Kecurangan Dalam Pemilu Menurut UU Nomor 7 Tahun 2017
Minggu, 18 Februari 2024 - 07:24 WIB
Romli Atmasasmita
BERITA-berita resmi Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) terserang jutaan hacker merupakan tantangan lazim terjadi di semua negara dalam sistem online. Akan tetapi, berita kekeliruan surat suara tertukar sangat jarang terjadi di negara mana pun dan merupakan kelalaian pelaksana pemilu termasuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) setempat baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal yang biasa terjadi itu pun sudah dikoreksi.
Namun, kenyataan turut campurnya pejabat negara yang tidak cuti atau masih menggunakan fasilitas negara baik secara terang-terangan maupun diam-diam adalah merupakan kemustahilan, seharusnya tidak terjadi. Namun demikian, kemustahilan bisa terjadi disebabkan karena memang pembentukan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengandung ambiguitas. Di satu sisi, dilarang pejabat negara berkampanye dan hanya boleh jika cuti dan juga tidak menggunakan fasilitas negara. Yang terjadi, tidak cuti, tetapi menggunakan fasilitas negara alias larangan UU dilanggar dengan lugu tanpa merasa malu dan berdosa. Lagi pula, mana ada ketentuan UU di satu sisi dilarang pejabat negara mulai dari presiden sampai menteri-menterinya berkampanye, akan tetapi di sisi lain dibolehkan dengan syarat yang sulit diterima akal sehat seperti berkampanye tanpa fasilitas negara, tanpa juga cuti, dan dibiarkan oleh Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu ).
Jelas situasi kampanye pemilu sedemikian tidak memenuhi tujuan kepastian hukum dan menimbulkan ketidakadilan. Siapa yang berani melarang seorang presiden atau menteri ini berkampanye? Dalam hal ini diperlukan kesadaran diri dan mawas diri pejabat-pejabat secara moral untuk merasa malu melakukan perbuatan yang dilarang dan sesungguhnya tidak perlu lagi diberitahu bahwa sikap sedemikian secara moral etik keliru atau salah. Pemimpin birokrasi yang seharusnya menjadi teladan baik bagi masyarakat luas malahan mempertontonkan sikap buruk di depan masyarakat yang terbanyak tidak lulus sekolah menengah atas atau sekolah menengah pertama atau bahkan tidak lulus sekolah dasar.
Di dalam hal terjadi kecurangan proses pemungutan suara sejak pencoblosan sampai dengan penghitungan akhir suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS), maka terdapat dua masalah besar yang perlu diketahui. Pertama, kesadaran berdemokrasi yang masih kurang dipahami secara dalam dampak sosial, politik, dan hukum dari kecurangan tersebut, terutama di kalangan elite politik dan pemegang kekuasaan eksekutif dan para pembantunya. Kedua, masalah ketidakpahaman masyarakat luas mengenai makna pemilu dan tegaknya disiplin pemilu yang jujur, adil, dan bebas memilih tanpa paksaan ataupun rayuan dan suap yang tidak merupakan jaminan masa depan kehidupannya kelak setelah terpilih seorang pemimpin yang diharapkan berintegritas, bertanggung jawab, dan menjalankan tugasnya demi kepentingan 270 juta rakyatnya.
Selama dua masalah besar tersebut belum dapat diatasi, hukum dan sanksi hukuman dalam kasus kecurangan pemilu bukan satu-satunya solusi karena hanya menambah beban sistem peradilan pidana yang tidak efektif dan bahkan tidak efisien dan sesungguhnya pencegahan peristiwa kecurangan itulah yang harus diutamakan para pelaksana pemilu terutama KPPS dan Bawaslu yang seharusnya bertindak jauh sebelum terjadinya peristiwa kecurangan tersebut ataupun jika telah terjadi sesegera diambil tindakan yang pantas, patut, dan seharusnya terhadap para pelanggarnya. Tidak hanya mengumbar masalah kecurangan di media sosial tanpa aksi nyata semata-mata yang berarti untuk kepentingan pemilu jujur, adil, dan bertanggung jawab.
Para pelaksana dan penanggung jawab pemilu setiap 5 (lima) tahun sekali harus menyadari bahwa biaya penyelenggaraan pemilu selalu di atas dan lebih dari satu triliun, bahkan selalu di atas angka Rp2 triliun dana APBN hanya untuk satu kali putaran saja tetapi berlangsung lancar, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Data angka dana APBN untuk pemilu terbagi 3 (tiga) tahapan. Pertama untuk realisasi Tahun 2022 sebesar Rp3,17 triliun, untuk realisasi Tahun 2023 sebesar Rp29,9 triliun, dan untuk realisasi Tahun 2024 sebesar Rp38,2 triliun. Sedangkan melalu KPU dan Bawaslu sebesar Rp26,1 triliun dan melalui K/L sebesar Rp3,8 triliun. Merujuk kepada dana APBN untuk persiapan, menjelang, dan pelaksanaan Pemilu 2024 total sebesar Rp71,27 triliun.
Jika pemilu diselenggarakan tanpa atau adanya kecurangan-kecurangan yang bersifat masif dan hanya diselenggarakan untuk satu kali putaran saja, maka dapat dihemat biaya APBN. Akan tetapi, jika harus diselenggarakan dua kali putaran maka akan mengakibatkan dana pemilu menjadi dua kali lipat dari total dana APBN yang disediakan, Rp71,27 triliun.
Jika dibandingkan dengan akibat hukum kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu, dapat dikatakan bahwa dari segala aspek hukum pidana sekalipun, kekuatan efektivitas dan efisiensi penerapan sanksi pidana jauh tidak sebanding dengan kemanfaatannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa strategi pencegahan lebih efektif dan efisien dari strategi penindakan semata-mata.
BERITA-berita resmi Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) terserang jutaan hacker merupakan tantangan lazim terjadi di semua negara dalam sistem online. Akan tetapi, berita kekeliruan surat suara tertukar sangat jarang terjadi di negara mana pun dan merupakan kelalaian pelaksana pemilu termasuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) setempat baik disengaja maupun tidak disengaja. Hal yang biasa terjadi itu pun sudah dikoreksi.
Namun, kenyataan turut campurnya pejabat negara yang tidak cuti atau masih menggunakan fasilitas negara baik secara terang-terangan maupun diam-diam adalah merupakan kemustahilan, seharusnya tidak terjadi. Namun demikian, kemustahilan bisa terjadi disebabkan karena memang pembentukan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengandung ambiguitas. Di satu sisi, dilarang pejabat negara berkampanye dan hanya boleh jika cuti dan juga tidak menggunakan fasilitas negara. Yang terjadi, tidak cuti, tetapi menggunakan fasilitas negara alias larangan UU dilanggar dengan lugu tanpa merasa malu dan berdosa. Lagi pula, mana ada ketentuan UU di satu sisi dilarang pejabat negara mulai dari presiden sampai menteri-menterinya berkampanye, akan tetapi di sisi lain dibolehkan dengan syarat yang sulit diterima akal sehat seperti berkampanye tanpa fasilitas negara, tanpa juga cuti, dan dibiarkan oleh Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu ).
Jelas situasi kampanye pemilu sedemikian tidak memenuhi tujuan kepastian hukum dan menimbulkan ketidakadilan. Siapa yang berani melarang seorang presiden atau menteri ini berkampanye? Dalam hal ini diperlukan kesadaran diri dan mawas diri pejabat-pejabat secara moral untuk merasa malu melakukan perbuatan yang dilarang dan sesungguhnya tidak perlu lagi diberitahu bahwa sikap sedemikian secara moral etik keliru atau salah. Pemimpin birokrasi yang seharusnya menjadi teladan baik bagi masyarakat luas malahan mempertontonkan sikap buruk di depan masyarakat yang terbanyak tidak lulus sekolah menengah atas atau sekolah menengah pertama atau bahkan tidak lulus sekolah dasar.
Di dalam hal terjadi kecurangan proses pemungutan suara sejak pencoblosan sampai dengan penghitungan akhir suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS), maka terdapat dua masalah besar yang perlu diketahui. Pertama, kesadaran berdemokrasi yang masih kurang dipahami secara dalam dampak sosial, politik, dan hukum dari kecurangan tersebut, terutama di kalangan elite politik dan pemegang kekuasaan eksekutif dan para pembantunya. Kedua, masalah ketidakpahaman masyarakat luas mengenai makna pemilu dan tegaknya disiplin pemilu yang jujur, adil, dan bebas memilih tanpa paksaan ataupun rayuan dan suap yang tidak merupakan jaminan masa depan kehidupannya kelak setelah terpilih seorang pemimpin yang diharapkan berintegritas, bertanggung jawab, dan menjalankan tugasnya demi kepentingan 270 juta rakyatnya.
Selama dua masalah besar tersebut belum dapat diatasi, hukum dan sanksi hukuman dalam kasus kecurangan pemilu bukan satu-satunya solusi karena hanya menambah beban sistem peradilan pidana yang tidak efektif dan bahkan tidak efisien dan sesungguhnya pencegahan peristiwa kecurangan itulah yang harus diutamakan para pelaksana pemilu terutama KPPS dan Bawaslu yang seharusnya bertindak jauh sebelum terjadinya peristiwa kecurangan tersebut ataupun jika telah terjadi sesegera diambil tindakan yang pantas, patut, dan seharusnya terhadap para pelanggarnya. Tidak hanya mengumbar masalah kecurangan di media sosial tanpa aksi nyata semata-mata yang berarti untuk kepentingan pemilu jujur, adil, dan bertanggung jawab.
Para pelaksana dan penanggung jawab pemilu setiap 5 (lima) tahun sekali harus menyadari bahwa biaya penyelenggaraan pemilu selalu di atas dan lebih dari satu triliun, bahkan selalu di atas angka Rp2 triliun dana APBN hanya untuk satu kali putaran saja tetapi berlangsung lancar, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Data angka dana APBN untuk pemilu terbagi 3 (tiga) tahapan. Pertama untuk realisasi Tahun 2022 sebesar Rp3,17 triliun, untuk realisasi Tahun 2023 sebesar Rp29,9 triliun, dan untuk realisasi Tahun 2024 sebesar Rp38,2 triliun. Sedangkan melalu KPU dan Bawaslu sebesar Rp26,1 triliun dan melalui K/L sebesar Rp3,8 triliun. Merujuk kepada dana APBN untuk persiapan, menjelang, dan pelaksanaan Pemilu 2024 total sebesar Rp71,27 triliun.
Jika pemilu diselenggarakan tanpa atau adanya kecurangan-kecurangan yang bersifat masif dan hanya diselenggarakan untuk satu kali putaran saja, maka dapat dihemat biaya APBN. Akan tetapi, jika harus diselenggarakan dua kali putaran maka akan mengakibatkan dana pemilu menjadi dua kali lipat dari total dana APBN yang disediakan, Rp71,27 triliun.
Jika dibandingkan dengan akibat hukum kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu, dapat dikatakan bahwa dari segala aspek hukum pidana sekalipun, kekuatan efektivitas dan efisiensi penerapan sanksi pidana jauh tidak sebanding dengan kemanfaatannya, sehingga dapat disimpulkan bahwa strategi pencegahan lebih efektif dan efisien dari strategi penindakan semata-mata.
(zik)
tulis komentar anda