memulihkan kepercayaan di ruang publik," terang Herlambang.
Salah satu contohnya, kata Herlambang, terkait majunya putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka menjadi pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Ia merasa, legitimasi publik makin lemah setelah putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menjatuhkan sanksi pada paman Gibran, Anwar Usman.
Melalui Anwar Usman, Gibran dapat karpet merah masuk ke gelanggang Pilpres 2024. Pasalnya, Anwar yang saat itu jabat Ketua MK, mengabulkan gugatan praperadilan terkait syarat batas usia capres-cawapres. MKMK pun memecat Anwar dari jabatan Ketua MK karena terbukti melanggar etik.
Selain putusan MKMK, kata Herlambang, putusan DKPP yang jatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU Hasyim Asy'ari juga semakin melemahkan legitimasi Pemilu.
"Dan itu melengkapi skenario yang memperburuk proses demokrasi elektoral itu," terang Herlambang saat dihubungi, Minggu (18/2/2024).
Kendati demikian, Herlambang merasa perlu adanya keterbukaan dari penyelenggara pemilu, terkhusus Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia meminta KPU harus terbuka agar sistem IT-nya dapat diaudit. Permintaan dilayangkan atas dasar maraknya kejanggalan data suara yang terekam dalam Sistem Informasi Rekapitulasi Suara (Sirekap).
"Dalam situasi ini gimana kita memastikan ya bahwa Pemilu ini punya legitimasi? Maka KPU harus terbuka untuk diaudit sistem IT-nya. Apalagi indikasinya memang keamanan dari IT KPU sendiri lemah," ujar Herlambang.
Bila KPU menutup diri, Herlambang merasa wajar bila publik curiga terhadap lembaga yang dipimpin Hasyim Asy'ari itu. Untuk itu, ia meminta KPU terbuka terkait sistem IT-nya.
"Jadi mudah-mudahan KPU punya inisiatif lebih terbuka. Apalagi Form C1 sekarang sudah bisa diakses dan keamanan IT menjadi kunci untuk memulihkan kepercayaan di ruang publik," terang Herlambang.
(maf)
Lihat Juga :
tulis komentar anda