Yang Waras Ngalah: Kenangan dan Hikmah Sowan Abah Anom
Minggu, 18 Februari 2024 - 10:57 WIB
Imam Safe'i
Pendiri Pondok Pendawa
SAMBIL menikmati libur akhir pekan di Pondok Pendawa (Pesantren Entrepreneurship Pemuda dan Mahasiswa) saya sempatkan ngobrol dengan para santri yang tergabung dalam organisasi Arjuna (Anak Rantau Jadi Ulama dan Sarjana) yang baru istirahat kerja bakti. Di lembaga ini setiap pagi ada kegiatan rutin setelah salat subuh berjamaah dan baca Al-Qur'an dilanjutkan gotong royong bersih-bersih di lingkungan pondok.
Setelah ikut nyapu dan menata tanaman kami bersama-sama santri duduk-duduk di pinggir sekitar KoPI (Kolam Pemancingan Inspirasi) yaitu kolam ikan yang biasanya dijadikan ngobrol dan diskusi para mahasiswa dan aktivis-aktivis organisasi. Kolam ini insyaAllah tidak lama lagi akan berubah menjadi Holyday Resto yang akan menyajikan menu khusus di hari Sabtu dan Minggu. Kenapa disebut Holyday Resto karena kantin ini memang diproyeksikan bagi siapa saja yang ingin menikmati akhir pekannya di pondok sambil mancing, diskusi, ngaji, dan berjemur menikmati matahari pagi.
Bagi pengunjung yang sudah berusia lanjut, tentu kehadirannya di sini bukan hanya untuk menghabiskan hari liburnya tetapi diharapkan juga ikut mengaji bersama jamaah lain yang tergabung dalam kegiatan Paul (Pendidikan Agama Usia Lanjut).
Di saat ngobrol dan menikmati kopi buatan santri yaitu Kopi Kyai (Kopi Syari'at, Kopi Hakekat, dan Kopi Ma'rifat), tiba-tiba teringat peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika masih menjadi mahasiswa pasca IKIP Negeri Yogyakarta yang sekarang berubah menjadi Universitas Negeri Yogyakarta dan ada yang membuat plesetan Unyil (Universitas Negeri Yogya IKIP Lama). Ketika itu saya biasa memanfaatkan hari Sabtu-Minggu bersilaturahmi mengunjung pondok-pondok pesantren di sekitar Pulau Jawa. Kenangan yang tiba-tiba muncul adalah ketika kunjungan di Pondok Pesantren al-Inabah Suryalaya yang diasuh oleh Abah Anom.
Saat itu, di sela-sela mengikuti acara Muktamar NU di Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Jawa Barat tahun 1994, saya menyempatkan berkunjung ke Pondok Pesantren al-Inabah yang diasuh oleh Syeikh Ahmad Shahibul Wafa Tajul Arifin atau yang dikenal dengan panggilan Abah Anom. Saya tertarik berkunjung ke pondok pesantren ini karena mendengar cerita teman-teman dan dari pelbagai sumber yang saya baca terkait proses penyembuhan dengan Metode Inabah bagi eks pengguna dan pecandu narkoba.
Alhamdulillah saya bisa sowan ke Abah Anom dan bisa bertemu cukup lama. Pertama saya dapat penjelasan dari beliau mengenai makna gerakan zikir yang biasa diamalkan oleh pengamal Thariqah Qadiriyah Naqshabandiyah. Beliau menjelaskan makna-makna simbolik di balik gerakan-gerakan penganut thariqah ini ketika melafalkan kalimat La ilaha iIallah yang disuarakan keras dengan menggelengkan kepalanya ke depan belakang, kiri kanan, dan atas bawah.
Luar biasa ternyata makna dari sebuah gerakan yang ketika dilihat dari orang luar tampak sederhana tetapi ternyata memiliki arti yang dalam dan sangat bermakna bagi yang mengamalkannya. Beliau menjelaskan bahwa makna gerakan ini adalah kita meminta perlindungan kepada Allah SWT dari godaan syetan dari pelbagai penjuru, dari kanan, kiri, atas, bawah, depan dan belakang. Kita menyadari betul bahwa godaan syetan itu bisa melaui atasan dan bawahan, teman-teman dari kiri kanan kita dan orang-orang di belakang dan di depan kita. Dengan penghayatan yang mendalam seperti ini maka akan tampak orang-orang yang berzikir bisa melupakan semuanya kecuali kepada Allah. Ini sedikit simpulan dan makna yang bisa saya tangkap dari penjelasan Abah terkait dengan gerakan zikir tersebut.
Pendiri Pondok Pendawa
SAMBIL menikmati libur akhir pekan di Pondok Pendawa (Pesantren Entrepreneurship Pemuda dan Mahasiswa) saya sempatkan ngobrol dengan para santri yang tergabung dalam organisasi Arjuna (Anak Rantau Jadi Ulama dan Sarjana) yang baru istirahat kerja bakti. Di lembaga ini setiap pagi ada kegiatan rutin setelah salat subuh berjamaah dan baca Al-Qur'an dilanjutkan gotong royong bersih-bersih di lingkungan pondok.
Setelah ikut nyapu dan menata tanaman kami bersama-sama santri duduk-duduk di pinggir sekitar KoPI (Kolam Pemancingan Inspirasi) yaitu kolam ikan yang biasanya dijadikan ngobrol dan diskusi para mahasiswa dan aktivis-aktivis organisasi. Kolam ini insyaAllah tidak lama lagi akan berubah menjadi Holyday Resto yang akan menyajikan menu khusus di hari Sabtu dan Minggu. Kenapa disebut Holyday Resto karena kantin ini memang diproyeksikan bagi siapa saja yang ingin menikmati akhir pekannya di pondok sambil mancing, diskusi, ngaji, dan berjemur menikmati matahari pagi.
Bagi pengunjung yang sudah berusia lanjut, tentu kehadirannya di sini bukan hanya untuk menghabiskan hari liburnya tetapi diharapkan juga ikut mengaji bersama jamaah lain yang tergabung dalam kegiatan Paul (Pendidikan Agama Usia Lanjut).
Di saat ngobrol dan menikmati kopi buatan santri yaitu Kopi Kyai (Kopi Syari'at, Kopi Hakekat, dan Kopi Ma'rifat), tiba-tiba teringat peristiwa beberapa tahun yang lalu ketika masih menjadi mahasiswa pasca IKIP Negeri Yogyakarta yang sekarang berubah menjadi Universitas Negeri Yogyakarta dan ada yang membuat plesetan Unyil (Universitas Negeri Yogya IKIP Lama). Ketika itu saya biasa memanfaatkan hari Sabtu-Minggu bersilaturahmi mengunjung pondok-pondok pesantren di sekitar Pulau Jawa. Kenangan yang tiba-tiba muncul adalah ketika kunjungan di Pondok Pesantren al-Inabah Suryalaya yang diasuh oleh Abah Anom.
Saat itu, di sela-sela mengikuti acara Muktamar NU di Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya, Jawa Barat tahun 1994, saya menyempatkan berkunjung ke Pondok Pesantren al-Inabah yang diasuh oleh Syeikh Ahmad Shahibul Wafa Tajul Arifin atau yang dikenal dengan panggilan Abah Anom. Saya tertarik berkunjung ke pondok pesantren ini karena mendengar cerita teman-teman dan dari pelbagai sumber yang saya baca terkait proses penyembuhan dengan Metode Inabah bagi eks pengguna dan pecandu narkoba.
Alhamdulillah saya bisa sowan ke Abah Anom dan bisa bertemu cukup lama. Pertama saya dapat penjelasan dari beliau mengenai makna gerakan zikir yang biasa diamalkan oleh pengamal Thariqah Qadiriyah Naqshabandiyah. Beliau menjelaskan makna-makna simbolik di balik gerakan-gerakan penganut thariqah ini ketika melafalkan kalimat La ilaha iIallah yang disuarakan keras dengan menggelengkan kepalanya ke depan belakang, kiri kanan, dan atas bawah.
Luar biasa ternyata makna dari sebuah gerakan yang ketika dilihat dari orang luar tampak sederhana tetapi ternyata memiliki arti yang dalam dan sangat bermakna bagi yang mengamalkannya. Beliau menjelaskan bahwa makna gerakan ini adalah kita meminta perlindungan kepada Allah SWT dari godaan syetan dari pelbagai penjuru, dari kanan, kiri, atas, bawah, depan dan belakang. Kita menyadari betul bahwa godaan syetan itu bisa melaui atasan dan bawahan, teman-teman dari kiri kanan kita dan orang-orang di belakang dan di depan kita. Dengan penghayatan yang mendalam seperti ini maka akan tampak orang-orang yang berzikir bisa melupakan semuanya kecuali kepada Allah. Ini sedikit simpulan dan makna yang bisa saya tangkap dari penjelasan Abah terkait dengan gerakan zikir tersebut.
tulis komentar anda