Guru Besar Universitas Brawijaya Malang Tegaskan Tak Ada Kepentingan Politik dalam Kritik Jokowi
Kamis, 08 Februari 2024 - 10:00 WIB
JAKARTA - Guru Besar Universitas Brawijaya (UB) Malang Prof Rachmad Safa'at menegaskan, seruan kritik kepada pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) tidak dalam tendensi serta kepentingan apa pun. Menurutnya, ada lima alasan yang membuat dewan profesor, akademisi, dan mahasiswa UB pada Selasa lalu (6/2/2024) menyentil pemerintah.
Pertama, pengembangan sistem ekonomi dan politik oligarki yang kian kuat di era pemerintahan Presiden Jokowi dalam lima tahun terakhir. Sistem politik ekonomi oligarki ini kian nampak ketika penguasa membangun elite, yang menguasai sumber daya alam.
"Sistem ini nampaknya pemerintah membangun elite, elite itu orang tertentu, di pengusaha dan pemerintah, untuk menguasai pengambilan keputusan di dewan, dan menguasai sumber daya alam. Sehingga yang lain nggak kebagian, elite oligarki ini tidak lebih dari 100 orang, mereka menguasai 60% kekayaan Indonesia, bahkan lebih sekitar 70-an. Selebihnya harus dibagi yang 30% itu dibagi ke rakyat Indonesia," kata Prof Rachmad Safa'at dikonfirmasi, Kamis (8/2/2024).
Kedua, korupsi semasa pemerintahan Presiden Joko Widodo kian subur. Bahkan indeks korupsi Indonesia di mata dunia kian meningkat, dan beberapa negara di dunia, kata Rachmad, menyatakan Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup. Padahal jika kekayaan alam itu dikelola dan dimanfaatkan untuk rakyat, kebutuhan rakyat bisa tercukupi.
"Kemudian yang ketiga ada persoalan, di mana Jokowi membangun sistem otoritarian, dia otoriter betul. Dia menggerakkan Mahkamah Konstitusi (MK), DPR, dan tentara, serta polisi, untuk berada dalam cengkraman politik dia, sehingga anda lihat saja bagaimana calon presiden yang lain tiba-tiba dilarang oleh Polisi. Ini yang disebut dengan oligarki personal otoritarian," kata Guru Besar Fakultas Hukum ini.
Berikutnya, Presiden Jokowi disebutnya sudah memiliki etika politik yang tidak baik. Hal ini ditunjukkan dengan pencalonan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden, serta mendorong MK untuk menyetujui, mencari dalil apa pun, terpenting bisa jadi.
"Padahal itu kan bertentangan dengan konstitusi, yang kelima yang dilakukan Jokowi dia boleh berpihak menyatakan dirinya sendiri boleh berpihak, nggak boleh dia sebagai penyelenggara, masak ikut menendang bolanya," katanya.
Sayang kritikan dan masukan yang diberikan oleh perguruan tinggi ditanggapi Jokowi dan Istana dengan narasi negatif. Bahkan menyebut kampus-kampus seperti Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Padjadjaran (Unpad), ditunggangi kepentingan politik dan golongan tertentu.
"Saya tahu persis orang-orang di bawah UGM, UI, saya tahu dan kenal saya dengan Prof Harkristuti Harkrisnowo, dengan Prof Koentjoro, saya kenal, dia memang sungguh-sungguh menyuarakan ini untuk perbaikan negeri, nggak ada tendensi tertentu," tandasnya.
Pertama, pengembangan sistem ekonomi dan politik oligarki yang kian kuat di era pemerintahan Presiden Jokowi dalam lima tahun terakhir. Sistem politik ekonomi oligarki ini kian nampak ketika penguasa membangun elite, yang menguasai sumber daya alam.
"Sistem ini nampaknya pemerintah membangun elite, elite itu orang tertentu, di pengusaha dan pemerintah, untuk menguasai pengambilan keputusan di dewan, dan menguasai sumber daya alam. Sehingga yang lain nggak kebagian, elite oligarki ini tidak lebih dari 100 orang, mereka menguasai 60% kekayaan Indonesia, bahkan lebih sekitar 70-an. Selebihnya harus dibagi yang 30% itu dibagi ke rakyat Indonesia," kata Prof Rachmad Safa'at dikonfirmasi, Kamis (8/2/2024).
Kedua, korupsi semasa pemerintahan Presiden Joko Widodo kian subur. Bahkan indeks korupsi Indonesia di mata dunia kian meningkat, dan beberapa negara di dunia, kata Rachmad, menyatakan Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup. Padahal jika kekayaan alam itu dikelola dan dimanfaatkan untuk rakyat, kebutuhan rakyat bisa tercukupi.
"Kemudian yang ketiga ada persoalan, di mana Jokowi membangun sistem otoritarian, dia otoriter betul. Dia menggerakkan Mahkamah Konstitusi (MK), DPR, dan tentara, serta polisi, untuk berada dalam cengkraman politik dia, sehingga anda lihat saja bagaimana calon presiden yang lain tiba-tiba dilarang oleh Polisi. Ini yang disebut dengan oligarki personal otoritarian," kata Guru Besar Fakultas Hukum ini.
Berikutnya, Presiden Jokowi disebutnya sudah memiliki etika politik yang tidak baik. Hal ini ditunjukkan dengan pencalonan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden, serta mendorong MK untuk menyetujui, mencari dalil apa pun, terpenting bisa jadi.
"Padahal itu kan bertentangan dengan konstitusi, yang kelima yang dilakukan Jokowi dia boleh berpihak menyatakan dirinya sendiri boleh berpihak, nggak boleh dia sebagai penyelenggara, masak ikut menendang bolanya," katanya.
Sayang kritikan dan masukan yang diberikan oleh perguruan tinggi ditanggapi Jokowi dan Istana dengan narasi negatif. Bahkan menyebut kampus-kampus seperti Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Padjadjaran (Unpad), ditunggangi kepentingan politik dan golongan tertentu.
"Saya tahu persis orang-orang di bawah UGM, UI, saya tahu dan kenal saya dengan Prof Harkristuti Harkrisnowo, dengan Prof Koentjoro, saya kenal, dia memang sungguh-sungguh menyuarakan ini untuk perbaikan negeri, nggak ada tendensi tertentu," tandasnya.
(abd)
tulis komentar anda