Pakar Hukum Tata Negara: Demokrasi Indonesia Terancam Pascaputusan MK
Kamis, 16 November 2023 - 19:41 WIB
JAKARTA - Demokrasi Indonesia terancam pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab putusan MK mendorong dan melegalkan terjadinya praktik nepotisme dan politik dinasti.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, putusan perkara Nomor 90 /PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) berdampak pada demokrasi dan negara hukum.
“Putusan tersebut merusak MK sehingga MK tidak lagi independen, kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut semakin rendah. Bahkan, MK saat ini selalu diolok-olok. Padahal, MK sangat signifikan di masa-masa pemilu,” katanya, Kamis (16/11/2023).
Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini menilai, putusan itu juga melegalkan politik dinasti dan nepotisme. Akibatnya Indonesia tidak akan bisa maju. Bahkan, membahayakan demokrasi. “Politik kotor bisa berakibat pada rusaknya pilar negara demokrasi. Demokrasi mundur dan tidak ada demokrasi yang substantive,” katanya.
Bivitri menyebut, ada enam hal penting yang menjadi persoalan dalam putusan MK. Di antaranya, legal standing yang tidak bisa diterima, usia bukan isu konstitusional, penalaran hukum dalam tiga hari, kemudian concurring rasa dissenting, pelanggaran hukum acara, amar putusan hasil koreksi permohonan.
”Amar Putusan MK tidak menurunkan batas usia. Tetap 40 namun hanya yang pernah menjadi kepala daerah. Putusan MK ini justru merugikan anak muda, terutama anak muda yang tidak memiliki kesempatan dan sumber daya,” tandasnya.
Dia menambahkan, putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) hanya memberhentikan Ketua MK Anwar Usman sebagai ketua, tapi tidak sebagai hakim MK.
”Etik menempel pada diri bukan pada jabatan. Ada beberapa permohonan terkait hal ini sebagai counter terhadap situasi yang ada, namun tidak ada sinyal keterdesakan dari MK hingga saat ini padahal situasinya mendesak,” ujarnya.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, putusan perkara Nomor 90 /PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) berdampak pada demokrasi dan negara hukum.
“Putusan tersebut merusak MK sehingga MK tidak lagi independen, kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut semakin rendah. Bahkan, MK saat ini selalu diolok-olok. Padahal, MK sangat signifikan di masa-masa pemilu,” katanya, Kamis (16/11/2023).
Baca Juga
Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini menilai, putusan itu juga melegalkan politik dinasti dan nepotisme. Akibatnya Indonesia tidak akan bisa maju. Bahkan, membahayakan demokrasi. “Politik kotor bisa berakibat pada rusaknya pilar negara demokrasi. Demokrasi mundur dan tidak ada demokrasi yang substantive,” katanya.
Bivitri menyebut, ada enam hal penting yang menjadi persoalan dalam putusan MK. Di antaranya, legal standing yang tidak bisa diterima, usia bukan isu konstitusional, penalaran hukum dalam tiga hari, kemudian concurring rasa dissenting, pelanggaran hukum acara, amar putusan hasil koreksi permohonan.
”Amar Putusan MK tidak menurunkan batas usia. Tetap 40 namun hanya yang pernah menjadi kepala daerah. Putusan MK ini justru merugikan anak muda, terutama anak muda yang tidak memiliki kesempatan dan sumber daya,” tandasnya.
Dia menambahkan, putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) hanya memberhentikan Ketua MK Anwar Usman sebagai ketua, tapi tidak sebagai hakim MK.
”Etik menempel pada diri bukan pada jabatan. Ada beberapa permohonan terkait hal ini sebagai counter terhadap situasi yang ada, namun tidak ada sinyal keterdesakan dari MK hingga saat ini padahal situasinya mendesak,” ujarnya.
(cip)
tulis komentar anda