Mendongkrak Daya Saing Pabrik Gula

Rabu, 29 Juli 2020 - 06:10 WIB
Di Indonesia, pokok persoalan ini ada pada banyaknya PG yang obsolete, tua, dan berkapasitas giling kecil (di bawah 3.000 ton tebu per hari). Saat ini jumlah PG 62 buah, 68% pabrik tua berumur di atas 80 tahun dan 80% terdapat di Pulau Jawa. Akibat mesin tua, kinerja PG, terutama PG BUMN, tidak maksimal. Mesin bocor, nira tebu banyak yang tidak menjadi gula. Secara teoritis kita mampu mencapai rendemen 14-15% apabila prinsip efisiensi dilakukan dengan baik, tetapi karena PG sudah tua, rendemen yang diraih hanya 6-7%, jauh di bawah pencapaian rendemen di era 1930-an (11-13%).

Selain itu, berbeda dengan PG swasta, PG-PG BUMN yang sebagian besar di Jawa tidak memiliki lahan sendiri. Pasokan tebu PG sepenuhnya tergantung dari lahan petani. Padahal kondisi petani cukup beragam kemampuan finansial maupun penguasaan teknis budidaya tebu. Manajemen di lahan yang terpisah dari manajemen giling (PG) ini membuat PG tidak mudah mengintegrasikan kegiatan, yakni tanam, tebang, angkut, dan giling. Kerumitan ini membuat PG BUMN sulit meningkatkan efisiensi, produktivitas tebu, dan rendemen gula. Kualitas gula yang dihasilkan rendah dengan ICUMSA sebesar 80-300.

Berbeda dengan di India, Australia, dan Thailand, orientasi utama PG di Indonesia hanya menghasilkan gula. Memang sudah ada upaya mengolah tetes yang dahulu dianggap limbah menjadi etanol atau ampas tebu menjadi bahan bakar, tetapi belum maksimal. Apalagi kebijakan industri berbasis tebu sering kali tidak konsisten. Misalnya, akhir 2009, pemerintah mencanangkan swasembada gula 2014. Tetapi, pemerintah masih memberikan izin pembangunan PG rafinasi berbahan baku gula impor. Pemerintah mendorong penggunaan bahan bakar alternatif, seperti bioetanol. Tetapi, bioetanol dari PT Enero, anak perusahaan PTPN X (BUMN gula), hanya terserap dalam jumlah kecil.

Dengan kondisi seperti di atas, daya saing PG-PG Indonesia relatif lemah. Dalam kondisi demikian, penetapan HET Rp12/500/kg membuat petani dan PG BUMN tertekan. Namun, semangat swasembada gula tak boleh surut. Dari sejarah kita tahu tidak ada kegiatan ekonomi di Indonesia yang lebih advanced daripada industri pergulaan. Jejak-jejaknya mudah ditemukan. Secara fisik misalnya, PG di Jawa yang kini dikelola PTPN IX-XI dan PT Rajawali Nusantara Indonesia adalah bagian sejarah itu. PG-PG ini dibangun di era kolonialisme Belanda abad ke-18. Di bidang riset, meski perannya tidak sebesar dahulu, masih ada Pusat Penelitian Perkebunan Gula di Pasuruan, Jawa Timur. Pada masa itu, dengan empat langkah penting, yakni meningkatkan kualitas produk dan produktivitas perusahaan, konsolidasi perusahaan, mendirikan lembaga riset pergulaan, dan peningkatan produktivitas kebun, industri pergulaan di Jawa berubah secara radikal; dari tidak efisien jadi terefisien di dunia hingga mengalahkan industri gula Eropa. Secara ekonomi, industri ini memberikan kemakmuran luar biasa pada Belanda. Periode 1860-1865, 56,8% pendapatan nasional Belanda ditopang dari industri gula. Pada 1930, dengan produksi 2,2 juta ton, Hindia Belanda jadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Industri gula telah menjadi "gabus tempat mengapung Holland".

Untuk meningkatkan daya saing PG harus dilakukan sejumlah langkah simultan. Pertama, PG-PG kecil bisa diamalgamasi atau dikonsolidasikan menjadi sebuah PG besar sehingga biaya produksi gula dan produk hilir lainnya bisa lebih ekonomis. Kedua, produktivitas gula ditingkatkan dengan perbaikan varietas tebu dan kultur teknis. Ketiga, kehilangan gula selama perjalanan dari kebun ke PG ditekan seminimal mungkin. Keempat, kalau memungkinkan menyatukan kembali manajemen di lahan dan giling. Kelima, orientasi produksi bukan hanya gula, tetapi diperluas ke produk turunan lainnya.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(ras)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More