Konsolidasi Armada Perang Indonesia, Kemana Arahnya?
Senin, 05 Februari 2024 - 05:04 WIB
Postur Pertahanan dan Potensi Ancaman
Lompatan progresif yang ditunjukkan Indonesia melalui program R41, pembangunan dan pembelian kapal perang baru, serta akuisisi paket rudal tak lain untuk memperkuat postur pertahanan demi meningkatkan kemampuan pertahanan negara. Potensi ancaman kian kompleks dan beragam memerlukan kemampuan pertahanan negara yang kuat. Postur pertahanan negara terus disesuaikan dan diarahkan agar dapat menjawab berbagai kemungkinan tantangan, serta ancaman nyata dan belum nyata.
Berdasar Buku Putih Pertahanan 2015, pembangunan pertahanan negara diselenggarakan untuk mewujudkan pertahanan militer dan nirmiliter menuju kekuatan maritim regional disegani di kawasan Asia Pasifik dengan prinsip defensif aktif, dalam rangka menjamin kepentingan nasional.
Selanjutnya, usaha pertahanan negara diselenggarakan melalui pembangunan postur pertahanan negara secara berkesinambungan untuk mewujudkan kekuatan, kemampuan dan gelar. Pembangunan postur pertahanan militer diarahkan pada pemenuhan Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF), yang diprioritaskan pada pembangunan kekuatan pertahanan maritim dengan memanfaatkan teknologi satelit dan sistem drone.
Bila melihat penjelasan tersebut, maka konsolidasi kekuatan armada laut merupakan prioritas MEF yang memberi penekanan akan pentingnya pembangunan kekuatan pertahanan maritim. Bahkan, dalam Buku Putih Pertahanan juga disebut urgensi mengantisipasi perkembangan situasi keamanan maritim wilayah Indonesia saat ini, khususnya di wilayah kepulauan Natuna dan wilayah Merauke.
Dalam konteks penguatan pertahanan, Buku Putih Pertahanan juga menyiunggung sengketa Laut Cina Selatan (LCS) yang dapat memengaruhi stabilitas keamanan di kawasan Asia Pasifik -dalam hal terkait klaim yang dilakukan China terhadap sebagian besar wilayah ini. Apalagi kawasan ini memiliki posisi geografi sangat strategis dan sumber daya alam yang bernilai ekonomi tinggi, hingga bisa menimbulkan potensi konflik bersenjata (terbuka).
Potensi demikian terjadi karena beberapa alasan. Pertama, para pihak yang terlibat dalam sengketa LCS sering menggunakan instrumen militer untuk memperkuat klaimnya; kedua, ada keterlibatan negara-negara di luar kawasan dalam konflik tersebut; ketiga, belum ada institusi atau organisasi internasional yang kredibel dalam menyelesaikan persengketaan.
Situasi di LCS kian diperkeruh dengan kebijakan penyeimbangan kembali (rebalancing) AS di kawasan Asia Pasifik. Kebijakan dimaksud ditempuh melalui tiga inisiatif, yaitu: keamanan melalui kehadiran kekuatan militer, ekonomi melalui Trans Pacific Partnership (TPP) untuk mengimbangi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) serta diplomacy engagement.
Secara kongkret Paman Sam bahkan telah membentuk aliansi AUKUS bersama Inggris dan Australia, dengan langkah diantaranya mendukung Australia membangun kapal selam bertenaga nuklir. Perkembangan tersebut bukan hanya mengubah balance of power di kawasan, tapi juga menciptakan instabilitas.
Walaupun dinamika tersebut masih dianggap ancaman belum nyata karena kecil kemungkinan pecah menjadi konflik terbuka atau perang konvensial. Kendati demikian, Buku Putih Pertahanan menekankan bahwa sebagai bangsa yang memiliki potensi luar biasa, kewaspadaan harus tetap dijaga mengingat bentuk ancaman bersifat dinamis, serta dapat berubah menjadi ancaman nyata ketika kepentingan nasional dan kehormatan negara terusik.
Lompatan progresif yang ditunjukkan Indonesia melalui program R41, pembangunan dan pembelian kapal perang baru, serta akuisisi paket rudal tak lain untuk memperkuat postur pertahanan demi meningkatkan kemampuan pertahanan negara. Potensi ancaman kian kompleks dan beragam memerlukan kemampuan pertahanan negara yang kuat. Postur pertahanan negara terus disesuaikan dan diarahkan agar dapat menjawab berbagai kemungkinan tantangan, serta ancaman nyata dan belum nyata.
Berdasar Buku Putih Pertahanan 2015, pembangunan pertahanan negara diselenggarakan untuk mewujudkan pertahanan militer dan nirmiliter menuju kekuatan maritim regional disegani di kawasan Asia Pasifik dengan prinsip defensif aktif, dalam rangka menjamin kepentingan nasional.
Selanjutnya, usaha pertahanan negara diselenggarakan melalui pembangunan postur pertahanan negara secara berkesinambungan untuk mewujudkan kekuatan, kemampuan dan gelar. Pembangunan postur pertahanan militer diarahkan pada pemenuhan Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF), yang diprioritaskan pada pembangunan kekuatan pertahanan maritim dengan memanfaatkan teknologi satelit dan sistem drone.
Bila melihat penjelasan tersebut, maka konsolidasi kekuatan armada laut merupakan prioritas MEF yang memberi penekanan akan pentingnya pembangunan kekuatan pertahanan maritim. Bahkan, dalam Buku Putih Pertahanan juga disebut urgensi mengantisipasi perkembangan situasi keamanan maritim wilayah Indonesia saat ini, khususnya di wilayah kepulauan Natuna dan wilayah Merauke.
Dalam konteks penguatan pertahanan, Buku Putih Pertahanan juga menyiunggung sengketa Laut Cina Selatan (LCS) yang dapat memengaruhi stabilitas keamanan di kawasan Asia Pasifik -dalam hal terkait klaim yang dilakukan China terhadap sebagian besar wilayah ini. Apalagi kawasan ini memiliki posisi geografi sangat strategis dan sumber daya alam yang bernilai ekonomi tinggi, hingga bisa menimbulkan potensi konflik bersenjata (terbuka).
Potensi demikian terjadi karena beberapa alasan. Pertama, para pihak yang terlibat dalam sengketa LCS sering menggunakan instrumen militer untuk memperkuat klaimnya; kedua, ada keterlibatan negara-negara di luar kawasan dalam konflik tersebut; ketiga, belum ada institusi atau organisasi internasional yang kredibel dalam menyelesaikan persengketaan.
Situasi di LCS kian diperkeruh dengan kebijakan penyeimbangan kembali (rebalancing) AS di kawasan Asia Pasifik. Kebijakan dimaksud ditempuh melalui tiga inisiatif, yaitu: keamanan melalui kehadiran kekuatan militer, ekonomi melalui Trans Pacific Partnership (TPP) untuk mengimbangi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) serta diplomacy engagement.
Secara kongkret Paman Sam bahkan telah membentuk aliansi AUKUS bersama Inggris dan Australia, dengan langkah diantaranya mendukung Australia membangun kapal selam bertenaga nuklir. Perkembangan tersebut bukan hanya mengubah balance of power di kawasan, tapi juga menciptakan instabilitas.
Walaupun dinamika tersebut masih dianggap ancaman belum nyata karena kecil kemungkinan pecah menjadi konflik terbuka atau perang konvensial. Kendati demikian, Buku Putih Pertahanan menekankan bahwa sebagai bangsa yang memiliki potensi luar biasa, kewaspadaan harus tetap dijaga mengingat bentuk ancaman bersifat dinamis, serta dapat berubah menjadi ancaman nyata ketika kepentingan nasional dan kehormatan negara terusik.
tulis komentar anda