Satgas: Obat COVID-19 Tidak Bisa Asal Klaim, Harus Lewati Uji Klinis
Selasa, 04 Agustus 2020 - 15:30 WIB
JAKARTA - Juru Bicara sekaligus Ketua Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan COVID-19 , Wiku Adisasmito memberikan penjelasan kepada masyarakat terkait obat dan suplemen yang dianggap terbukti menyembuhkan COVID-19. Isu ini berkembang di tengah-tengah masyarakat setelah munculnya video wawancara youtuber Anji bersama Hadi Pranoto yang mengklaim telah menemukan obat COVID-19 .
"Kalau minggu-minggu sebelumnya isunya tentang vaksin, maka sekarang adalah isunya tentang obat dan suplemen. Kami perlu sampaikan bahwa pemerintah sangat terbuka akan adanya penelitian obat maupun vaksin COVID-19 yang dilakukan oleh para peneliti, baik dari dalam negeri maupun internasional," kata Wiku di Media Center Satgas Penanganan Covid-19, Graha BNPB, Jakarta, Selasa (4/8/2020).
Namun, tegas Wiku, penelitian obat maupun vaksin untuk COVID-19 bukan berarti bisa dilakukan oleh siapa pun tanpa prosedur tepat. "Tidak bisa asal mengklaim bahwa obat tersebut merupakan obat COVID-19 tanpa diuji terlebih dahulu. Tanpa diuji klinis sebuah obat belum terbukti apakah berhasil menyembuhkan pasien COVID-19 atau tidak. Belum diketahui apakah efek sampingnya bagi pasien semua ini perlu dipertanggungjawabkan," katanya.( )
Maka dari itu, kata Wiku, setiap obat harus melewati uji klinis dan izin peredaran yang benar. "Jika sudah diuji dan terbukti menyembuhkan, tentu itu akan menjadi kabar yang luar biasa baik bagi bangsa kita, bagi kita semua. Tapi ingat harus diuji dan mendapatkan izin baru bisa diedarkan tidak bisa sembarangan, karena ini adalah urusan nyawa manusia," katanya.
"Sekali lagi saya ingatkan para peneliti dan figur publik untuk perlu berhati-hati dalam menyampaikan berita kepada masyarakat. Jangan sampai masyarakat yang sedang panik mencari jalan keluar, sehingga memahami sesuatu hal itu tidak dengan secara utuh dan benar," kata Wiku.
Wiku pun mengatakan bahwa bbat yang saat ini sedang ramai diperbincangkan sampai saat ini tidak jelas apakah termasuk obat herbal, obat herbal terstandar atau fitofarmaka atau hanya sebuah jamu. “Obat ini sampai dengan sekarang yang jelas bukan fitofarmaka, karena tidak terdaftar di pemerintah.( )
"Produk ini juga bukan obat herbal terstandar karena tidak ada di dalam daftarnya. Seluruh daftar fitofarmaka dan obat herbal terstandar dapat diakses oleh masyarakat dengan terbuka dan percayalah kepada pemerintah yang di Badan POM yang ada datanya seperti itu demikian juga dengan Kementerian Kesehatan," kata Wiku.
"Kalau minggu-minggu sebelumnya isunya tentang vaksin, maka sekarang adalah isunya tentang obat dan suplemen. Kami perlu sampaikan bahwa pemerintah sangat terbuka akan adanya penelitian obat maupun vaksin COVID-19 yang dilakukan oleh para peneliti, baik dari dalam negeri maupun internasional," kata Wiku di Media Center Satgas Penanganan Covid-19, Graha BNPB, Jakarta, Selasa (4/8/2020).
Namun, tegas Wiku, penelitian obat maupun vaksin untuk COVID-19 bukan berarti bisa dilakukan oleh siapa pun tanpa prosedur tepat. "Tidak bisa asal mengklaim bahwa obat tersebut merupakan obat COVID-19 tanpa diuji terlebih dahulu. Tanpa diuji klinis sebuah obat belum terbukti apakah berhasil menyembuhkan pasien COVID-19 atau tidak. Belum diketahui apakah efek sampingnya bagi pasien semua ini perlu dipertanggungjawabkan," katanya.( )
Maka dari itu, kata Wiku, setiap obat harus melewati uji klinis dan izin peredaran yang benar. "Jika sudah diuji dan terbukti menyembuhkan, tentu itu akan menjadi kabar yang luar biasa baik bagi bangsa kita, bagi kita semua. Tapi ingat harus diuji dan mendapatkan izin baru bisa diedarkan tidak bisa sembarangan, karena ini adalah urusan nyawa manusia," katanya.
"Sekali lagi saya ingatkan para peneliti dan figur publik untuk perlu berhati-hati dalam menyampaikan berita kepada masyarakat. Jangan sampai masyarakat yang sedang panik mencari jalan keluar, sehingga memahami sesuatu hal itu tidak dengan secara utuh dan benar," kata Wiku.
Wiku pun mengatakan bahwa bbat yang saat ini sedang ramai diperbincangkan sampai saat ini tidak jelas apakah termasuk obat herbal, obat herbal terstandar atau fitofarmaka atau hanya sebuah jamu. “Obat ini sampai dengan sekarang yang jelas bukan fitofarmaka, karena tidak terdaftar di pemerintah.( )
"Produk ini juga bukan obat herbal terstandar karena tidak ada di dalam daftarnya. Seluruh daftar fitofarmaka dan obat herbal terstandar dapat diakses oleh masyarakat dengan terbuka dan percayalah kepada pemerintah yang di Badan POM yang ada datanya seperti itu demikian juga dengan Kementerian Kesehatan," kata Wiku.
(abd)
tulis komentar anda