Bersiap Hadapi Resesi Ekonomi
Jum'at, 07 Agustus 2020 - 06:08 WIB
BERHARAP resesi ekonomi tak menyentuh Indonesia adalah sesuatu yang sulit. Sebaiknya pemerintah lebih fokus menyiapkan diri bagaimana mengatasi resesi ekonomi kalau itu nantinya menjadi kenyataan. Memang, masih ada harapan angka pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal ketiga tidak mencatatkan angka minus, sehingga pertumbuhan ekonomi tidak negatif berturut-turut dua kuartal. Sebab syarat untuk menyatakan sebuah negara jatuh dalam jurang resesi ekonomi apabila pertumbuhan ekonominya mencatatkan minus dua kuartal secara berturut-turut. Pemerintah masih punya peluang menggenjot belanja agar anggaran bisa terserap baik yang diharapkan bisa memutar roda perekonomian, namun melihat realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua lalu peluangnya menjadi sangat sempit.
Melihat kondisi riil pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal tahun ini, pemerintah sendiri memprediksi pertumbuhan perekonomian nasional masih berpotensi alami kontraksi atau negatif pada kuartal ketiga mendatang. Pasalnya, sebagaimana diungkapkan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati bahwa perbaikan pada sektor penggerak ekonomi membutuhkan waktu yang tidak cepat. Sebelumnya, publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tercetak -5,32% pada kuartal kedua 2020, dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Apabila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2020 telah terkontraksi -4,19%. Pertumbuhan ekonomi tersebut jauh meleset dari prediksi pemerintah pada kisaran -4%. Meski demikian, pemerintah masih tetap berharap pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga masih positif, minimal 0% hingga 0,5%.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua tahun ini dalam masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) adalah terendah sejak krisis 1999 yang mengalami kontraksi hingga -6,13%. Sektor transportasi dan pengadaan mengalami kontraksi paling dalam yang mencapai 30,84%. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian mengalami peningkatan menjadi 15,46% pada kuartal kedua 2020 dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu sekitar 13,57%. Selain itu, BPS juga membeberkan dari 10 sektor industri nasional sebanyak tujuh diantaranya terkapar dihajar pandemi Covid-19, sisanya masih tumbuh namun sangat tipis.
Merujuk data yang ditampilkan BPS ternyata perekonomian Indonesia masih terpusat di Jawa yang menyumbang sebesar 58,55% terhadap produk domestik bruto (PDB). Disusul Sumatera sekitar 21,49%, Kalimantan sebesar 8,04%, Sulawesi sekitar 6,55%, Bali dan Nusa Tenggara sebesar 3,00%, serta Maluku dan Papua sekitar 2,37%. Dari angka-angka yang dibeberkan BPS ternyata hanya Maluku dan Papua yang mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang positif. Tengok saja, pertumbuhan ekonomi Jawa minus 6,69%, Sumatera minus 3,01%, Kalimantan minus 4,35%, Sulawesi minus 2,76%, serta Bali dan Nusa Tenggara minus 6,29%. Tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa Maluku dan Papua mencatatkan pertumbuhan ekonomi sementara yang lain malah negatif? Ternyata dipicu produksi tembaga, emas dan LNG yang meningkat.
Apa yang akan terjadi bila resesi ekonomi melanda Indonesia? Saat ini berkembang berbagai informasi di tengah masyarakat mulai dari sifatnya yang menenangkan hingga info yang ekstrim bahwa sektor keuangan terutama perbankan bakal terguncang. Memang, bila terjadi resesi ekonomi maka segala aktivitas ekonomi bakal terganggu karena terjadi pelambatan yang signifikan sehingga berpotensi terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, yang ujungnya menambah angka pengangguran dan berakhir pada peningkatan angka kemiskinan. Namun, informasi yang berkembang bahwa perbankan terancam terjadi penarikan dana nasabah secara besar-besaran dianggaplah informasi berlebihan, yang bisa membuat masyarakat panik yang pada akhirnya pemerintah tidak konsentrasi mengahadapi masalah.
Lalu, bagaimana kondisi industri keuangan saat ini? Tentu kalau berbicara tentu industri keuangan maka harus merujuk pada lembaga yang punya otoritas, yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Saat ini, OJK mengklaim bahwa kondisi industri keuangan nasional dalam kondisi baik dan terkendali, di mana permodalan dan likuiditas masih memadai dengan prtofil risiko yang terjaga. Adapun rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) untuk bank umum konvensional pada level 22,59% pada kuartal kedua 2020 mengalami kenaikan dibanding kuartal pertama 2020 pada posisi 21,72%.
Begitupula kecukupan likuiditas masih terjaga baik, terlihat dari rasio Aset Likuid terhadap Non Core Deposit (AL/NCD) per akhir Juli 2020 berada di level 130,53% naik dari kuartal pertama yang tercatat 112,9%. Selanjutnya, rasio Aset Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sekitar 27,74% pada kuarta kedua atau naik dari kuartal pertama yang tercatat 24,16%. Dan, OJK mengakui posisi kredit bermasalah (non-performing loan/NPL gross) naik sedikit yang kini di level 3,11% masih terjaga. Situasi yang serba sulit ini memang pemerintah diharapkan bertindak tepat, alangkah baiknya pemerintah lebih fokus menyiapkan langkah dan kebijakan tepat menghadapi bila terjadi resesi ekonomi.
Melihat kondisi riil pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal tahun ini, pemerintah sendiri memprediksi pertumbuhan perekonomian nasional masih berpotensi alami kontraksi atau negatif pada kuartal ketiga mendatang. Pasalnya, sebagaimana diungkapkan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati bahwa perbaikan pada sektor penggerak ekonomi membutuhkan waktu yang tidak cepat. Sebelumnya, publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tercetak -5,32% pada kuartal kedua 2020, dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Apabila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2020 telah terkontraksi -4,19%. Pertumbuhan ekonomi tersebut jauh meleset dari prediksi pemerintah pada kisaran -4%. Meski demikian, pemerintah masih tetap berharap pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga masih positif, minimal 0% hingga 0,5%.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua tahun ini dalam masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) adalah terendah sejak krisis 1999 yang mengalami kontraksi hingga -6,13%. Sektor transportasi dan pengadaan mengalami kontraksi paling dalam yang mencapai 30,84%. Sebaliknya, kontribusi sektor pertanian mengalami peningkatan menjadi 15,46% pada kuartal kedua 2020 dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu sekitar 13,57%. Selain itu, BPS juga membeberkan dari 10 sektor industri nasional sebanyak tujuh diantaranya terkapar dihajar pandemi Covid-19, sisanya masih tumbuh namun sangat tipis.
Merujuk data yang ditampilkan BPS ternyata perekonomian Indonesia masih terpusat di Jawa yang menyumbang sebesar 58,55% terhadap produk domestik bruto (PDB). Disusul Sumatera sekitar 21,49%, Kalimantan sebesar 8,04%, Sulawesi sekitar 6,55%, Bali dan Nusa Tenggara sebesar 3,00%, serta Maluku dan Papua sekitar 2,37%. Dari angka-angka yang dibeberkan BPS ternyata hanya Maluku dan Papua yang mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang positif. Tengok saja, pertumbuhan ekonomi Jawa minus 6,69%, Sumatera minus 3,01%, Kalimantan minus 4,35%, Sulawesi minus 2,76%, serta Bali dan Nusa Tenggara minus 6,29%. Tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa Maluku dan Papua mencatatkan pertumbuhan ekonomi sementara yang lain malah negatif? Ternyata dipicu produksi tembaga, emas dan LNG yang meningkat.
Apa yang akan terjadi bila resesi ekonomi melanda Indonesia? Saat ini berkembang berbagai informasi di tengah masyarakat mulai dari sifatnya yang menenangkan hingga info yang ekstrim bahwa sektor keuangan terutama perbankan bakal terguncang. Memang, bila terjadi resesi ekonomi maka segala aktivitas ekonomi bakal terganggu karena terjadi pelambatan yang signifikan sehingga berpotensi terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, yang ujungnya menambah angka pengangguran dan berakhir pada peningkatan angka kemiskinan. Namun, informasi yang berkembang bahwa perbankan terancam terjadi penarikan dana nasabah secara besar-besaran dianggaplah informasi berlebihan, yang bisa membuat masyarakat panik yang pada akhirnya pemerintah tidak konsentrasi mengahadapi masalah.
Lalu, bagaimana kondisi industri keuangan saat ini? Tentu kalau berbicara tentu industri keuangan maka harus merujuk pada lembaga yang punya otoritas, yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Saat ini, OJK mengklaim bahwa kondisi industri keuangan nasional dalam kondisi baik dan terkendali, di mana permodalan dan likuiditas masih memadai dengan prtofil risiko yang terjaga. Adapun rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) untuk bank umum konvensional pada level 22,59% pada kuartal kedua 2020 mengalami kenaikan dibanding kuartal pertama 2020 pada posisi 21,72%.
Begitupula kecukupan likuiditas masih terjaga baik, terlihat dari rasio Aset Likuid terhadap Non Core Deposit (AL/NCD) per akhir Juli 2020 berada di level 130,53% naik dari kuartal pertama yang tercatat 112,9%. Selanjutnya, rasio Aset Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sekitar 27,74% pada kuarta kedua atau naik dari kuartal pertama yang tercatat 24,16%. Dan, OJK mengakui posisi kredit bermasalah (non-performing loan/NPL gross) naik sedikit yang kini di level 3,11% masih terjaga. Situasi yang serba sulit ini memang pemerintah diharapkan bertindak tepat, alangkah baiknya pemerintah lebih fokus menyiapkan langkah dan kebijakan tepat menghadapi bila terjadi resesi ekonomi.
(ras)
Lihat Juga :
tulis komentar anda