Sebut 2.587 Kasus Tanah Adat, Mahfud MD: Aparat Tidak Mau Melaksanakan Aturan
Minggu, 21 Januari 2024 - 22:11 WIB
JAKARTA - Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3, Mahfud MD membeberkan masalah tanah adat di Indonesia. Mahfud menyebut data Kemenko Polhukam tercatat 2.587 kasus tanah adat hingga 2024.
“Saya ingin memulai masalah ini dengan pengalaman. Bahwa, saat ini di 2024 ini berdasarkan rekapitulasi yang dibuat oleh Kemenko Polhukam dari 10.000 pengaduan, itu 2.587 adalah kasus tanah adat. Jadi ini memang masalah besar di negeri ini,” kata Mahfud di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, Minggu (21/1/2024).
Mahfud mengatakan aturan mengenai masalah tanah adat ini sudah dilaksanakan namun justru aparatnya tidak melaksanakan aturannya. “Ada orang yang mengatakan ada aturannya kan sudah ada, tinggal laksanakan, tidak semudah itu. Justru ini aparatnya yang tidak mau melaksanakan aturan, akalnya banyak sekali,” ujarnya.
Mahfud kemudian mengutip Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa penguasaan tanah jenis tambang sangat berbahaya. “Itu 4 hari yang lalu ketika kami ketemu di KPK, Saya ulangi KPK mengatakan itu bahaya itu penguasaan tanah tapi jenis-jenis tambang,” katanya.
“Oh sudah di sudah dicabut nih, saya nih pengalaman saya juga ada sudah dicabut oleh Mahkamah Agung, tidak dilaksanakan sampai setahun setengah, IUP tadi yang dikatakan oleh Mas Gibran. Ada perintah dari Mahkamah Agung di sana dicabut ini IUP sudah inkrah satu setengah tahun tidak jalan,” kata Mahfud.
Namun permasalahannya, kata Mahfud, saat dirinya sebagai Menko Polhukam mengirimkan petugas ternyata dipindahtugaskan. “Ketika kita ngirim orang ke sana petugasnya tiba-tiba dipindah, yang baru ditanya kami tidak tahu. Padahal sudah terjadi eksploitasi, eksploitasi terhadap tambang-tambang nikel kita misalnya,” ucapnya.
“Nah, oleh sebab itu kalau ditanyakan apa yang harus kita lakukan? Strateginya adalah penertiban birokrasi pemerintah dan aparat penegak hukum karena kalau jawabannya laksanakan aturan itu normatif. Jadi kalau aparat penegak hukum itu hanya orang paling atas yang bisa memerintahkan siapa pimpinan penegak hukum itu,” katanya.
“Saya ingin memulai masalah ini dengan pengalaman. Bahwa, saat ini di 2024 ini berdasarkan rekapitulasi yang dibuat oleh Kemenko Polhukam dari 10.000 pengaduan, itu 2.587 adalah kasus tanah adat. Jadi ini memang masalah besar di negeri ini,” kata Mahfud di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, Minggu (21/1/2024).
Mahfud mengatakan aturan mengenai masalah tanah adat ini sudah dilaksanakan namun justru aparatnya tidak melaksanakan aturannya. “Ada orang yang mengatakan ada aturannya kan sudah ada, tinggal laksanakan, tidak semudah itu. Justru ini aparatnya yang tidak mau melaksanakan aturan, akalnya banyak sekali,” ujarnya.
Mahfud kemudian mengutip Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa penguasaan tanah jenis tambang sangat berbahaya. “Itu 4 hari yang lalu ketika kami ketemu di KPK, Saya ulangi KPK mengatakan itu bahaya itu penguasaan tanah tapi jenis-jenis tambang,” katanya.
“Oh sudah di sudah dicabut nih, saya nih pengalaman saya juga ada sudah dicabut oleh Mahkamah Agung, tidak dilaksanakan sampai setahun setengah, IUP tadi yang dikatakan oleh Mas Gibran. Ada perintah dari Mahkamah Agung di sana dicabut ini IUP sudah inkrah satu setengah tahun tidak jalan,” kata Mahfud.
Namun permasalahannya, kata Mahfud, saat dirinya sebagai Menko Polhukam mengirimkan petugas ternyata dipindahtugaskan. “Ketika kita ngirim orang ke sana petugasnya tiba-tiba dipindah, yang baru ditanya kami tidak tahu. Padahal sudah terjadi eksploitasi, eksploitasi terhadap tambang-tambang nikel kita misalnya,” ucapnya.
“Nah, oleh sebab itu kalau ditanyakan apa yang harus kita lakukan? Strateginya adalah penertiban birokrasi pemerintah dan aparat penegak hukum karena kalau jawabannya laksanakan aturan itu normatif. Jadi kalau aparat penegak hukum itu hanya orang paling atas yang bisa memerintahkan siapa pimpinan penegak hukum itu,” katanya.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda