Indonesia Didorong Aktif dalam Penyelesaian Konflik Palestina dan Israel
Minggu, 22 Oktober 2023 - 17:45 WIB
Faktor lain yang memperparah kondisi internal Politik Palestina antara lain adanya momentum normalisasi negara-negara anggota Liga Arab dengan Israel sekitar tahun 2020 lalu. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko adalah beberapa contoh negara yang melakukan proses normalisasi diplomasi tersebut. Hal ini tentunya juga berpengaruh terhadap konstelasi politik internal di Palestina.
“Dalam paradigma masyarakat Palestina, khususnya di Gaza saat ini, bahwa mereka yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel berarti tidak mendukung Palestina. Walaupun negara-negara Arab ini juga memiliki pandangan yang berbeda. Liga Arab sendiri seolah juga memiliki pergeseran paradigma bahwa menjalin hubungan diplomasi dengan Israel, bukan berarti tidak mendukung Palestina,” tambah Mulawarman.
Mulawarman yang juga merupakan Dosen Filsafat Pascasarjana PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Quran) Jakarta ini menjelaskan bahwa ada dua kekuatan besar yang menentukan arah politik dan perjuangan di Palestina, yakni Fattah dan Hamas. Walaupun demikian, Palestina sendiri sebenarnya adalah negara yang menganut sistem multi-partai, sama seperti Indonesia. Mulai dari paham nasionalisme, demokratisme, komunisme, sekularisme, hingga islamisme ada perwakilan partainya di Palestina.
"Hamas merupakan perwakilan mayoritas suara di Palestina, namun ia bukanlah representatif otoritas pemerintahan Palestina. Walaupun memegang mayoritas suara, Hamas tetap menjadi oposisi. Mengapa demikian? Karena pada tahun 2007, terjadi perang internal di Palestina antara Fattah dan Hamas. Ketika Hamas menang dalam pemilu, Fattah tidak menerima itu, Karena bagi Fattah, Hamas itu tidak mungkin bisa merepresentasikan proses perdamaian Palestina. Fattah mengambil sikap bahwa proses perdamaian yang dicapai melalui peperangan, seperti yang Hamas lakukan, sudah tidak efektif lagi untuk mencari solusi perdamaian," katanya.
"Makanya Presiden Palestina itu sampai saat ini adalah Mahmoud Abbas yang berasal faksi Fattah. Ia menjalankan pemerintahannya di Ramallah, Tepi Barat (West Bank), tetapi Hamas juga memiliki pemerintahannya sendiri di Gaza," kata Mulawarman.
Menutup pembahasan konflik Israel dan Palestina, Mulawarman menerangkan pula bahwa ada urgensi dunia internasional, termasuk Indonesia, untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan perang berkepanjangan ini. Hal yang dikhawatirkan banyak negara adalah dampak konflik yang sangat mungkin meluas dan ditunggangi oleh banyak kepentingan, terlebih lagi oleh kelompok teror.
"Jangan sampai perang Palestina-Israel malah menjadi pekerjaan besar bagi Indonesia dan negara-negara di Timur Tengah untuk meredam munculnya aksi-aksi kekerasan lainnya. Mungkin pada awalnya adalah dalam konteks Palestina-Israel, tapi kemudian beralih pada konteks lain seperti menyemangati warga sipil untuk ikut melakukan aksi-aksi teror, baik di wilayah Timur Tengah maupun di Indonesia," kaya Mulawarman.
“Dalam paradigma masyarakat Palestina, khususnya di Gaza saat ini, bahwa mereka yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel berarti tidak mendukung Palestina. Walaupun negara-negara Arab ini juga memiliki pandangan yang berbeda. Liga Arab sendiri seolah juga memiliki pergeseran paradigma bahwa menjalin hubungan diplomasi dengan Israel, bukan berarti tidak mendukung Palestina,” tambah Mulawarman.
Mulawarman yang juga merupakan Dosen Filsafat Pascasarjana PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Quran) Jakarta ini menjelaskan bahwa ada dua kekuatan besar yang menentukan arah politik dan perjuangan di Palestina, yakni Fattah dan Hamas. Walaupun demikian, Palestina sendiri sebenarnya adalah negara yang menganut sistem multi-partai, sama seperti Indonesia. Mulai dari paham nasionalisme, demokratisme, komunisme, sekularisme, hingga islamisme ada perwakilan partainya di Palestina.
"Hamas merupakan perwakilan mayoritas suara di Palestina, namun ia bukanlah representatif otoritas pemerintahan Palestina. Walaupun memegang mayoritas suara, Hamas tetap menjadi oposisi. Mengapa demikian? Karena pada tahun 2007, terjadi perang internal di Palestina antara Fattah dan Hamas. Ketika Hamas menang dalam pemilu, Fattah tidak menerima itu, Karena bagi Fattah, Hamas itu tidak mungkin bisa merepresentasikan proses perdamaian Palestina. Fattah mengambil sikap bahwa proses perdamaian yang dicapai melalui peperangan, seperti yang Hamas lakukan, sudah tidak efektif lagi untuk mencari solusi perdamaian," katanya.
"Makanya Presiden Palestina itu sampai saat ini adalah Mahmoud Abbas yang berasal faksi Fattah. Ia menjalankan pemerintahannya di Ramallah, Tepi Barat (West Bank), tetapi Hamas juga memiliki pemerintahannya sendiri di Gaza," kata Mulawarman.
Menutup pembahasan konflik Israel dan Palestina, Mulawarman menerangkan pula bahwa ada urgensi dunia internasional, termasuk Indonesia, untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan perang berkepanjangan ini. Hal yang dikhawatirkan banyak negara adalah dampak konflik yang sangat mungkin meluas dan ditunggangi oleh banyak kepentingan, terlebih lagi oleh kelompok teror.
"Jangan sampai perang Palestina-Israel malah menjadi pekerjaan besar bagi Indonesia dan negara-negara di Timur Tengah untuk meredam munculnya aksi-aksi kekerasan lainnya. Mungkin pada awalnya adalah dalam konteks Palestina-Israel, tapi kemudian beralih pada konteks lain seperti menyemangati warga sipil untuk ikut melakukan aksi-aksi teror, baik di wilayah Timur Tengah maupun di Indonesia," kaya Mulawarman.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda