Bersiap Menghadapi Resesi
Kamis, 06 Agustus 2020 - 07:07 WIB
PANDEMI korona (Covid-19) menghantam segala aspek kehidupan manusia, termasuk ekonomi. Perekonomian sejumlah negara porak-poranda dan masuk dalam jurang resesi. Hal itu terjadi karena konsumsi dan investasi domestik di negara-negara yang terhantam pandemi anjlok cukup dalam. Penyebabnya selain kebijakan lock down dalam rangka menghentikan laju penyebaran virus, juga rasa waswas yang masih hinggap dalam diri masyarakat. Akibatnya roda perekonomian tidak berputar secara normal.
Amerika Serikat (AS) misalnya, anjlok ekonominya -32,9% pada kuartal II/2020. Jerman pun setali tiga uang. Ekonomi negara yang memopulerkan industri 4.0 itu minus 10,1% pada kuartal II/2020. Begitu pula Singapura yang minus 12,6% pada kuartal II/2020, Korsel (minus 3,3%), dan Hong Kong (minus 9,9%).
Di dalam negeri kondisi ekonomi nasional juga tak begitu baik. Kemarin Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekonomi nasional minus 5,32% pada kuartal II/2020. Hampir seluruh komponen ekonomi mencatat pertumbuhan negatif pada kuartal II/2020. Misalnya konsumsi rumah tangga minus 5,51%, investasi minus 8,61%, ekspor minus 11,66%, konsumsi pemerintah minus 6,9%, konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT) minus 7,76%, dan impor minus 16,96%.
Melihat komposisi tersebut, masih ada peluang untuk menaklukkan resesi. Langkahnya dengan menggenjot konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Apalagi pemerintah telah menggelontorkan anggaran ratusan triliun untuk penanganan dampak Covid-19.
Namun yang perlu menjadi prioritas dalam waktu dekat, yang bisa dilakukan adalah menciptakan rasa aman dan pola hidup sehat pada masyarakat. Rasa aman dan sehat ini akan menimbulkan kembali rasa percaya dari masyarakat, termasuk investor.
Masyarakat juga perlu didorong untuk melakukan konsumsi barang dan jasa domestik, yakni barang-barang yang diproduksi oleh industri di dalam negeri, termasuk oleh sektor usaha kecil menengah (UKM). Pemberian bantuan sosial ke masyarakat dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) perlu dipertimbangkan untuk dilakukan secara kontinu sehingga dampak pada ekonomi lebih cepat terasa.
Sebab konsumsi rumah tangga tetap menjadi kunci dari sisi demand, kemudian investasi. Pengeluaran atau belanja pemerintah pun bisa membantu pertumbuhan, baik secara langsung maupun melalui multiplier effect melalui konsumsi sektor rumah tangga dan investasi.
Dibandingkan dengan negara lain yang bergantung pada perdagangan internasional, posisi Indonesia lebih beruntung karena memiliki tingkat konsumsi domestik yang tinggi. Produk domestik bruto (PDB) sebagian besar ditopang konsumsi rumah tangga yang berkontribusi 58,14% pada PDB kuartal I/2020. Karenanya mendorong konsumsi domestik adalah salah satu cara yang efektif.
Segala instrumen yang dimiliki oleh pemerintah seperti kebijakan stimulus, relaksasi, diskon harus dimaksimalkan untuk mendorong pertumbuhan konsumsi domestik.
Porsi konsumsi domestik mencapai 55-58% produk domestik bruto (PDB) Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Adapun investasi hanya berkisar 30% dari total PDB. Ini berarti Indonesia masih bisa mengatasi resesi meskipun investasi menurun dan perekonomian global melambat. Syaratnya pemerintah bisa menjaga daya beli masyarakat.
Beragam program seperti Program Keluarga Harapan (PKH), penyaluran bantuan sembako, bantuan sosial (bansos), program Kartu Prakerja, potongan listrik perlu terus dilakukan dan diawasi sehingga tepat sasaran dengan penerima adalah rumah tangga miskin dan terdampak pandemi. Dengan demikian tidak terjadi pemborosan anggaran. Dengan penggunaan anggaran yang tepat, upaya mendorong konsumsi domestik akan maksimal. Karenanya fokus belanja negara mesti dialihkan menjadi bansos dan subsidi agar roda perekonomian di akar rumput tetap bergerak.
Amerika Serikat (AS) misalnya, anjlok ekonominya -32,9% pada kuartal II/2020. Jerman pun setali tiga uang. Ekonomi negara yang memopulerkan industri 4.0 itu minus 10,1% pada kuartal II/2020. Begitu pula Singapura yang minus 12,6% pada kuartal II/2020, Korsel (minus 3,3%), dan Hong Kong (minus 9,9%).
Di dalam negeri kondisi ekonomi nasional juga tak begitu baik. Kemarin Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekonomi nasional minus 5,32% pada kuartal II/2020. Hampir seluruh komponen ekonomi mencatat pertumbuhan negatif pada kuartal II/2020. Misalnya konsumsi rumah tangga minus 5,51%, investasi minus 8,61%, ekspor minus 11,66%, konsumsi pemerintah minus 6,9%, konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT) minus 7,76%, dan impor minus 16,96%.
Melihat komposisi tersebut, masih ada peluang untuk menaklukkan resesi. Langkahnya dengan menggenjot konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Apalagi pemerintah telah menggelontorkan anggaran ratusan triliun untuk penanganan dampak Covid-19.
Namun yang perlu menjadi prioritas dalam waktu dekat, yang bisa dilakukan adalah menciptakan rasa aman dan pola hidup sehat pada masyarakat. Rasa aman dan sehat ini akan menimbulkan kembali rasa percaya dari masyarakat, termasuk investor.
Masyarakat juga perlu didorong untuk melakukan konsumsi barang dan jasa domestik, yakni barang-barang yang diproduksi oleh industri di dalam negeri, termasuk oleh sektor usaha kecil menengah (UKM). Pemberian bantuan sosial ke masyarakat dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) perlu dipertimbangkan untuk dilakukan secara kontinu sehingga dampak pada ekonomi lebih cepat terasa.
Sebab konsumsi rumah tangga tetap menjadi kunci dari sisi demand, kemudian investasi. Pengeluaran atau belanja pemerintah pun bisa membantu pertumbuhan, baik secara langsung maupun melalui multiplier effect melalui konsumsi sektor rumah tangga dan investasi.
Dibandingkan dengan negara lain yang bergantung pada perdagangan internasional, posisi Indonesia lebih beruntung karena memiliki tingkat konsumsi domestik yang tinggi. Produk domestik bruto (PDB) sebagian besar ditopang konsumsi rumah tangga yang berkontribusi 58,14% pada PDB kuartal I/2020. Karenanya mendorong konsumsi domestik adalah salah satu cara yang efektif.
Segala instrumen yang dimiliki oleh pemerintah seperti kebijakan stimulus, relaksasi, diskon harus dimaksimalkan untuk mendorong pertumbuhan konsumsi domestik.
Porsi konsumsi domestik mencapai 55-58% produk domestik bruto (PDB) Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Adapun investasi hanya berkisar 30% dari total PDB. Ini berarti Indonesia masih bisa mengatasi resesi meskipun investasi menurun dan perekonomian global melambat. Syaratnya pemerintah bisa menjaga daya beli masyarakat.
Beragam program seperti Program Keluarga Harapan (PKH), penyaluran bantuan sembako, bantuan sosial (bansos), program Kartu Prakerja, potongan listrik perlu terus dilakukan dan diawasi sehingga tepat sasaran dengan penerima adalah rumah tangga miskin dan terdampak pandemi. Dengan demikian tidak terjadi pemborosan anggaran. Dengan penggunaan anggaran yang tepat, upaya mendorong konsumsi domestik akan maksimal. Karenanya fokus belanja negara mesti dialihkan menjadi bansos dan subsidi agar roda perekonomian di akar rumput tetap bergerak.
(ras)
tulis komentar anda