Harlah ke-101 NU Momentum Kembangkan Warisan Nahdlatul Ulama bagi Indonesia

Minggu, 28 Januari 2024 - 17:30 WIB
loading...
Harlah ke-101 NU Momentum Kembangkan Warisan Nahdlatul Ulama bagi Indonesia
Tokoh NU yang juga Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Marsudi Syuhud. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Hari Lahir (Harlah) ke-101 Nahdlatul Ulama (NU) yang jatuh pada 16 Rajab 1445/28 Januari 2024 merupakan momentum emas yang harus menjadi pendorong bagi seluruh pengurus dan warganya agar terus membumikan warisan besar paham Ahlussunah Waljamaah (Aswaja). Diharapkan, paham ini tidak saja berkembang di Indonesia tapi juga di dunia.

Tokoh NU KH Marsudi Syuhud menjelaskan, Aswaja adalah paham keagamaan pemersatu bangsa yang pahamnya adalah Tawasuth (moderat), Tasamuh (toleran), dan Tawazun (seimbang). Paham yang tidak terlalu tathoruf ke kanan dan ke kiri itu bisa diterima oleh seluruh kalangan untuk hidup bersama, hidup berdampingan dalam masyarakat yang beraneka ragam agama, suku, bangsa, dan negaranya.

"Terus membumikan paham Aswaja, yang kemudian menjadi budaya kebangsaan yang mulai beberapa periode kepemimpinan NU ke belakang sudah menjadi rujukan, tidak sekadar di Indonesia tapi juga international dalam hal moderasi beragama, yang kemudian jadi referensi dan diadopsi bangsa lain untuk dapat hidup saling menghormati, menghargai, satu sama lain. Paham ini adalah paham pembumian nilai-nilai agama dengan sosial kemasyarakatan, sehingga menjadi budaya yang kuat yang bisa diekspor ke berbagai belahan dunia," kata Kiai Marsudi Syuhud, Minggu (28/1/2024).



Keorganisasian NU juga harus terus berkembang. Tidak hanya memiliki tingkatan anak ranting hingga pengurus pusat, tapi juga mempunyai pengurus di tingkatan internasional. Ke depan, pengurus harus terus mengembangkan agar NU diterima di negara-negara lain, yang ditandai warga negara setempat menjadi anggota dan pimpinan NU di negaranya. Dari sini silaturahmi terbentuk dan Islam Rahmatan Lil'alamin bisa dirasakan oleh penduduk dunia.

"Pendidikan Pesantren Salafiyah yang mengajarkan ilmu-ilmu kehidupan melalui kitab kitab Turost (kitab kuning) yang sampai saat ini masih digunakan dari kitab tauhid, fiqih, akhlak, dari ubudiyah sampai ekonomi, hukum-hukum sampai astronomi dan lain sebagainya, terus berkembang sampai sekarang menjadi lebih dari 27.000 pesantren dengan jumlah santri tujuh jutaan," kata Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.

Kiai Marsudi memaparkan, pesantren NU di Indonesia juga terus berkembang dari desa sampai ke kota. Pesantren NU saat ini sudah mengadopsi pendidikan sekolah dari SD, SMP, SMA, SMK, MI, MTs, MA. Jumlah sekitar 45.000 unit. Kemudian sekolah tinggi, institut, dan universitas NU baik S1, S2, maupun S3 sudah exist di beberapa daerah.

"Meski pun sudah berdiri ratusan rumah sakit NU, menurut saya sektor kesehatan harus terus dikembangkan, karena masih banyak kebutuhan rumah sakit yang dengan kekhasannya masih dibutuhkan. Harapannya sektor kesehatan menjadi program utama pengurus hari ini, karena pengurus sebelumnya sudah berusaha untuk sektor pendidikan yang utama, sekarang tinggal sektor kesehatan dan ekonomi yang perlu jadi prioritas," kata mantan Sekjen PBNU ini.

Kiai Marsudi mengingatkan, politik yang dianut dan dikembangkan NU adalah politik kebangsaan, yakni menjaga, merawat, dan terus memperkuat Indonesia sebagai negara kesepakatan (konsesus) yang dihasilkan dari musyawarah mufakat. NU menyebutnya Almu'ahadah Alwathoniyah, MUI menyebut Darul Mitsaq, atau Muhammadiyah menyebut Darul 'Ahdi Wasyahadah, sebuah negara yang berdasarkan Pancasila, yang nilai-nilainya sesuai dengan ajaran agama yang dianut.

Politik kebangsaan NU, kata Kiai Marsudi, adalah memastikan empat hal dasar dalam negara demokrasi. Pertama, berjalannya seluruh proses pengambilan kebijakan politik dengan nusyawarah. Kedua, tanggung jawab kemaslahatan individu. Ketiga, kemaslahatan publik (umum) dalam hak-hak dan persamaan hak di antara manusia. Keempat, gotong-royong, solidaritas dari semua aliran dan golongan untuk menyatukan diri dalam membangun bangsa, bukan politik partisan.

NU merupakan rumah kader bangsa yang bisa menghasilkan pimpinan-pimpinan bangsa, dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta para ahli dan praktisi. Karena itu, pengurus NU memiliki tugas mempersiapkap pengkaderan, sehingga anggota DPR, DPRD, DPD, RT, RW, Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri, Capres-Cawapres, dan praktisi, ahli, dan pelaku bisnis merupakan kader NU.

"Budaya kumpul-kumpul, betapa pun kelihatannya sepele seperti Yasinan, Tahlilan, Sholawatan, Slametan, Maulidan, Rajaban, Rewahan, Suroan, Agustusan, Hari Santri, majlis ta'lim , majlis zikir, halalbihalal, harus terus dijaga dan diperkuat. Sebab, pada dasarnya budaya kumpul-kumpul mampu mempersatukan bangsa. Negara yang tidak punya budaya kumpul-kumpul mudah konflik, mudah perang, tinggal kita memperkuat bahwa budaya kumpul-kumpul ini diperluas sampai antaragama, suku, dan masyarakat luas. Problem perpecahan dapat diminimalisasi dengan kumpul-kumpul," katanya.

Penguatan budaya kumpal-kumpul juga merupakan fondasi kuat untuk menggerakkan ekonomi keumatan. Jika hal ini digerakkan PBNU, tidak sekedar pertumbuhan ekonomi Indonesia yang akan meningkat tapi ekonomi masyarakat akan tumbuh, sehingga akhirnya pembayar zakat, infaq, sodaqoh, dan pajak terus tumbuh besar.

"Bangsa menjadi kuat serta makmur, baldatun toyibatun warobbun ghofur, inilah legacy NU yang harus terus-menerus bersambung tanpa putus karena berganti kepemimpinan dari waktu ke waktu sampai yaumul akhir, harapan kami semua," katanya.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1994 seconds (0.1#10.140)