Tempat dan Pengisahan
Senin, 31 Juli 2023 - 05:29 WIB
Kini, kita berada di depan buku berjudul Kitab, Buku, Sepak Bola (2023) susunan Hairus Salim. Sosok berpengaruh dalam gerakan keagamaan, perbukuan, dan keintelektualan. Kita mengetahui ketenaran Hairus Salim di Jogjakarta. Alamat penting bagi pergumulan ilmu, sastra, dan dakwah. Ia tak lahir dan besar di Jogjakarta. Penulis itu berasal dari tempat berbeda.
Hairus Salim menerangkan: “Ketika menulis ini saya membayangkan sedang bercerita kepada anak-anak saya, para keponakan, atau cucu-cucu saya sendiri. Semacam centang perenang menjelang senja buat mereka. Mereka itulah para pembaca saya. Kalau kemudian ada pembaca di luar itu, siapa pun mereka, maka itu sungguh suatu kehormatan. Hairus Salim tak sekadar menulis diri. Di esai-esai berkaitan dalam buku, ia mengingat dan “menghidupkan” tokoh-tokoh dalam alur hidup: sejak kecil sampai tua. Ia tampak sengaja memilih mengisahkan “bersama” meski diri tetap pokok.
Hairus Salim berasal dari Kalimantan Selatan. Ia perlahan mengetahui “segala” untuk menjadi santri dan “pemilik” dunia. Pilihan membentuk diri di pesantren. Tempat dalam babak awal belajar dan beriman itu bernama Pondok Pesantren Al Falah. Pada masa 1980-an, ia menunaikan misi dan bertaruh dalam nasib. Ia jauh dari pusat-pusat keilmuan di Jawa. Di pesantren, ia tetap merasa mendapat pintu-pintu terbuka untuk mengetahui pelbagai hal dan bergerak ke segala arah (pemikiran). Tempat itu terbukti menentukan perjalanan sampai ke Jogjakarta.
baca juga: Hari Buku Anak Sedunia, MNC Peduli Bagikan Buku ke PAUD Muara Gembong Bekasi
Pengalaman menjadi santri: “Hari-hari pertama hingga beberapa minggu awal, saya betul-betul mengalami guncangan hebat. Bagaimana pun sampai lulus SD itu, saya tidak pernah berpisah dengan kedua orangtua dan saudara. Karena itu, saya merasa seperti dicabut dari akar dan kehilangan pegangan atau sandaran.” Ia berhasil betah dan bermakna di pesantren. Identitas sebagai santri memberi derajat “berlebih” saat mengetahui kepustakaan dan keindonesiaan. Kesadaran pada masa berbeda, terhubung tempat-tempat biografis.
Pada masa dewasa, Hairus Salim tekun dalam perbukuan, tak menjauh dari tema (pemikiran) agama. Pilihan sesuai alur bermula saat masih kecil dan remaja. Ia mengenang: “Sejak di bangku SD suka sekali membaca buku, entah itu novel, biografi, komik, dan lain-lain.” Ia terpikat tulisan. Tangan itu memegang buku, ditambah pelbagai majalah. “Di rumah berhamburan majalah-majalah seperti Kiblat, Panjimas, Gema Islam, Tempo,” ingat Hairus Salim. Pada masa berbeda, ia pernah menulis sejenis surat meralat resensi buku dimuat di Tempo. Hairus Salim pun menulis esai kebahasaan. Dulu, ia sebagai pembaca. Pada saat berpindah tempat dan mengalami gejolak keintelektualan, ia menulis di Tempo.
Hairus Salim saat masih murid SD sudah bergerak jauh dengan buku-buku. Kita mengira itu takdir. Di Jogjakarta, ia memang penggerak buku. Ia tak sekadar menulis. Peran-peran dimainkan dalam diskusi dan penerbitan. Ia memang berada di Kalimantan Selatan tapi lekas terhubung dengan pusat-pusat pengetahuan di Jawa.
Dulu, ia sudah membaca tulisan atau buku dari Saifuddin Zuhri dan Mahbub Djunaidi. Ia mengerti sosok-sosok dalam asuhan pendidikan di pesantren. Di buku-buku, Hairus Salim seperti mendapat peta atau kompas untuk babak-babak lanjutan dalam hidup. Ia tak harus selalu berada di Kalimantan.
baca juga: Gaya Asyik Kedai Kopi Bumi Citarik Menguliti Buku “Susuk Kapal Borobudur”
Buku di hadapan kita masih babak awal, belum tengah dan akhir. Hairus Salim berkisah saat berada di Pondok Pesantren Al Falah diakui menjadi “pintu gerbang yang besar dan bermakna untuk perjalanan kehidupan saya lebih lanjut”. Pesantren itu menjadi “candradimuka yang menggodok jiwa dan menyiramkan pengetahuan ke diri saya.”
Hairus Salim menerangkan: “Ketika menulis ini saya membayangkan sedang bercerita kepada anak-anak saya, para keponakan, atau cucu-cucu saya sendiri. Semacam centang perenang menjelang senja buat mereka. Mereka itulah para pembaca saya. Kalau kemudian ada pembaca di luar itu, siapa pun mereka, maka itu sungguh suatu kehormatan. Hairus Salim tak sekadar menulis diri. Di esai-esai berkaitan dalam buku, ia mengingat dan “menghidupkan” tokoh-tokoh dalam alur hidup: sejak kecil sampai tua. Ia tampak sengaja memilih mengisahkan “bersama” meski diri tetap pokok.
Hairus Salim berasal dari Kalimantan Selatan. Ia perlahan mengetahui “segala” untuk menjadi santri dan “pemilik” dunia. Pilihan membentuk diri di pesantren. Tempat dalam babak awal belajar dan beriman itu bernama Pondok Pesantren Al Falah. Pada masa 1980-an, ia menunaikan misi dan bertaruh dalam nasib. Ia jauh dari pusat-pusat keilmuan di Jawa. Di pesantren, ia tetap merasa mendapat pintu-pintu terbuka untuk mengetahui pelbagai hal dan bergerak ke segala arah (pemikiran). Tempat itu terbukti menentukan perjalanan sampai ke Jogjakarta.
baca juga: Hari Buku Anak Sedunia, MNC Peduli Bagikan Buku ke PAUD Muara Gembong Bekasi
Pengalaman menjadi santri: “Hari-hari pertama hingga beberapa minggu awal, saya betul-betul mengalami guncangan hebat. Bagaimana pun sampai lulus SD itu, saya tidak pernah berpisah dengan kedua orangtua dan saudara. Karena itu, saya merasa seperti dicabut dari akar dan kehilangan pegangan atau sandaran.” Ia berhasil betah dan bermakna di pesantren. Identitas sebagai santri memberi derajat “berlebih” saat mengetahui kepustakaan dan keindonesiaan. Kesadaran pada masa berbeda, terhubung tempat-tempat biografis.
Pada masa dewasa, Hairus Salim tekun dalam perbukuan, tak menjauh dari tema (pemikiran) agama. Pilihan sesuai alur bermula saat masih kecil dan remaja. Ia mengenang: “Sejak di bangku SD suka sekali membaca buku, entah itu novel, biografi, komik, dan lain-lain.” Ia terpikat tulisan. Tangan itu memegang buku, ditambah pelbagai majalah. “Di rumah berhamburan majalah-majalah seperti Kiblat, Panjimas, Gema Islam, Tempo,” ingat Hairus Salim. Pada masa berbeda, ia pernah menulis sejenis surat meralat resensi buku dimuat di Tempo. Hairus Salim pun menulis esai kebahasaan. Dulu, ia sebagai pembaca. Pada saat berpindah tempat dan mengalami gejolak keintelektualan, ia menulis di Tempo.
Hairus Salim saat masih murid SD sudah bergerak jauh dengan buku-buku. Kita mengira itu takdir. Di Jogjakarta, ia memang penggerak buku. Ia tak sekadar menulis. Peran-peran dimainkan dalam diskusi dan penerbitan. Ia memang berada di Kalimantan Selatan tapi lekas terhubung dengan pusat-pusat pengetahuan di Jawa.
Dulu, ia sudah membaca tulisan atau buku dari Saifuddin Zuhri dan Mahbub Djunaidi. Ia mengerti sosok-sosok dalam asuhan pendidikan di pesantren. Di buku-buku, Hairus Salim seperti mendapat peta atau kompas untuk babak-babak lanjutan dalam hidup. Ia tak harus selalu berada di Kalimantan.
baca juga: Gaya Asyik Kedai Kopi Bumi Citarik Menguliti Buku “Susuk Kapal Borobudur”
Buku di hadapan kita masih babak awal, belum tengah dan akhir. Hairus Salim berkisah saat berada di Pondok Pesantren Al Falah diakui menjadi “pintu gerbang yang besar dan bermakna untuk perjalanan kehidupan saya lebih lanjut”. Pesantren itu menjadi “candradimuka yang menggodok jiwa dan menyiramkan pengetahuan ke diri saya.”
tulis komentar anda