Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Jum'at, 27 Oktober 2023 - 11:36 WIB
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
AGENDA pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme atau dikenal dengan inisial KKN telah menjadi tonggak era Reformasi tahun 1998. Ketiga K tersebut dikenal luas hinggga masyarakat lapisan bawah.
Namun demikian, pemberantasan ketiga K tersebut hampir jarang dipatuhi oleh kelangan tertentu baik dari birokrasi termasuk aparatur penegak hukum maupun pihak pelaku bisnis/swasta perorangan atau korporasi. Bahkan, masyarakat serta ahli hukum, akademisi maupun praktisi hukum, masih belum yang mengetahui dan memahami masalah KKN yang sesungguhnya telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan telah dicantumkan larangan melakukan KKN yang diancam pidana termasuk perbuatan kolusi dan nepotisme.
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU tersebut Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. Nepotisme sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5, adalah adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Sedangkan Korupsi berdasarkan Pasal 1 angka 3, adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
Jenis perbuatan kolusi dan nepotisme sering terjadi terutama di dalam proses lelang barang/jasa pemerintah. Sekalipun Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah telah mengatur secara rinci prosedur pengadaannya, tetap saja kebocoran terjadi. Sering terjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) ditetapkan sebagai tersangka bahkan dalam kasus korupsi seperti proyek pengadaan BTS Kemeninfo, Menteri selaku Pengguna Anggaran (PA) ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa.
Menurut perkiraan, tindak pidana korupsi (tipikor) yang ditangani kejaksaan terbanyak terjadi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam UU Nomor 28 Tahun 1999, ancaman perbuatan kolusi dan nepotisme adalah pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Ternyata masih belum banyak akademisi hukum dan aparatur hukum yang mengetahui dan bahkan memahami UU KKN; UU aquo didesain sebagai umbrella-act dari seluruh peraturan perundang-undangan pemberantasan suap dan korupsi khusus di kalangan aparatur penyelenggara negar dalam arti luas, meliputi presiden sampai pada kepala desa di tingkan kelurahan.
Umbrella-act dimaksud adalah, bahwa UU aquo merupakan parameter penilaian kepatuhan aparatur penyelenggara negara bebas dari suap dan korupsi; jika 50% saja aparatur negara mematuhi ketentuan larangan kolusi dan nepotisme diharapkan pemberantasan korupsi dapat menekan pertumbuhan suap dan korupsi sebesar 50%; yang diartikan kinerja aparatur hukum dan ASN telah efisien dan efektif.
Mengapa ASN-aparatur penyelenggara negara dijadikan sasaran target pemberantasan suap dan korupsi? Hal ini disebabkan ASN/penyelenggara negara merupakan jabatan yang bersifat strategis dan pemegang tombol kekuasaan dalam mengelola pemerintahan dan sekaligus penentu baik atau buruknya suatu sistem pemerintahan.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
AGENDA pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme atau dikenal dengan inisial KKN telah menjadi tonggak era Reformasi tahun 1998. Ketiga K tersebut dikenal luas hinggga masyarakat lapisan bawah.
Namun demikian, pemberantasan ketiga K tersebut hampir jarang dipatuhi oleh kelangan tertentu baik dari birokrasi termasuk aparatur penegak hukum maupun pihak pelaku bisnis/swasta perorangan atau korporasi. Bahkan, masyarakat serta ahli hukum, akademisi maupun praktisi hukum, masih belum yang mengetahui dan memahami masalah KKN yang sesungguhnya telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan telah dicantumkan larangan melakukan KKN yang diancam pidana termasuk perbuatan kolusi dan nepotisme.
Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU tersebut Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. Nepotisme sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5, adalah adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Sedangkan Korupsi berdasarkan Pasal 1 angka 3, adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
Jenis perbuatan kolusi dan nepotisme sering terjadi terutama di dalam proses lelang barang/jasa pemerintah. Sekalipun Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah telah mengatur secara rinci prosedur pengadaannya, tetap saja kebocoran terjadi. Sering terjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) ditetapkan sebagai tersangka bahkan dalam kasus korupsi seperti proyek pengadaan BTS Kemeninfo, Menteri selaku Pengguna Anggaran (PA) ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa.
Menurut perkiraan, tindak pidana korupsi (tipikor) yang ditangani kejaksaan terbanyak terjadi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam UU Nomor 28 Tahun 1999, ancaman perbuatan kolusi dan nepotisme adalah pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Ternyata masih belum banyak akademisi hukum dan aparatur hukum yang mengetahui dan bahkan memahami UU KKN; UU aquo didesain sebagai umbrella-act dari seluruh peraturan perundang-undangan pemberantasan suap dan korupsi khusus di kalangan aparatur penyelenggara negar dalam arti luas, meliputi presiden sampai pada kepala desa di tingkan kelurahan.
Umbrella-act dimaksud adalah, bahwa UU aquo merupakan parameter penilaian kepatuhan aparatur penyelenggara negara bebas dari suap dan korupsi; jika 50% saja aparatur negara mematuhi ketentuan larangan kolusi dan nepotisme diharapkan pemberantasan korupsi dapat menekan pertumbuhan suap dan korupsi sebesar 50%; yang diartikan kinerja aparatur hukum dan ASN telah efisien dan efektif.
Mengapa ASN-aparatur penyelenggara negara dijadikan sasaran target pemberantasan suap dan korupsi? Hal ini disebabkan ASN/penyelenggara negara merupakan jabatan yang bersifat strategis dan pemegang tombol kekuasaan dalam mengelola pemerintahan dan sekaligus penentu baik atau buruknya suatu sistem pemerintahan.
tulis komentar anda