Mahfud MD Ingin Reformasi Aparat dan Penegak Hukum untuk Selesaikan Masalah Adat
Minggu, 21 Januari 2024 - 21:55 WIB
JAKARTA - Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3, Mahfud MD menegaskan ingin melakukan reformasi aparat dan penegak hukum untuk selesaikan masalah adat di Indonesia. Awalnya, Mahfud MD menjawab pertanyaan dari panelis pada debat keempat Pilpres 2024.
Mahfud ditanya tentang kebijakan agraria dan sumber daya alam sering tanpa persetujuan masyarakat adat, akibatnya sejak 2014 terjadi perampasan 8,5 juta hektare wilayah adat mengakibatkan 678 kasus kriminalisasi dan kemiskinan perempuan adat.
"Saya ingin memulai masalah ini dengan pengalaman. Bahwa, saat ini di tahun 2024 ini berdasarkan rekapitulasi yang dibuat oleh Kemenko Polhukam dari 10.000 pengaduan, itu 2.587 adalah kasus tanah adat. Jadi ini memang masalah besar di negeri ini," kata Mahfud di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, Minggu (21/1/2024).
Mahfud mengatakan, aturan sudah dilaksanakan tapi justru aparatnya tidak melaksanakan aturannya. "Ada orang yang mengatakan ada aturannya kan sudah ada, tinggal laksanakan, tidak semudah itu. Justru ini aparatnya yang tidak mau melaksanakan aturan, akalnya banyak sekali," katanya.
Ia mengutip dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa penguasaan tanah jenis tambang sangat berbahaya. "Itu 4 hari yang lalu ketika kami ketemu di KPK, saya ulangi KPK mengatakan itu bahaya itu penguasaan tanah tapi jenis-jenis tambang," katanya.
"Oh sudah dicabut nih, saya nih pengalaman saya juga ada sudah dicabut oleh Mahkamah Agung, tidak dilaksanakan sampai setahun setengah, IUP tadi yang dikatakan oleh Mas Gibran. Ada perintah dari Mahkamah Agung di sana dicabut ini IUP sudah inkrah satu setengah tahun tidak jalan," kata Mahfud.
Namun permasalahannya, kata Mahfud, saat dirinya sebagai Menko Polhukam mengirimkan petugas ternyata dipindah tugaskan. "Ketika kita ngirim orang ke sana petugasnya tiba-tiba dipindah, yang baru ditanya kami tidak tahu. Padahal sudah terjadi eksploitasi, eksploitasi terhadap tambang-tambang nikel kita misalnya," katanya.
"Nah, oleh sebab itu kalau ditanyakan apa yang harus kita lakukan? Strateginya adalah penertiban birokrasi pemerintah dan aparat penegak hukum karena kalau jawabannya laksanakan aturan itu normatif. Jadi kalau aparat penegak hukum itu hanya orang paling atas yang bisa memerintahkan siapa pimpinan penegak hukum itu," katanya.
Mahfud ditanya tentang kebijakan agraria dan sumber daya alam sering tanpa persetujuan masyarakat adat, akibatnya sejak 2014 terjadi perampasan 8,5 juta hektare wilayah adat mengakibatkan 678 kasus kriminalisasi dan kemiskinan perempuan adat.
"Saya ingin memulai masalah ini dengan pengalaman. Bahwa, saat ini di tahun 2024 ini berdasarkan rekapitulasi yang dibuat oleh Kemenko Polhukam dari 10.000 pengaduan, itu 2.587 adalah kasus tanah adat. Jadi ini memang masalah besar di negeri ini," kata Mahfud di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat, Minggu (21/1/2024).
Mahfud mengatakan, aturan sudah dilaksanakan tapi justru aparatnya tidak melaksanakan aturannya. "Ada orang yang mengatakan ada aturannya kan sudah ada, tinggal laksanakan, tidak semudah itu. Justru ini aparatnya yang tidak mau melaksanakan aturan, akalnya banyak sekali," katanya.
Ia mengutip dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa penguasaan tanah jenis tambang sangat berbahaya. "Itu 4 hari yang lalu ketika kami ketemu di KPK, saya ulangi KPK mengatakan itu bahaya itu penguasaan tanah tapi jenis-jenis tambang," katanya.
"Oh sudah dicabut nih, saya nih pengalaman saya juga ada sudah dicabut oleh Mahkamah Agung, tidak dilaksanakan sampai setahun setengah, IUP tadi yang dikatakan oleh Mas Gibran. Ada perintah dari Mahkamah Agung di sana dicabut ini IUP sudah inkrah satu setengah tahun tidak jalan," kata Mahfud.
Namun permasalahannya, kata Mahfud, saat dirinya sebagai Menko Polhukam mengirimkan petugas ternyata dipindah tugaskan. "Ketika kita ngirim orang ke sana petugasnya tiba-tiba dipindah, yang baru ditanya kami tidak tahu. Padahal sudah terjadi eksploitasi, eksploitasi terhadap tambang-tambang nikel kita misalnya," katanya.
"Nah, oleh sebab itu kalau ditanyakan apa yang harus kita lakukan? Strateginya adalah penertiban birokrasi pemerintah dan aparat penegak hukum karena kalau jawabannya laksanakan aturan itu normatif. Jadi kalau aparat penegak hukum itu hanya orang paling atas yang bisa memerintahkan siapa pimpinan penegak hukum itu," katanya.
(abd)
tulis komentar anda