Pelibatan TNI dalam Penanggulangan Terorisme Mesti Dibatasi
Senin, 03 Agustus 2020 - 12:27 WIB
JAKARTA - Rancangan peraturan presiden (Perpres) soal pelibatan TNI dalam menangani aksi terorisme ditengarai sudah selesai. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil mengingatkan pemerintah agar pembahasan Perpres tersebut dilakukan secara terbuka.
Hal itu diperlukan karena rencana pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme telah menimbulkan kontroversi hingga berujung penolakan publik dari akademisi, mahasiswa, LSM dan lainnya.
“Kami mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan rancangan Perpres tersebut secara terbuka. Menjadi keharusan bagi pemerintah dan DPR untuk menyampaikan draf rancangan Perpres yang sudah jadi tersebut kepada publik, tidak boleh menutup-nutupi rancangan Perpres yang telah selesai tersebut dari masyarakat,” kata Deputi Direktur Riset Elsam, Wahyudi Djafar dalam keterangan tertulis yang diperoleh SINDOnews, Senin (3/8/2020).
(Baca: Dankormar Berharap Skill Mumpuni Denjaka Diberdayakan Hadapi Terorisme)
Ada kekhawatiran bahwa Perpres akan mengancam kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) lantaran TNI diberikan kewenangan lebih luas dalam penanganan terorisme. Elsam mendesak agar regulasi baru nanti hanya menempatkan TNI pada operasi militer dalam fungsi penindakan. Fungsi itu pun mesti terbatas, yakni untuk pembajakan pesawat, kapal atau terorisme di dalam kantor perwakilan negara sahabat.
“Ruang lingkup penindakan oleh TNI tidak perlu terlibat dalam penanganan terorisme pada objek vital strategis. Dalam hal ancaman terorisme terhadap presiden, sifatnya harus aktual, ketika terjadi aksi terorisme dan bukan pada saat perencanaan,” imbuh dia.
Selain itu, eskalasi ancaman tinggi harus dimaknai terjadi pada saat darurat militer bukan pada kondisi tertib sipil. TNI tidak perlu memiliki fungsi penangkalan dan pemulihan dalam penanganan aksi terorisme. Pemberian fungsi penangkalan dan pemulihan sebagaiman diatur dalam draf lama rancangan perpres terlalu berlebihan dan mengancam negara hukum dan HAM.
(Baca: Perpres Pelibatan Militer Atasi Terorisme Jadi Buah Simalakama Bagi TNI)
Penggunaan dan pengerahan TNI juga harus atas dasar keputusan politik negara yakni keputusan Presiden dengan pertimbangan DPR. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) juncto Pasal 5 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
“Keputusan itu harus dibuat secara tertulis oleh Presiden sehingga jelas tentang maksud, tujuan, waktu, anggaran, jumlah pasukan dalam pelibatannya,” tukasnya.
Wahyudi menambahkan, pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri merupakan pilihan yang terakhir (last resort), yakni dilakukan jika kapasitas penegak hukum sudah tidak bisa mengatasi aksi terorisme tersebut. Selain itu, pelibatan TNI juga sifatnya sementara dan dalam jangka waktu tertentu.
Hal itu diperlukan karena rencana pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme telah menimbulkan kontroversi hingga berujung penolakan publik dari akademisi, mahasiswa, LSM dan lainnya.
“Kami mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan rancangan Perpres tersebut secara terbuka. Menjadi keharusan bagi pemerintah dan DPR untuk menyampaikan draf rancangan Perpres yang sudah jadi tersebut kepada publik, tidak boleh menutup-nutupi rancangan Perpres yang telah selesai tersebut dari masyarakat,” kata Deputi Direktur Riset Elsam, Wahyudi Djafar dalam keterangan tertulis yang diperoleh SINDOnews, Senin (3/8/2020).
(Baca: Dankormar Berharap Skill Mumpuni Denjaka Diberdayakan Hadapi Terorisme)
Ada kekhawatiran bahwa Perpres akan mengancam kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) lantaran TNI diberikan kewenangan lebih luas dalam penanganan terorisme. Elsam mendesak agar regulasi baru nanti hanya menempatkan TNI pada operasi militer dalam fungsi penindakan. Fungsi itu pun mesti terbatas, yakni untuk pembajakan pesawat, kapal atau terorisme di dalam kantor perwakilan negara sahabat.
“Ruang lingkup penindakan oleh TNI tidak perlu terlibat dalam penanganan terorisme pada objek vital strategis. Dalam hal ancaman terorisme terhadap presiden, sifatnya harus aktual, ketika terjadi aksi terorisme dan bukan pada saat perencanaan,” imbuh dia.
Selain itu, eskalasi ancaman tinggi harus dimaknai terjadi pada saat darurat militer bukan pada kondisi tertib sipil. TNI tidak perlu memiliki fungsi penangkalan dan pemulihan dalam penanganan aksi terorisme. Pemberian fungsi penangkalan dan pemulihan sebagaiman diatur dalam draf lama rancangan perpres terlalu berlebihan dan mengancam negara hukum dan HAM.
(Baca: Perpres Pelibatan Militer Atasi Terorisme Jadi Buah Simalakama Bagi TNI)
Penggunaan dan pengerahan TNI juga harus atas dasar keputusan politik negara yakni keputusan Presiden dengan pertimbangan DPR. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) juncto Pasal 5 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
“Keputusan itu harus dibuat secara tertulis oleh Presiden sehingga jelas tentang maksud, tujuan, waktu, anggaran, jumlah pasukan dalam pelibatannya,” tukasnya.
Wahyudi menambahkan, pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri merupakan pilihan yang terakhir (last resort), yakni dilakukan jika kapasitas penegak hukum sudah tidak bisa mengatasi aksi terorisme tersebut. Selain itu, pelibatan TNI juga sifatnya sementara dan dalam jangka waktu tertentu.
(muh)
Lihat Juga :
tulis komentar anda