Harlah ke-101 NU Momentum Kembangkan Warisan Nahdlatul Ulama bagi Indonesia
Minggu, 28 Januari 2024 - 17:30 WIB
Politik kebangsaan NU, kata Kiai Marsudi, adalah memastikan empat hal dasar dalam negara demokrasi. Pertama, berjalannya seluruh proses pengambilan kebijakan politik dengan nusyawarah. Kedua, tanggung jawab kemaslahatan individu. Ketiga, kemaslahatan publik (umum) dalam hak-hak dan persamaan hak di antara manusia. Keempat, gotong-royong, solidaritas dari semua aliran dan golongan untuk menyatukan diri dalam membangun bangsa, bukan politik partisan.
NU merupakan rumah kader bangsa yang bisa menghasilkan pimpinan-pimpinan bangsa, dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta para ahli dan praktisi. Karena itu, pengurus NU memiliki tugas mempersiapkap pengkaderan, sehingga anggota DPR, DPRD, DPD, RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri, Capres-Cawapres, dan praktisi, ahli, dan pelaku bisnis merupakan kader NU.
"Budaya kumpul-kumpul, betapa pun kelihatannya sepele seperti Yasinan, Tahlilan, Sholawatan, Slametan, Maulidan, Rajaban, Rewahan, Suroan, Agustusan, Hari Santri, majlis ta'lim , majlis zikir, halalbihalal, harus terus dijaga dan diperkuat. Sebab, pada dasarnya budaya kumpul-kumpul mampu mempersatukan bangsa. Negara yang tidak punya budaya kumpul-kumpul mudah konflik, mudah perang, tinggal kita memperkuat bahwa budaya kumpul-kumpul ini diperluas sampai antaragama, suku, dan masyarakat luas. Problem perpecahan dapat diminimalisasi dengan kumpul-kumpul," katanya.
Penguatan budaya kumpal-kumpul juga merupakan fondasi kuat untuk menggerakkan ekonomi keumatan. Jika hal ini digerakkan PBNU, tidak sekedar pertumbuhan ekonomi Indonesia yang akan meningkat tapi ekonomi masyarakat akan tumbuh, sehingga akhirnya pembayar zakat, infaq, sodaqoh, dan pajak terus tumbuh besar.
"Bangsa menjadi kuat serta makmur, baldatun toyibatun warobbun ghofur, inilah legacy NU yang harus terus-menerus bersambung tanpa putus karena berganti kepemimpinan dari waktu ke waktu sampai yaumul akhir, harapan kami semua," katanya.
NU merupakan rumah kader bangsa yang bisa menghasilkan pimpinan-pimpinan bangsa, dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta para ahli dan praktisi. Karena itu, pengurus NU memiliki tugas mempersiapkap pengkaderan, sehingga anggota DPR, DPRD, DPD, RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri, Capres-Cawapres, dan praktisi, ahli, dan pelaku bisnis merupakan kader NU.
"Budaya kumpul-kumpul, betapa pun kelihatannya sepele seperti Yasinan, Tahlilan, Sholawatan, Slametan, Maulidan, Rajaban, Rewahan, Suroan, Agustusan, Hari Santri, majlis ta'lim , majlis zikir, halalbihalal, harus terus dijaga dan diperkuat. Sebab, pada dasarnya budaya kumpul-kumpul mampu mempersatukan bangsa. Negara yang tidak punya budaya kumpul-kumpul mudah konflik, mudah perang, tinggal kita memperkuat bahwa budaya kumpul-kumpul ini diperluas sampai antaragama, suku, dan masyarakat luas. Problem perpecahan dapat diminimalisasi dengan kumpul-kumpul," katanya.
Penguatan budaya kumpal-kumpul juga merupakan fondasi kuat untuk menggerakkan ekonomi keumatan. Jika hal ini digerakkan PBNU, tidak sekedar pertumbuhan ekonomi Indonesia yang akan meningkat tapi ekonomi masyarakat akan tumbuh, sehingga akhirnya pembayar zakat, infaq, sodaqoh, dan pajak terus tumbuh besar.
"Bangsa menjadi kuat serta makmur, baldatun toyibatun warobbun ghofur, inilah legacy NU yang harus terus-menerus bersambung tanpa putus karena berganti kepemimpinan dari waktu ke waktu sampai yaumul akhir, harapan kami semua," katanya.
(abd)
tulis komentar anda