Moderasi Beragama Penyelamat Generasi Muda Hadapi Polarisasi
Senin, 11 September 2023 - 16:57 WIB
Atau misalnya menggunakan narasi logis tentang nasionalisme, maka bisa merujuk pada ijtihad-ijtihad para ulama yang diwakilkan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Dalam muktamar NU ke-34 dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang sesuai dengan konsep Islam.
"Muhammadiyah pun serupa, sudah menentukan juga dalam acara muktamarnya yang ke-47, bahwa Indonesia adalah ‘darul ahdi wa syahadah’ yang berarti ‘negara kesepakatan dan persaksian.’ Nah jadi kita ittiba saja pada narasi logisnya para ulama. Jadi dari berbagai sudut, baik narasi secara historis, teologis, maupun logis. Khilafah itu tidak relevan dan Pancasila bukan sesuatu yang face to face terhadap khilafah, jelas berbeda levelnya," kata Irfan.
Menurutnya, kelompok intoleran dan radikal biasanya mengangkat narasi dengan memanfaatkan search engine optimization, sehingga website yang mereka kelola bisa bertengger di urutan paling atas.Namun, dalam beberapa tahun terakhir website-website yang cenderung konservatif dan radikal itu sudah relatif kalah oleh situs yang kelompok moderat kelola. Hal ini terjadi karena kelompok moderat sudah mulai aktif dan terasa kehadirannya di dunia maya dibandingkan sebelumnya.
"Kalau dulu, yang moderat masih sebagai silent majority, kelompok dengan jumlah terbanyak tapi cenderung diam, namun sekarang mereka sudah mulai aktif. Kelompok radikal ini sebenarnya kan jumlahnya sedikit, cuma mereka sangat aktif. Mereka ini istilahnya noisy minority, kelompok yang sedikit tapi sangat aktif dan membuat bising," kata Irfan.
Dirinya menganalisis masyarakat Indonesia sudah semakin matang dalam mengenali hoaks atau berita bohong yang disebar. Namun perlu diketahui bahwa hoaks atau disinformasi adalah suatu industri yang digerakkan dengan motif ekonomi.
"Mereka tentunya tidak ingin situasi Indonesia tenang-tenang saja, karena dalam ketenangan mereka tidak bisa mendulang keuntungan. Pasti akan ada yang mencari, mendambakan, dan menunggu situasi yang tidak kondusif. Nanti tinggal dilihat saja antara kepentingan penyebaran hoax dengan kematangan publik," kata Irfan.
Irfan mengatakan prinsip moderasi beragama bisa diterapkan salah satunya dengan memiliki sifat tawasuth. Tawasuth bukan berarti tidak berpendirian, tetapi dia bisa menjadi jembatan bagi semua pihak, baik kiri maupun kanan. Ketika ada informasi yang datang, maka bisa melakukan cross-check. Dengan begitu, tetap berada di tengah dan tidak terbawa arus. Hal ini menjadi penting terutama karena sebentar lagi kita merayakan pemilihan umum yang rentan dengan polarisasi dan segregasi.
"Dengan memiliki sifat tawasuth, kita bisa tetap berada di tengah bagaimana pun kerasnya polarisasi politik yang terjadi. Walaupun kita punya pilihan, tetapi kita tidak hanyut dengan pilihan kita. Jadikan event politik itu sebagai sebuah kewajiban warga negara untuk memilih, bukan untuk berdiri di satu pihak dan kemudian terjadi polarisasi yang sangat hebat. Semangat moderasi beragama bisa terus hidup jika semua bersikap tawasuth dalam berpikir dan bertindak, khususnya dalam mengonsumsi informasi yang datang padanya," katanya.
"Muhammadiyah pun serupa, sudah menentukan juga dalam acara muktamarnya yang ke-47, bahwa Indonesia adalah ‘darul ahdi wa syahadah’ yang berarti ‘negara kesepakatan dan persaksian.’ Nah jadi kita ittiba saja pada narasi logisnya para ulama. Jadi dari berbagai sudut, baik narasi secara historis, teologis, maupun logis. Khilafah itu tidak relevan dan Pancasila bukan sesuatu yang face to face terhadap khilafah, jelas berbeda levelnya," kata Irfan.
Menurutnya, kelompok intoleran dan radikal biasanya mengangkat narasi dengan memanfaatkan search engine optimization, sehingga website yang mereka kelola bisa bertengger di urutan paling atas.Namun, dalam beberapa tahun terakhir website-website yang cenderung konservatif dan radikal itu sudah relatif kalah oleh situs yang kelompok moderat kelola. Hal ini terjadi karena kelompok moderat sudah mulai aktif dan terasa kehadirannya di dunia maya dibandingkan sebelumnya.
"Kalau dulu, yang moderat masih sebagai silent majority, kelompok dengan jumlah terbanyak tapi cenderung diam, namun sekarang mereka sudah mulai aktif. Kelompok radikal ini sebenarnya kan jumlahnya sedikit, cuma mereka sangat aktif. Mereka ini istilahnya noisy minority, kelompok yang sedikit tapi sangat aktif dan membuat bising," kata Irfan.
Dirinya menganalisis masyarakat Indonesia sudah semakin matang dalam mengenali hoaks atau berita bohong yang disebar. Namun perlu diketahui bahwa hoaks atau disinformasi adalah suatu industri yang digerakkan dengan motif ekonomi.
"Mereka tentunya tidak ingin situasi Indonesia tenang-tenang saja, karena dalam ketenangan mereka tidak bisa mendulang keuntungan. Pasti akan ada yang mencari, mendambakan, dan menunggu situasi yang tidak kondusif. Nanti tinggal dilihat saja antara kepentingan penyebaran hoax dengan kematangan publik," kata Irfan.
Irfan mengatakan prinsip moderasi beragama bisa diterapkan salah satunya dengan memiliki sifat tawasuth. Tawasuth bukan berarti tidak berpendirian, tetapi dia bisa menjadi jembatan bagi semua pihak, baik kiri maupun kanan. Ketika ada informasi yang datang, maka bisa melakukan cross-check. Dengan begitu, tetap berada di tengah dan tidak terbawa arus. Hal ini menjadi penting terutama karena sebentar lagi kita merayakan pemilihan umum yang rentan dengan polarisasi dan segregasi.
"Dengan memiliki sifat tawasuth, kita bisa tetap berada di tengah bagaimana pun kerasnya polarisasi politik yang terjadi. Walaupun kita punya pilihan, tetapi kita tidak hanyut dengan pilihan kita. Jadikan event politik itu sebagai sebuah kewajiban warga negara untuk memilih, bukan untuk berdiri di satu pihak dan kemudian terjadi polarisasi yang sangat hebat. Semangat moderasi beragama bisa terus hidup jika semua bersikap tawasuth dalam berpikir dan bertindak, khususnya dalam mengonsumsi informasi yang datang padanya," katanya.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda