Covid Tembus 100 Ribu, Jangan Anggap Remeh
Selasa, 28 Juli 2020 - 06:36 WIB
PER Senin (27/7) kemarin, kasus positif korona (Covid-19) di Indonesia tercatat tembus menjangkiti hingga 100.303 orang. Angka ini tidak kecil karena terakumulasi hanya dalam waktu yang relatif pendek, yakni 148 hari.
Di tengah kehidupan masyarakat yang sudah masuk dalam zona adaptasi kebiasaan baru saat ini, angka-angka itu mungkin tak mengagetkan. Bisa jadi pula, jumlah itu tak lagi menarik didengar karena selama ini masyarakat sudah dijejali informasi angka-angka yang akhirnya membuat kesadaran dan kewaspadaan mereka perlahan menjadi sirna.
Namun sejatinya, tak terbatas pada persoalan angka, fenomena lunturnya kesadaran bersama (collective conciousness) inilah yang patut menjadi perhatian besar. Di saat Covid-19 merasuk ke Indonesia hingga lima bulan, faktanya kita semua belum berhasil beranjak untuk menyingkirkannya.
Alih-alih berkurang, setiap hari seolah rekor demi rekor kasus terus tercatat. Angka positivity rate masih 12,3%. Mengacu standar aman WHO, positivity rate maksimal 5%. Ini semua membuat kita miris. Kapan pandemi ini akan benar-benar berakhir? Satu orang pun tak ada yang mampu menjamin. Bahkan kemarin, Kepala Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo dengan blak-blakan menyatakan belum bisa memprediksi kapan wabah ini akan mencapai puncaknya dan berakhir.
Di tengah ketidakberdayaan ini, munculnya banyak klaster baru sebaran Covid-19 di saat New Normalsemakin menguatkan indikasi bahwa selama ini kita masih menganggap remeh virus yang disinyalir dari daratan China tersebut. Jika sebelumnya klaster-klaster itu hanya terkonsentrasi di pasar, pabrik atau tempat hiburan, kini sudah makin meluas hingga ke perkantoran, dan tempat pendidikan. Tak menutup kemungkinan, klaster-klaster itu akan muncul di wilayah yang sangat kecil, yakni rumah tangga.
Jumat (31/7) mendatang, umat Islam akan banyak berkumpul seiring lahirnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 36/2020 yang memberi banyak kelonggaran umat Islam untuk menggelar Salat Idul Adha di tempat ibadah. Hal ini agak berbeda dengan ketentuan pada Idul Fitri lalu yang relatif masih ketat.
Dengan pelonggaran itu, maka tempat ibadah dan kerumuman jelas sangat berpotensi menjadi episentrum baru lagi yang perlu diwaspadai. Berpijak dari masih rendahnya kesadaran dan disiplin masyarakat selama ini, kekhawatiran itu jelas tak berlebihan. Semua belum dalam kondisi aman.
Terus tingginya kasus Covid di berbagai daerah di Indonesia hingga lima bulan terakhir menggambarkan bahwa keyakinan sebagian warga yang merasa kuat dan tangguh termasuk saat adaptasi kebiasaan baru hakikatnya masih semu. Bisa jadi secara individu mereka kuat. Namun ketika kekuatan itu hanya dimiliki segelintir orang, maka cepat atau lambat virus justru yang kian kuat.
Judul headline ‘Jangan Anggap Remeh’ koran ini pada 10 Maret silam, terang sekali masih relevan untuk menggambarkan situasi yang kita alami sekarang. Kata-kata itu masih manjur sebagai warning bersama dalam menghadapi dan menangani Covid-19 yang belum terkendali ini.
Sejatinya kompleksitas masalah Covid-19 ini pun tak hanya dialami Indonesia. Beberapa negara yang selama ini diklaim terdepan dalam teknologi maupun informasi, nyatanya juga banyak yang gelapan. Bongkar pasang kebijakan pun menjadi hal yang tak terhindarkan. Bahkan di Kanada, saat ini virus tak lagi mudah menembus kaum rentan seperti lansia. Penelitian terbaru menunjukkan, kaum muda berusia 20-39 tahun pun tergolong orang-orang yang rapuh karena banyak penderita anyar berasal dari kategori ini.
Fenomena ini jangan sampai terjadi di Indonesia. Semua harus memiliki niat dan kesadaran bersama untuk menuju titik solusi yang makin komprehensif. Sekali lagi, angka 100.000 jangan sekadar menjadi sajian angka-angka formalitas. Akumulasi kasus itu saatnya menjadi momentum besar meneguhkan komitmen dan aksi yang lebih nyata.
Di tengah kehidupan masyarakat yang sudah masuk dalam zona adaptasi kebiasaan baru saat ini, angka-angka itu mungkin tak mengagetkan. Bisa jadi pula, jumlah itu tak lagi menarik didengar karena selama ini masyarakat sudah dijejali informasi angka-angka yang akhirnya membuat kesadaran dan kewaspadaan mereka perlahan menjadi sirna.
Namun sejatinya, tak terbatas pada persoalan angka, fenomena lunturnya kesadaran bersama (collective conciousness) inilah yang patut menjadi perhatian besar. Di saat Covid-19 merasuk ke Indonesia hingga lima bulan, faktanya kita semua belum berhasil beranjak untuk menyingkirkannya.
Alih-alih berkurang, setiap hari seolah rekor demi rekor kasus terus tercatat. Angka positivity rate masih 12,3%. Mengacu standar aman WHO, positivity rate maksimal 5%. Ini semua membuat kita miris. Kapan pandemi ini akan benar-benar berakhir? Satu orang pun tak ada yang mampu menjamin. Bahkan kemarin, Kepala Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo dengan blak-blakan menyatakan belum bisa memprediksi kapan wabah ini akan mencapai puncaknya dan berakhir.
Di tengah ketidakberdayaan ini, munculnya banyak klaster baru sebaran Covid-19 di saat New Normalsemakin menguatkan indikasi bahwa selama ini kita masih menganggap remeh virus yang disinyalir dari daratan China tersebut. Jika sebelumnya klaster-klaster itu hanya terkonsentrasi di pasar, pabrik atau tempat hiburan, kini sudah makin meluas hingga ke perkantoran, dan tempat pendidikan. Tak menutup kemungkinan, klaster-klaster itu akan muncul di wilayah yang sangat kecil, yakni rumah tangga.
Jumat (31/7) mendatang, umat Islam akan banyak berkumpul seiring lahirnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 36/2020 yang memberi banyak kelonggaran umat Islam untuk menggelar Salat Idul Adha di tempat ibadah. Hal ini agak berbeda dengan ketentuan pada Idul Fitri lalu yang relatif masih ketat.
Dengan pelonggaran itu, maka tempat ibadah dan kerumuman jelas sangat berpotensi menjadi episentrum baru lagi yang perlu diwaspadai. Berpijak dari masih rendahnya kesadaran dan disiplin masyarakat selama ini, kekhawatiran itu jelas tak berlebihan. Semua belum dalam kondisi aman.
Terus tingginya kasus Covid di berbagai daerah di Indonesia hingga lima bulan terakhir menggambarkan bahwa keyakinan sebagian warga yang merasa kuat dan tangguh termasuk saat adaptasi kebiasaan baru hakikatnya masih semu. Bisa jadi secara individu mereka kuat. Namun ketika kekuatan itu hanya dimiliki segelintir orang, maka cepat atau lambat virus justru yang kian kuat.
Judul headline ‘Jangan Anggap Remeh’ koran ini pada 10 Maret silam, terang sekali masih relevan untuk menggambarkan situasi yang kita alami sekarang. Kata-kata itu masih manjur sebagai warning bersama dalam menghadapi dan menangani Covid-19 yang belum terkendali ini.
Sejatinya kompleksitas masalah Covid-19 ini pun tak hanya dialami Indonesia. Beberapa negara yang selama ini diklaim terdepan dalam teknologi maupun informasi, nyatanya juga banyak yang gelapan. Bongkar pasang kebijakan pun menjadi hal yang tak terhindarkan. Bahkan di Kanada, saat ini virus tak lagi mudah menembus kaum rentan seperti lansia. Penelitian terbaru menunjukkan, kaum muda berusia 20-39 tahun pun tergolong orang-orang yang rapuh karena banyak penderita anyar berasal dari kategori ini.
Fenomena ini jangan sampai terjadi di Indonesia. Semua harus memiliki niat dan kesadaran bersama untuk menuju titik solusi yang makin komprehensif. Sekali lagi, angka 100.000 jangan sekadar menjadi sajian angka-angka formalitas. Akumulasi kasus itu saatnya menjadi momentum besar meneguhkan komitmen dan aksi yang lebih nyata.
(ras)
Lihat Juga :
tulis komentar anda