Konsolidasi Armada Perang Indonesia, Kemana Arahnya?

Senin, 05 Februari 2024 - 05:04 WIB
loading...
Konsolidasi Armada Perang Indonesia, Kemana Arahnya?
Ilustrasi: Masyudi/SINDOnews
A A A
LANGKAH fantastis dilakukan pemerintah untuk memperkuat armada laut Indonesia. Langkah dimaksud ialah modernisasi besar-besaran terhadap 41 kapal perang, rencana pembelian dan pembangunan berbagai jenis kapal perang baru, serta akuisisi jenis rudal baru untuk memperkuat daya gebuknya.

baca juga: Memborong Alutsista, Indonesia dalam Ancaman Perang?

Perkembangan ini tentu memancing pertanyaan, untuk apakah konsolidasi kekuatan alutsista matra laut tersebut dilakukan? Apakah ada ancaman nyata yang mesti dikhawatirkan hingga Kementerian Pertahanan mengambil kebijakan tersebut? Berdasar penjelasan resmi, modernisasi diarahkan untuk menambah kapabilitas sekaligus memenuhi minimum essential force (MEF) untuk operasi perang maupun selain perang.

Kepastian modernisasi besar-besaran terhadap kapal perang TNI AL diperoleh setelah Menteri Pertahanan PrabowoSubianto mengunjungi PT PAL Indonesia untuk melakukan inspeksi terkait modernisasi atau refurbishment kapal di Dermaga Divisi Kapal Perang, Surabaya (23/2) lalu. Bahkan, ternyata program yang disebut R41 telah berjalan sekitar 40 persen, di mana 25 kapal di antaranya telah selesai diperbaiki badannya.

Adapun jenis kapal yang diperbaiki meliputi Fast Patrol Boat (FBB) Class, Parchim Class, PKR Class, Sigma Class, Bung Tomo Class, dan Corvette Fatahillah Class. Saking banyaknya kapal perang yang harus dimodernisasi, galangan kapal yang dilibatkan bukan hanya PT PAL saja, tapi juga ada PT Batamec, PT Palindo Marine, PT Waruna Shipyard, dan PT Dok Bahari Nusantara.

Selain menggelar program R41, pada saat bersamaan Kemhan juga tengah membangun berbagai jenis kapal perang. Kapal perang yang tengah dikerjakan berbagai galangan antara lain Fregat Merah Putih yang dibangun PT PAL, Offshore Patrol Vessel (OPV) dan OPV 90 (PT Daya Radar Utama), dan Korvet (PT Karimun Anugrah Sejati Batam).

baca juga: Modernisasi Alutsista, Ganjar: Indonesia Butuh Tanker Terapung untuk Patroli TNI AL

Masih dalam rangka memperkuat kapabilitas otot penjaga laut Nusantara, pemerintah juga tengah dalam negosiasi memborong mengakuisisi 2 unit kapal OPV rasa fregat, yakni Paolo Thaon Di Revel Class asal Italia. Tak kalah menggetarkan, pemerintah juga memborong 45 unit rudal Atmaca asal buatan Roketsai Turki, beserta unit peluncur dan terminal pendukung.

Paket rudal inilah yang akan disematkan dalam korvet Fatahillah Class, korvet Parchim Class dan KCR FPB-57 yang tengah dimodernisasi. OPB 90 yang sedang dibangun juga diproyeksikan akan diperkuat rudal yang memiliki kecepatan subsonic mach 0.85 dan mampu mencapai sasaran sejauh 200 km dengan terbang pada ketinggian sea skimming tersebut.

Postur Pertahanan dan Potensi Ancaman

Lompatan progresif yang ditunjukkan Indonesia melalui program R41, pembangunan dan pembelian kapal perang baru, serta akuisisi paket rudal tak lain untuk memperkuat postur pertahanan demi meningkatkan kemampuan pertahanan negara. Potensi ancaman kian kompleks dan beragam memerlukan kemampuan pertahanan negara yang kuat. Postur pertahanan negara terus disesuaikan dan diarahkan agar dapat menjawab berbagai kemungkinan tantangan, serta ancaman nyata dan belum nyata.

Berdasar Buku Putih Pertahanan 2015, pembangunan pertahanan negara diselenggarakan untuk mewujudkan pertahanan militer dan nirmiliter menuju kekuatan maritim regional disegani di kawasan Asia Pasifik dengan prinsip defensif aktif, dalam rangka menjamin kepentingan nasional.

Selanjutnya, usaha pertahanan negara diselenggarakan melalui pembangunan postur pertahanan negara secara berkesinambungan untuk mewujudkan kekuatan, kemampuan dan gelar. Pembangunan postur pertahanan militer diarahkan pada pemenuhan Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF), yang diprioritaskan pada pembangunan kekuatan pertahanan maritim dengan memanfaatkan teknologi satelit dan sistem drone.

Bila melihat penjelasan tersebut, maka konsolidasi kekuatan armada laut merupakan prioritas MEF yang memberi penekanan akan pentingnya pembangunan kekuatan pertahanan maritim. Bahkan, dalam Buku Putih Pertahanan juga disebut urgensi mengantisipasi perkembangan situasi keamanan maritim wilayah Indonesia saat ini, khususnya di wilayah kepulauan Natuna dan wilayah Merauke.

Dalam konteks penguatan pertahanan, Buku Putih Pertahanan juga menyiunggung sengketa Laut Cina Selatan (LCS) yang dapat memengaruhi stabilitas keamanan di kawasan Asia Pasifik -dalam hal terkait klaim yang dilakukan China terhadap sebagian besar wilayah ini. Apalagi kawasan ini memiliki posisi geografi sangat strategis dan sumber daya alam yang bernilai ekonomi tinggi, hingga bisa menimbulkan potensi konflik bersenjata (terbuka).

Potensi demikian terjadi karena beberapa alasan. Pertama, para pihak yang terlibat dalam sengketa LCS sering menggunakan instrumen militer untuk memperkuat klaimnya; kedua, ada keterlibatan negara-negara di luar kawasan dalam konflik tersebut; ketiga, belum ada institusi atau organisasi internasional yang kredibel dalam menyelesaikan persengketaan.

Situasi di LCS kian diperkeruh dengan kebijakan penyeimbangan kembali (rebalancing) AS di kawasan Asia Pasifik. Kebijakan dimaksud ditempuh melalui tiga inisiatif, yaitu: keamanan melalui kehadiran kekuatan militer, ekonomi melalui Trans Pacific Partnership (TPP) untuk mengimbangi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) serta diplomacy engagement.

Secara kongkret Paman Sam bahkan telah membentuk aliansi AUKUS bersama Inggris dan Australia, dengan langkah diantaranya mendukung Australia membangun kapal selam bertenaga nuklir. Perkembangan tersebut bukan hanya mengubah balance of power di kawasan, tapi juga menciptakan instabilitas.

Walaupun dinamika tersebut masih dianggap ancaman belum nyata karena kecil kemungkinan pecah menjadi konflik terbuka atau perang konvensial. Kendati demikian, Buku Putih Pertahanan menekankan bahwa sebagai bangsa yang memiliki potensi luar biasa, kewaspadaan harus tetap dijaga mengingat bentuk ancaman bersifat dinamis, serta dapat berubah menjadi ancaman nyata ketika kepentingan nasional dan kehormatan negara terusik.

Menuju Kekuatan Maritim Diperhitungkan

‘’Ini satu potensi, aset yang besar 41 kapal kalau di modernisasi di-refurbish, repowering, replating, ditambah persenjataan ampuh, saya kira Indonesia akan punya kekuatan maritim yang diperhitungkan. Empat puluh satu kapal ini cukup besar.’’

Pernyataan ini disampaikan Menhan Prabowo Subianto saat melakukan inspeksi modernisasi kapal perang di PT Pal Surabaya. Tentu saja, program R41 tersebut diarahkan untuk menambah kapabilitas sekaligus memenuhi minimum essential force (MEF) untuk operasi perang maupun selain perang.Di sisi lain bagi TNI AL, seperti disampaikan Waaslog KSAL Laksma TNI Maman Rohman, program R41 akan membuat seluruh kapal perang TNI AL dalam kondisi siap tempur!

Memahami apa yang disampaikan Prabowo maupun TNI AL, maka arah konsolidasi kekuatan matra laut melalui modernisasi, pembangunan kapal perang baru, serta pembelian rudal baru selaras dengan prinsip ‘’ci visi pacem, para bellum’’ (siapa menginginkan perdamaian, bersiapkan untuk perang) dan perlunya menghadirkan deterrent effect (efek gentar) demi melindungi kedaulatan wilayah.

Karena itu, konsolidasi kekuatan yang dilakukan tidak keluar dari rel penyesuaian postur pertahanan agar TNI AL mampu merespons berbagai dinamika tantangan yang terjadi di kawasan - baik ancaman nyata atau belum nyata- seperti ditunjukkan langkah agresif China di Laut China Selatan -bahkan beberapa kali kapal mereka menabrak batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.

Sementara di bagian lain konsolidasi kekuatan yang dilakukan Australia dan sekutunya juga ditunjukkan melalui kehadiran mereka secara militer di kawasan sebagai bagian rebalancing power juga menciptakan instabilitas. Apalagi kemudian Austria nekat membangun kapal selam nuklir meski melanggar prinsip Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT).

Dinamika yang berkembang secara langsung telah menaikkan tensi negara-negara di kawasan, sehingga sebagian besar di antara mereka berlomba-lomba memperkuat kapasitas dan kapabilitas militer, termasuk dengan menaikkan anggaran belanja pertahanannya. Malahan di ASEAN, peningkatan tersebut telah terjadi sejak periode 2009-2018, dengan peningkatan mencapai 33% atau USD41 miliar.

Indonesia yang berada di dalam wilayah pertarungan tentu juga tidak bisa tinggal diam. Bahkan, sebagai negara dengan 70 persen wilayahnya berupa lautan, dengan 17.000 pulau di dalamnya, dan garis pantai membentang sepanjang 99.000 km, Indonesia harus tampil menjadi kekuatan maritim regional Asia Pasifik.

Seperti pernah disampaikan Presiden Soekarno pada National Maritim Convention tahun 1963, bahwa untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, kuat, makmur, dan damai Indonesia harus dapat menguasai lautan. Dalam konteks pertahanan, Indonesia memiliki kemampuan mengamankan setiap jengkal wilayah laut, dengan tetap berpegang pada doktrin pertahanan defensif aktif.

Dengan begitu, arah konsolidasi kekuatan bagian dari kewaspadaan terhadap munculnya berbagai dinamika ancaman yang setiap saat berubah menjadi ancaman nyata yang mengusik kepentingan nasional, kehormatan negara bahkan keselamatan NKRI. Melalui kekuatan dan kewibawaan armada laut, negara lain pun akan berpikir ulang untuk mengusik apalagi menabrak kedaulatan wilayah Indonesia.

Dinamika geopolitik dan geomiliter di kawasan LCS maupun Indo-Pasifik akan terus berkembang yang diiringi dengan penguatan militer, baik secara kuantitas maupun kualitas. Karena itu, konsolidasi kekuatan maritim harus dilakukan secara berkesinambungan.Untuk itulah, siapapun rezim yang menjadi pemimpin ke depan, akan memiliki tugas sama.

Idealnya, Indonesia harus mampu mewujudkan gagasan sistem pertahanan Perisai Samudra Nusantara. Selain mensyaratkan kekuatan armada kapal perang dan rudal canggih, konsep yang merupakan bagian dari Perisai Trisula Nusantara tersebut juga membutuhkan dukungan sistem radar, sistem pertahanan pantai, kapal selam tangguh, serta berbagai jenis kapal selam otonom untuk fungsi. (*)
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1606 seconds (0.1#10.140)