Pemerintah Salah Resep, Konstraksi Ekonomi Kita Lebih Buruk dari Prediksi
Jum'at, 07 Agustus 2020 - 11:52 WIB
Anggaran gaji ketiga belas ini kan sebenarnya hampir bersifat rutin. Namun, dalam satu semester terakhir anggaran ini dibuat seolah-olah mengambang oleh pemerintah. Ada dan tiadanya jadi tak jelas. Menurut saya, kebijakan tarik-ulur semacam ini telah memperburuk kontraksi ekonomi kuartal kemarin. Jangan lupa, anggaran semacam ini punya efek pengganda ekonomi yang signifikan.
Anggaran ini seharusnya sudah dicairkan sesudah Idul Fitri kemarin, di bulan Juni atau paling lambat Juli. Namun, hingga lewat Idul Adha, anggaran ini masih juga belum dicairkan. Kalau saja anggaran ini dicairkan sesuai jadual, kita mungkin bisa sedikit menahan besaran kontraksi.
Artinya, pada kuartal kemarin pemerintah sudah gagal menjalankan fungsinya menahan agar kontraksi ekonomi ini tak terlalu besar. Pemerintah justru menjadi kontributor bagi pertumbuhan ekonomi negatif, karena lamban dalam penyerapan anggaran dan penyaluran bantuan. Pertumbuhan belanja pemerintah kemarin minus hingga 6,9%. Padahal di mana-mana Presiden gembar-gembor bikin stimulus.
Merujuk data BPS kemarin, kontraksi sebesar 5,32% memang harus disikapi waspada. Sebab, penurunan sebesar itu merupakan yang pertama terjadi sesudah kuartal I 1999. Saat itu, ekonomi Indonesia tercatat minus 6,13%. Menurut BPS, hanya ada tiga sektor yang tumbuh positif pada kuartal kemarin, yaitu pertanian, informasi dan komunikasi, serta pengadaan air. Sektor lainnya mengalami kontraksi.
Menghadapi ancaman resesi ini, menurut saya pemerintah seharusnya melakukan terobosan. Resep lama sudah terbukti tak bisa menyelamatkan kita dari ancaman resesi.
Dalam jangka pendek, ada dua hal yang saya kira harus segera diperhatikan pemerintah.
Pertama, anggaran stimulus ekonomi sebaiknya difokuskan pada dua isu, yaitu menumbuhkan daya beli masyarakat dan menciptakan lapangan kerja. Dua hal ini akan mendorong ekonomi rakyat terus bergerak. Pemerintah juga harus memperhatikan penyaluran bantuan sebaiknya dilakukan dalam bentuk tunai, bukan dalam bentuk barang. Tujuannya adalah agar terjadi transaksi ekonomi di tengah masyarakat, sehingga perekonomian terus bergerak.
Kedua, dari sisi sektoral, anggaran stimulus sebaiknya diprioritaskan di sektor pangan dan pertanian. Di tengah pandemi, pangan dan pertanian merupakan isu sektoral yang vital. Kita sama-sama bisa melihat, meskipun sektor lainnya mengalami kontraksi, dari data BPS kemarin sektor pertanian justru tumbuh positif 16%. Jadi, ini adalah sektor yang punya daya tahan.
Kontribusi sektor ini bagi PDB memang “kecil”, sekitar 13%, dan cenderung terus menurun tiap tahun. Namun, pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Sekitar 35% angkatan kerja kita diserap sektor ini.
Di tengah pandemi, saat isu pengangguran, pemutusan hubungan kerja, dan kemiskinan kian mengancam, sektor-sektor yang bisa menyerap angkatan kerja seharusnya makin diperhatikan pemerintah. Sektor pertanian bisa jadi pendorong di saat krisis. Apalagi, sektor pertanian yang kokoh merupakan prasyarat penting bagi industrialisasi. Industrialisasi di Eropa, Jepang, atau Korea Selatan, misalnya, bisa terjadi karena ditopang oleh sektor pertanian yang kuat.
Anggaran ini seharusnya sudah dicairkan sesudah Idul Fitri kemarin, di bulan Juni atau paling lambat Juli. Namun, hingga lewat Idul Adha, anggaran ini masih juga belum dicairkan. Kalau saja anggaran ini dicairkan sesuai jadual, kita mungkin bisa sedikit menahan besaran kontraksi.
Artinya, pada kuartal kemarin pemerintah sudah gagal menjalankan fungsinya menahan agar kontraksi ekonomi ini tak terlalu besar. Pemerintah justru menjadi kontributor bagi pertumbuhan ekonomi negatif, karena lamban dalam penyerapan anggaran dan penyaluran bantuan. Pertumbuhan belanja pemerintah kemarin minus hingga 6,9%. Padahal di mana-mana Presiden gembar-gembor bikin stimulus.
Merujuk data BPS kemarin, kontraksi sebesar 5,32% memang harus disikapi waspada. Sebab, penurunan sebesar itu merupakan yang pertama terjadi sesudah kuartal I 1999. Saat itu, ekonomi Indonesia tercatat minus 6,13%. Menurut BPS, hanya ada tiga sektor yang tumbuh positif pada kuartal kemarin, yaitu pertanian, informasi dan komunikasi, serta pengadaan air. Sektor lainnya mengalami kontraksi.
Menghadapi ancaman resesi ini, menurut saya pemerintah seharusnya melakukan terobosan. Resep lama sudah terbukti tak bisa menyelamatkan kita dari ancaman resesi.
Dalam jangka pendek, ada dua hal yang saya kira harus segera diperhatikan pemerintah.
Pertama, anggaran stimulus ekonomi sebaiknya difokuskan pada dua isu, yaitu menumbuhkan daya beli masyarakat dan menciptakan lapangan kerja. Dua hal ini akan mendorong ekonomi rakyat terus bergerak. Pemerintah juga harus memperhatikan penyaluran bantuan sebaiknya dilakukan dalam bentuk tunai, bukan dalam bentuk barang. Tujuannya adalah agar terjadi transaksi ekonomi di tengah masyarakat, sehingga perekonomian terus bergerak.
Kedua, dari sisi sektoral, anggaran stimulus sebaiknya diprioritaskan di sektor pangan dan pertanian. Di tengah pandemi, pangan dan pertanian merupakan isu sektoral yang vital. Kita sama-sama bisa melihat, meskipun sektor lainnya mengalami kontraksi, dari data BPS kemarin sektor pertanian justru tumbuh positif 16%. Jadi, ini adalah sektor yang punya daya tahan.
Kontribusi sektor ini bagi PDB memang “kecil”, sekitar 13%, dan cenderung terus menurun tiap tahun. Namun, pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Sekitar 35% angkatan kerja kita diserap sektor ini.
Di tengah pandemi, saat isu pengangguran, pemutusan hubungan kerja, dan kemiskinan kian mengancam, sektor-sektor yang bisa menyerap angkatan kerja seharusnya makin diperhatikan pemerintah. Sektor pertanian bisa jadi pendorong di saat krisis. Apalagi, sektor pertanian yang kokoh merupakan prasyarat penting bagi industrialisasi. Industrialisasi di Eropa, Jepang, atau Korea Selatan, misalnya, bisa terjadi karena ditopang oleh sektor pertanian yang kuat.
tulis komentar anda