RUU PDP Mendesak, Komisi Informasi Ingatkan soal Hak Privasi dan HAM
Senin, 27 Juli 2020 - 16:18 WIB
JAKARTA - Data pribadi yang makin rentan di era digital menunjukkan kian mendesaknya perangkat hukum atas perlindungan data pribadi. Karena itu, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 layak mendapatkan porsi perhatian lebih.
Komisioner Komisi Informasi Pusat Cecep Suryadi mengatakan tantangan terhadap data pribadi saat ini begitu masif. Banyak kasus kebocoran data konsumen e-commerce terjadi. Belum lama ini, terungkap sejumlah kasus bocornya data pribadi di sejumlah perusahaan e-commerce yang dijual di pasar gelap.
(Baca: Kebocoran Data Marak, RUU Pelindungan Data Pribadi Kian Mendesak)
"Beberapa waktu lalu kami diskusi dengan kepolisian disebutkan bahwa kebocoran data itu belum semua bisa ditindaklanjuti karena ada kekosongan hukum. Kebocoran data penduduk, konsumen, dan beberapa data lain. Dan bagaimana ekonomi digital itu bisa didorong. Banyak fenomena, ada kontrak usaha yang tidak fair, ini tantangan kita," tutur Cecep dalam Focus Group Discussion (FGD) Komisi Informasi Pusat dengan tema Pentingnya Lembaga Independen dalam Perlindungan Data Pribadi secara virtual, Senin (27/7/2020).
Menurut Cecep, Komisi Informasi segera memberikan masukan kepada seluruh fraksi di DPR terkait poin-poin penting dalam RUU PDP. Dia mengingatkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2004 soal UU Penyadapan menegaskan dalam hal apapun, hak privasi itu tidak dapat dikurangi. Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) juga harus diatur dalam undang-undang.
"Ini menjadi batu loncatan bahwa RUU ini urgent. Meskipun ada sekitar 30 UU yang mengatur bagaimana informasi mengenai riwayat pribadi itu harus dikecualikan, polarisasi di sekitar 30 UU itu menjadikan kita tidak setara ketika Indonesia ingin melakukan transfer data terkait UU ini," paparnya.
(Baca: 12 Substansi RUU Perlindungan Data Pribadi)
Menurut Cecep, DPR sudah beberapa kali melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk membahas khusus RUU ini, tapi terhenti karena pandemi. "Kami berharap pada masa sidang Agustus nanti, kami ingin memberi atensi khusus ke Komisi I untuk menyampaikan pandangan kami terkait RUU ini. Prinsip-prinsip bagaimana perlindungan data pribadi ini belum menjadi napas dari RUU ini," katanya.
Dikatakan Cecep, di beberapa negara, proses transfer data pribadi bisa dilakukan apabila di negara tersebut ada undang-undang sejenis yang selevel sehingga bisa melakukan pengawasan dan juga penerapan sanksi. "Bagaimana proses transfer data ini bisa dilakukan, itu harus ada satu lembaga yang mengawasi dan mengawal mandat RUU ini. Kami merasa penting untuk menyampaikan apakah asas dan prinsip dimasukkan jelas secara prinsip di RUU ini," katanya.
Komisioner Komisi Informasi Pusat Cecep Suryadi mengatakan tantangan terhadap data pribadi saat ini begitu masif. Banyak kasus kebocoran data konsumen e-commerce terjadi. Belum lama ini, terungkap sejumlah kasus bocornya data pribadi di sejumlah perusahaan e-commerce yang dijual di pasar gelap.
(Baca: Kebocoran Data Marak, RUU Pelindungan Data Pribadi Kian Mendesak)
"Beberapa waktu lalu kami diskusi dengan kepolisian disebutkan bahwa kebocoran data itu belum semua bisa ditindaklanjuti karena ada kekosongan hukum. Kebocoran data penduduk, konsumen, dan beberapa data lain. Dan bagaimana ekonomi digital itu bisa didorong. Banyak fenomena, ada kontrak usaha yang tidak fair, ini tantangan kita," tutur Cecep dalam Focus Group Discussion (FGD) Komisi Informasi Pusat dengan tema Pentingnya Lembaga Independen dalam Perlindungan Data Pribadi secara virtual, Senin (27/7/2020).
Menurut Cecep, Komisi Informasi segera memberikan masukan kepada seluruh fraksi di DPR terkait poin-poin penting dalam RUU PDP. Dia mengingatkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2004 soal UU Penyadapan menegaskan dalam hal apapun, hak privasi itu tidak dapat dikurangi. Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) juga harus diatur dalam undang-undang.
"Ini menjadi batu loncatan bahwa RUU ini urgent. Meskipun ada sekitar 30 UU yang mengatur bagaimana informasi mengenai riwayat pribadi itu harus dikecualikan, polarisasi di sekitar 30 UU itu menjadikan kita tidak setara ketika Indonesia ingin melakukan transfer data terkait UU ini," paparnya.
(Baca: 12 Substansi RUU Perlindungan Data Pribadi)
Menurut Cecep, DPR sudah beberapa kali melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk membahas khusus RUU ini, tapi terhenti karena pandemi. "Kami berharap pada masa sidang Agustus nanti, kami ingin memberi atensi khusus ke Komisi I untuk menyampaikan pandangan kami terkait RUU ini. Prinsip-prinsip bagaimana perlindungan data pribadi ini belum menjadi napas dari RUU ini," katanya.
Dikatakan Cecep, di beberapa negara, proses transfer data pribadi bisa dilakukan apabila di negara tersebut ada undang-undang sejenis yang selevel sehingga bisa melakukan pengawasan dan juga penerapan sanksi. "Bagaimana proses transfer data ini bisa dilakukan, itu harus ada satu lembaga yang mengawasi dan mengawal mandat RUU ini. Kami merasa penting untuk menyampaikan apakah asas dan prinsip dimasukkan jelas secara prinsip di RUU ini," katanya.
(muh)
Lihat Juga :
tulis komentar anda