Pemerintah Salah Resep, Konstraksi Ekonomi Kita Lebih Buruk dari Prediksi
Jum'at, 07 Agustus 2020 - 11:52 WIB
Fadli Zon
Anggota DPR RI, Alumnus Studi Pembangunan LSE (London School of Economics, Inggris)
PEMERINTAH terbukti lamban dan salah resep dalam mengantisipasi terjadinya krisis, baik terkait pandemi maupun eksesnya bagi perekonomian nasional. BPS (Badan Pusat Statistik) sudah mengumumkan bahwa PDB (Produk Domestik Bruto) kita pada kuartal II (Q2) kemarin minus sebesar 5,32%. Angka ini jauh lebih buruk daripada ekspektasi Pemerintah yang sebelumnya memperkirakan hanya akan minus 4,3 hingga 4,8% saja, dengan angka batas bawah minus 5,1%. Nyatanya, perekonomian kita merosot lebih buruk dari itu. Ini adalah peringatan agar kita waspada terhadap narasi optimis yang selalu didengungkan pemerintah.
Memang, di tengah pandemi Covid-19 resesi adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Semua negara akan mengalaminya. Hanya soal waktu saja. Namun, di tengah keniscayaan itu, pemerintah kita seharusnya bisa mengantisipasi agar kerusakan yang paling buruk tidak terjadi. Dan inilah sepertinya yang gagal diperlihatkan dalam beberapa bulan terakhir.
Meski di atas kertas yang disebut resesi adalah ketika pertumbuhan ekonomi dilaporkan minus dua kuartal berturut-turut atau lebih, namun secara de facto saya kira kita saat ini sudah berada di tengah resesi. Hanya soal waktu saja BPS nanti akan mengumumkan bahwa kuartal III-2020 juga ekonomi kita akan kembali minus. Sebab, sepanjang satu semester kemarin, pemerintah sudah gagal menetapkan prioritas pekerjaan.
Sejak awal pemerintah memang gagal menetapkan prioritas. Saat kasus Covid-19 pertama kali dikonfirmasi masuk ke Indonesia, awal Maret lalu, dengan alasan ekonomi pemerintah menolak melakukan karantina wilayah. Padahal, perekonomian mustahil tumbuh jika negara gagal mengatasi pandemi. Ujungnya, per hari ini pemerintah bisa dikatakan tak berhasil menangani keduanya. Kita saat ini menghadapi tekanan besar dari dua jurusan sekaligus, yaitu pandemi dan resesi ekonomi.
Dari sisi pandemi, data menunjukkan penanggulangan Covid-19 di Indonesia merupakan yang terburuk di Asia. Kemampuan kita dalam melakukan tes, misalnya, hanya lebih baik dari Ethiopia dan Nigeria. Sebagai negara dengan jumlah penduduk lebih dari 50 juta, kita sejauh ini baru mampu melakukan 36 tes per satu juta penduduk. Angka ini hanya lebih baik dari Ethiopia dan Nigeria, yang masing-masing hanya bisa melakukan 28 dan 24 tes per satu juta penduduk. Bahkan, dalam hal indeks kematian tenaga medis, posisi Indonesia adalah yang terburuk di dunia. Jika penanganan Covid-19 masih berlangsung seperti sekarang, maka kita terancam bakal mengalami pandemi berkepanjangan.
Sementara, dari sisi ekonomi, pemerintah juga telah gagal memperkecil kontraksi ekonomi. Padahal, anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) kita mencapai Rp695,2 triliun. Lambatnya penyerapan anggaran dan penyaluran bantuan untuk masyarakat ini merupakan biang keladi kenapa tingkat kontraksi ekonomi kita lebih buruk dari yang diprediksikan. Padahal, bantuan untuk masyarakat, terutama dalam bentuk tunai, bisa memberikan dorongan signifikan bagi perekonomian.
Dalam enam bulan terakhir, kesempatan untuk mendorong perekonomian melalui berbagai stimulus tadi telah disia-siakan. Tak usah jauh-jauh bicara anggaran kesehatan yang per minggu ini serapannya baru 7,19% dari total anggaran Rp87,55 triliun, atau realisasi program bantuan UMKM yang baru mencapai 25,26% dari total anggaran Rp123,47 triliun. Kita bicara mengenai gaji ketiga belas untuk para pegawai negeri saja.
Anggota DPR RI, Alumnus Studi Pembangunan LSE (London School of Economics, Inggris)
PEMERINTAH terbukti lamban dan salah resep dalam mengantisipasi terjadinya krisis, baik terkait pandemi maupun eksesnya bagi perekonomian nasional. BPS (Badan Pusat Statistik) sudah mengumumkan bahwa PDB (Produk Domestik Bruto) kita pada kuartal II (Q2) kemarin minus sebesar 5,32%. Angka ini jauh lebih buruk daripada ekspektasi Pemerintah yang sebelumnya memperkirakan hanya akan minus 4,3 hingga 4,8% saja, dengan angka batas bawah minus 5,1%. Nyatanya, perekonomian kita merosot lebih buruk dari itu. Ini adalah peringatan agar kita waspada terhadap narasi optimis yang selalu didengungkan pemerintah.
Memang, di tengah pandemi Covid-19 resesi adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Semua negara akan mengalaminya. Hanya soal waktu saja. Namun, di tengah keniscayaan itu, pemerintah kita seharusnya bisa mengantisipasi agar kerusakan yang paling buruk tidak terjadi. Dan inilah sepertinya yang gagal diperlihatkan dalam beberapa bulan terakhir.
Meski di atas kertas yang disebut resesi adalah ketika pertumbuhan ekonomi dilaporkan minus dua kuartal berturut-turut atau lebih, namun secara de facto saya kira kita saat ini sudah berada di tengah resesi. Hanya soal waktu saja BPS nanti akan mengumumkan bahwa kuartal III-2020 juga ekonomi kita akan kembali minus. Sebab, sepanjang satu semester kemarin, pemerintah sudah gagal menetapkan prioritas pekerjaan.
Sejak awal pemerintah memang gagal menetapkan prioritas. Saat kasus Covid-19 pertama kali dikonfirmasi masuk ke Indonesia, awal Maret lalu, dengan alasan ekonomi pemerintah menolak melakukan karantina wilayah. Padahal, perekonomian mustahil tumbuh jika negara gagal mengatasi pandemi. Ujungnya, per hari ini pemerintah bisa dikatakan tak berhasil menangani keduanya. Kita saat ini menghadapi tekanan besar dari dua jurusan sekaligus, yaitu pandemi dan resesi ekonomi.
Dari sisi pandemi, data menunjukkan penanggulangan Covid-19 di Indonesia merupakan yang terburuk di Asia. Kemampuan kita dalam melakukan tes, misalnya, hanya lebih baik dari Ethiopia dan Nigeria. Sebagai negara dengan jumlah penduduk lebih dari 50 juta, kita sejauh ini baru mampu melakukan 36 tes per satu juta penduduk. Angka ini hanya lebih baik dari Ethiopia dan Nigeria, yang masing-masing hanya bisa melakukan 28 dan 24 tes per satu juta penduduk. Bahkan, dalam hal indeks kematian tenaga medis, posisi Indonesia adalah yang terburuk di dunia. Jika penanganan Covid-19 masih berlangsung seperti sekarang, maka kita terancam bakal mengalami pandemi berkepanjangan.
Sementara, dari sisi ekonomi, pemerintah juga telah gagal memperkecil kontraksi ekonomi. Padahal, anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) kita mencapai Rp695,2 triliun. Lambatnya penyerapan anggaran dan penyaluran bantuan untuk masyarakat ini merupakan biang keladi kenapa tingkat kontraksi ekonomi kita lebih buruk dari yang diprediksikan. Padahal, bantuan untuk masyarakat, terutama dalam bentuk tunai, bisa memberikan dorongan signifikan bagi perekonomian.
Dalam enam bulan terakhir, kesempatan untuk mendorong perekonomian melalui berbagai stimulus tadi telah disia-siakan. Tak usah jauh-jauh bicara anggaran kesehatan yang per minggu ini serapannya baru 7,19% dari total anggaran Rp87,55 triliun, atau realisasi program bantuan UMKM yang baru mencapai 25,26% dari total anggaran Rp123,47 triliun. Kita bicara mengenai gaji ketiga belas untuk para pegawai negeri saja.
tulis komentar anda