Perlu Strategi dan Kolaborasi Tepat Tekan Produksi Sampah Makanan
Rabu, 02 Agustus 2023 - 21:32 WIB
Sebab, sejatinya komposisi penyumbang sampah pangan di Indonesia berbeda dengan sejumlah negara maju.
Sampah pangan di Indonesia 69% disumbang oleh agriculture productions, handling and storage. Sedangkan proses konsumsi hanya menyumbang 13% sampah pangan di tanah air.
"Kebijakan sektor pertanian yang saat ini lebih berpihak ke konsumen harus lebih berpihak kepada petani, sehingga sejumlah tahapan produksi pangan bisa efisien dan minim sampah," kata Dwi Andreas.
Anggota Komisi IV DPR Yessy Melania berpendapat perlu ada restrukturisasi dalam pengelolaan sampah dan perbaikan kebijakan industri pangan dari hulu ke hilir. Selain itu, semua pihak terkait perlu duduk bersama untuk memperjelas tanggung jawab setiap kementerian/lembaga dalam upaya pengurangan sampah pangan.
Penangangan lingkungan hidup di sejumlah daerah belum menjadi prioritas. Selain itu, diperlukan sinkronisasi data antarkementerian/lembaga terkait, agar kebijakan yang dihasilkan tepat sasaran.
Pegiat AEPI, Khudori berpendapat, hal penting yang harus dilakukan dalam pengelolaan sampah pangan adalah penguatan regulasi yang ada saat ini. Sebab, hingga saat ini tidak ada regulasi yang secara spesifik mengatur food loss dan food waste di Tanah Air.
Khudori menyarankan penerapan ekonomi sirkular sebagai salah satu cara untuk mengurangi produksi sampah pangan, dengan konsep pemanfaatan sumber daya selama mungkin dan memproduksi dengan lebih sedikit sampah.
"Harus didorong sebuah gerakan melalui sejumlah upaya advokasi dan pelatihan yang masif untuk merealisasikan ekonomi sirkular tersebut," katanya.
Sementara itu, wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat dalam upaya mengurangi sampah pangan, para pemangku kebijakan harus menggarisbawahi pendapat Prof Dwi Andreas yang mengungkapkan sampah pangan di Indonesia didominasi sampah dari proses produksi, penanganan, dan distribusi sektor pertanian dengan besaran 69%.
Sedangkan sampah pangan dari proses konsumsi, ujar Saur, sejatinya hanya terjadi di perkotaan. Sebab masyarakat di perdesaan sudah menerapkan ekonomi sirkular, seperti mengolah nasi sisa menjadi panganan rangginang misalnya, secara turun-temurun.
Sampah pangan di Indonesia 69% disumbang oleh agriculture productions, handling and storage. Sedangkan proses konsumsi hanya menyumbang 13% sampah pangan di tanah air.
"Kebijakan sektor pertanian yang saat ini lebih berpihak ke konsumen harus lebih berpihak kepada petani, sehingga sejumlah tahapan produksi pangan bisa efisien dan minim sampah," kata Dwi Andreas.
Anggota Komisi IV DPR Yessy Melania berpendapat perlu ada restrukturisasi dalam pengelolaan sampah dan perbaikan kebijakan industri pangan dari hulu ke hilir. Selain itu, semua pihak terkait perlu duduk bersama untuk memperjelas tanggung jawab setiap kementerian/lembaga dalam upaya pengurangan sampah pangan.
Penangangan lingkungan hidup di sejumlah daerah belum menjadi prioritas. Selain itu, diperlukan sinkronisasi data antarkementerian/lembaga terkait, agar kebijakan yang dihasilkan tepat sasaran.
Pegiat AEPI, Khudori berpendapat, hal penting yang harus dilakukan dalam pengelolaan sampah pangan adalah penguatan regulasi yang ada saat ini. Sebab, hingga saat ini tidak ada regulasi yang secara spesifik mengatur food loss dan food waste di Tanah Air.
Khudori menyarankan penerapan ekonomi sirkular sebagai salah satu cara untuk mengurangi produksi sampah pangan, dengan konsep pemanfaatan sumber daya selama mungkin dan memproduksi dengan lebih sedikit sampah.
"Harus didorong sebuah gerakan melalui sejumlah upaya advokasi dan pelatihan yang masif untuk merealisasikan ekonomi sirkular tersebut," katanya.
Sementara itu, wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat dalam upaya mengurangi sampah pangan, para pemangku kebijakan harus menggarisbawahi pendapat Prof Dwi Andreas yang mengungkapkan sampah pangan di Indonesia didominasi sampah dari proses produksi, penanganan, dan distribusi sektor pertanian dengan besaran 69%.
Sedangkan sampah pangan dari proses konsumsi, ujar Saur, sejatinya hanya terjadi di perkotaan. Sebab masyarakat di perdesaan sudah menerapkan ekonomi sirkular, seperti mengolah nasi sisa menjadi panganan rangginang misalnya, secara turun-temurun.
Lihat Juga :
tulis komentar anda