Netfid Sebut Indonesia dalam Situasi Demokrasi Militan
Kamis, 23 November 2023 - 17:06 WIB
JAKARTA - Ketua Umum Network For Indonesian Democratic Society (Netfid) Indonesia, Muhammad Afit Khomsani mengatakan, kerja-kerja yang dilakukan elite politik menjadikan Indonesia berada dalam situasi demokrasi militan. Menurutnya, situasi ini bukan hal yang membanggakan.
"Dimana kita menggunakan instrumen-instrumen demokrasi, institusi-institusi demokrasi untuk mencapai tujuan dengan cara yang tidak demokratis," kata Afit Khomsani dalam keterangannya dikutip, Kamis (23/11/2023).
Ia menjelaskan, meski apa yang dilakukan elite politik tidak melanggar aturan, dalam artian konstitusi memperbolehkan melakukannya, akan tetapi mereka tidak mengindahkan apa yang disebut etika politik.
"Padahal beberapa ahli dan riset menyebutkan bahwa etika politik adalah level tertinggi di politik itu sendiri," katanya.
Menurutnya, bentuk oligarki hari ini sangat berbeda dengan dulu. Karakter oligarki sudah berevolusi dari mendorong seseorang, sekarang masuk dan tampil dalam kontestasi elektoral. Karena itu itu, masyarakat bisa menilai sendiri apakah langung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil masih relevan sebagai tujuan dan dasar dari penyelenggaraan pemilu atau hanya sebatas jargon belaka.
"Iya pemilu langsung, umum, tetapi apakah bebas, rahasia, jujur atau adil, karena ada dugaan potensi intervensi dari kekuasaan yang sangat ada, potensi ada di situ," katanya.
Pemerintah seringkali menggembar-gemborkan bahwa aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan Polri harus netral. Namun keterlibatan bagian dari keluarga penguasa dalam kontestasi hari ini memunculkan potensi conflict of interest di dalamnya.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana menambahkan, salah satu tantangan demokrasi adalah ketika elite merasa etika politik dalam berdemokrasi itu sudah tidak penting.
"Tentu yang krusial adalah bagaimana pemimpin negara yaitu presiden dalam mengelola etika berdemokrasi itu, karena kunci arah pergerakan berbangsa dan dan bernegara ada di tangan pemimpin politik," katanya.
"Dimana kita menggunakan instrumen-instrumen demokrasi, institusi-institusi demokrasi untuk mencapai tujuan dengan cara yang tidak demokratis," kata Afit Khomsani dalam keterangannya dikutip, Kamis (23/11/2023).
Ia menjelaskan, meski apa yang dilakukan elite politik tidak melanggar aturan, dalam artian konstitusi memperbolehkan melakukannya, akan tetapi mereka tidak mengindahkan apa yang disebut etika politik.
"Padahal beberapa ahli dan riset menyebutkan bahwa etika politik adalah level tertinggi di politik itu sendiri," katanya.
Menurutnya, bentuk oligarki hari ini sangat berbeda dengan dulu. Karakter oligarki sudah berevolusi dari mendorong seseorang, sekarang masuk dan tampil dalam kontestasi elektoral. Karena itu itu, masyarakat bisa menilai sendiri apakah langung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil masih relevan sebagai tujuan dan dasar dari penyelenggaraan pemilu atau hanya sebatas jargon belaka.
"Iya pemilu langsung, umum, tetapi apakah bebas, rahasia, jujur atau adil, karena ada dugaan potensi intervensi dari kekuasaan yang sangat ada, potensi ada di situ," katanya.
Pemerintah seringkali menggembar-gemborkan bahwa aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan Polri harus netral. Namun keterlibatan bagian dari keluarga penguasa dalam kontestasi hari ini memunculkan potensi conflict of interest di dalamnya.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana menambahkan, salah satu tantangan demokrasi adalah ketika elite merasa etika politik dalam berdemokrasi itu sudah tidak penting.
"Tentu yang krusial adalah bagaimana pemimpin negara yaitu presiden dalam mengelola etika berdemokrasi itu, karena kunci arah pergerakan berbangsa dan dan bernegara ada di tangan pemimpin politik," katanya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda