Nilai-nilai Humanis-Edukatif Ibadah Kurban

Senin, 03 Agustus 2020 - 06:43 WIB
Faisal Ismail
Faisal Ismail

Guru Besar Pascasarjana FIAI, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

IBADAH kurban tidak terlepas dari kisah Nabi Ibrahim. Pernikahan Nabi Ibrahim dengan istri pertamanya, Sarah, yang sudah berlangsung lama belum juga memberikan keturunan. Kemudian Nabi Ibrahim menikahi Hajar, maka lahirlah Ismail yang kelahirannya sangat didambakan. Kemudian atas kehendak-Nya, istri pertama Nabi Ibrahim, Sarah, juga melahirkan Ishaq. Kegembiraan Nabi Ibrahim dengan lahirnya Ismail sepertinya pupus karena Allah memerintahkan kepadanya untuk menyembelih putra kesayangannya itu. Perintah Allah ini tertera dalam Alquran Surat Ash-Shaffat ayat 102: "Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu? Ia menjawab: Hai ayahku, laksanakanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu; Insya Allah, kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." Perintah Allah ini merupakan ujian maha berat terhadap keimanan dan ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah. Relakah dan tegakah Nabi Ibrahim menyembelih Ismail, anak kesayangannya?



Nabi Ibrahim dengan keimanan yang kuat mematuhi perintah Allah. Ia membulatkan niatnya seraya tetap tegar dan tabah hendak menyembelih Ismail. Ia pun meletakkan pisaunya di leher anak kesayangannya. Iblis melakukan tipu muslihatnya dan mencoba menghalangi Ibrahim untuk tidak menyembelih Ismail. Tetapi, Nabi Ibrahim tetap konsisten menaati perintah Allah akan menyembelih Ismail. Pada momen yang sangat mencekam ini, Allah dengan Kemahakuasaan-Nya secepat kilat mengganti Ismail dengan seekor domba besar, dan domba itulah yang akhirnya disembelih Nabi Ibrahim. Ajaran berkurban ini diteruskan oleh Nabi Muhammad sebagai syariat Islam. Ajaran kurban ini dipertegas oleh Allah dalam Alquran Surat Al-Kautsar ayat 1-2: "Sesungguhnya kami telah memberikan karunia sangat banyak kepadamu, maka salatlah untuk Tuhanmu dan berkurbanlah."

Nilai-nilai Humanis-Edukatif

Ajaran kurban mengandung nilai-nilai humanis-edukatif yang tinggi. Pertama, ajaran kurban mendidik manusia untuk lebih mencintai Allah (dan Rasul-Nya) daripada yang lain sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim, walaupun beliau harus menyembelih anaknya yang sangat dicintainya. Ismail, sebagai seorang anak yang patuh kepada perintah Allah, juga rela disembelih oleh ayahnya. Ini berarti urusan duniawi, seperti anak, harta benda, kekayaan, bisnis, dan urusan keuangan, jangan sampai menjadi penghalang untuk mengabdi serta beribadah secara maksimal kepada Allah.

Kedua, ibadah kurban bertujuan agar manusia "menyembelih" nafsu hewaniah dalam dirinya. Nafsu hewaniah, seperti egoisme, ananiyah , keserakahan, ketamakan, dan nafsu-nafsu rendah, serta jahat lainnya haruslah dikekang, dikendalikan, dan dilenyapkan dalam diri manusia. Ketiga, ibadah kurban mendidik manusia bersifat ikhlas dan rela berkorban dengan memberikan sesuatu yang dicintai kepada orang lain. Logikanya, memberikan sesuatu yang tidak dicintai kepada orang lain adalah bukan esensi ajaran kurban. Sesuatu yang tidak dicintai merupakan sesuatu tidak bernilai. Oleh karena itu, tidak sepatutnya sesuatu yang tidak bernilai itu diberikan kepada orang lain. Sebaliknya, apabila yang diberikan kepada orang lain adalah sesuatu yang dicintai dan bernilai, pengorbanan itu sangat bernilai bagi kepentingan manusia dan kemanusiaan. Contohnya, pengorbanan para pahlawan. Jiwa, raga, dan harta telah mereka korbankan untuk memerdekakan Tanah Air.

Keempat, ajaran kurban merupakan wujud nyata kesetiakawanan dan solidaritas sosial. Apabila solidaritas sosial luntur, maka kesetiakawanan sosial juga akan tergusur. Jika ini terjadi, tidak mustahil akan terjadi kecemburuan sosial yang pada gilirannya menimbulkan kerusuhan sosial dalam kehidupan masyarakat. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya disharmoni dan disintegrasi sosial yang tentu berdampak luas terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan sosial-budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ajaran kurban sejatinya merupakan semangat berbagi dari yang mampu kepada yang tidak mampu. Dengan demikian, harmoni sosial bisa terjaga dengan baik.

Kurban pada Masa Pandemi

Hewan kurban (misalnya kambing, domba, sapi, atau kerbau) disembelih setelah pelaksanaan salat Idul Adha dan tiga hari kemudian secara berturut-turut (hari-hari tasyrik). Daging-daging hewan kurban diberikan kepada kaum duafa. Ibadah kurban memiliki nilai-nilai humanis-edukatif yang tinggi dan bertujuan agar orang-orang yang mampu memberikan sebagian harta mereka kepada orang-orang yang tidak mampu. Lebih-lebih di tengah pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung enam bulan dan belum diketahui kapan akan berakhir. Banyak orang kehilangan pekerjaan karena terkena PHK dan dirumahkan. Selama pandemi korona tingkat kemiskinan dan jumlah orang-orang miskin bertambah banyak. Pemilik toko, kafe, ataupun warung tidak berjualan akibat pandemi korona. Menghadapi keprihatinan ini, sudah sepatutnya hati kita terketuk untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada kaum duafa.

Untuk menghindari kerumunan orang banyak yang berpotensi terjadi penyebaran virus korona, panitia-panitia kurban di sejumlah masjid tidak melakukan penyembelihan hewan kurban pada Hari Raya Kurban kali ini. Begitu pula banyak orang Islam yang mampu melakukan kurban secara daring. Mereka mentransfer sejumlah uang senilai harga hewan kurban ke organisasi-organisasi muslim tertentu yang melaksanakan pemotongan hewan kurban. Cara ini merupakan cara mudah, praktis, dan efektif di tengah pandemi Covid-19. Ajaran kurban selalu dan tetap relevan untuk diamalkan karena ajaran tersebut merupakan wujud kepekaan serta kepedulian sosial yang juga menjadi inti sejati pengamalan kemanusiaan yang adil dan beradab (sila kedua Pancasila).

Nilai-nilai ilahiyah, insaniyah, dan tarbiyah ibadah kurban disebutkan dalam Alquran: "Daging-daging kurban dan darahnya itu sekali-kali tidak mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya." (QS Al-Hajj: 37). Ajaran dan ibadah kurban memiliki makna sangat fundamental dan tujuan sangat luhur serta mulia bagi kepentingan manusia dan kemanusiaan. Esensi, makna, tujuan, dan nilai-nilai humanis-edukatif ajaran kurban sebenarnya tidak terletak pada daging dan darah hewan kurban itu, juga bukan daging dan darah hewan kurban itu yang sampai pada keridaan Allah, tetapi terletak pada intensitas dan kualitas takwa orang yang berkurban itu, dan kualitas takwa itulah yang pada hakikatnya sampai kepada keridaan Allah.
(ras)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More