Beban Kekuatan Rujukan

Senin, 27 Juli 2020 - 07:13 WIB
Gun Gun Heryanto
Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

MUSIM kandidasi Pilkada 2020 kian gegap gempita. Ada yang maju melenggang membawa kekuatan rujukan (referent power) dari bapak, ibu, mertua, atau kerabat, ada juga yang mesti berjibaku menyisihkan banyak saingan sendirian. Bahkan, ada yang mesti menepi secara dramatis, meski awalnya sudah mengantongi tiket menuju gelanggang. Kandidasi kerap penuh drama, bahkan elegi kekuasaan, di mana tidak semua orang diuntungkan oleh proses yang serbamungkin terjadi di pengujung waktu. Pilkada di 270 daerah yang terdiri atas 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota pada 9 Desember 2020 memberi gambaran wajah “setengah matang” demokrasi Indonesia dalam kontestasi elektoral. Kandidasi kian diwarnai maraknya politik dinasti.

Lompatan Politik



Merujuk pada tulisan Pippa Norris, Recruitment, dalam Richard S Katz and William Crotty, Handbook of Party Politics (2006), kandidasi dimaknai sebagai proses bagaimana kandidat dipilih dari kandidat-kandidat potensial yang mampu bersaing untuk mendapatkan jabatan publik. Tentu, banyak orang yang berkehendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah (running for office). Akan tetapi, tidak semua memiliki modal memadai. Ada modal dasar elektoral seperti tingkat keterpilihan, tingkat penerimaan dan tingkat keterkenalan. Ada modal ekonomi berupa cost of entry atau biaya memasuki gelanggang dan modal dukungan kekuatan politik sebagai penyokong dari partai dan atau gabungan partai politik. Tak mudah memang mendapatkan tiket parpol jika melaju bukan dari jalur perseorangan. Peta politik parpol kerap berubah, bergantung pada selera dan kepentingan elite parpol masing-masing dalam rangka mendapatkan keuntungan dalam kekuasaan (benefit of office).

Contoh getir dialami Achmad Purnomo, wakil wali kota Solo, yang berencana maju melalui jalur PDI Perjuangan. Tiket sudah dikantongi dari DPC PDI Perjuangan Solo. Langkah Purnomo sejalan dengan mekanisme kepartaian. PDI Perjuangan punya Peraturan Partai Nomor 24/2017 bahwa DPC yang memperoleh suara pemilu legislatif mencapai di atas 25%, maka menggunakan sistem atau mekanisme rekrutmen tertutup. Saat itu yang sudah diberi penugasan oleh DPC PDI Perjuangan Solo pasangan Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa. Cerita tak berjalan happy ending. Putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menyalip di tikungan. Tiket dari DPP PDI Perjuangan justru diraihnya, meskipun harus terjadi lompatan politik baik dirinya sebagai kandidat maupun partai dari ketentuan internalnya.

PDI Perjuangan sudah menetapkan 23 syarat untuk pendaftar calon kepala daerah. Di salah satu poinnya diatur harus kader/anggota partai yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota (KTA) tiga tahun terakhir berturut-turut. Gibran sendiri baru memiliki KTA PDI Perjuangan akhir 2019. Ini artinya, secara faktual memang telah terjadi lompatan politik (political jumping) jika dilihat dari sistem kepartaian dan tahapan distribusi serta alokasi orang ke jabatan-jabatan publik. Ini baru fenomena, belum lagi fenomena di balik cerita tersebut, tentu akan jauh lebih rumit dan kompleks karena melibatkan relasi kuasa antarfaktor, terutama yang menjadi kekuatan rujukan di partai. Sebut saja sosok Presiden Jokowi yang sumber daya politiknya menjadi kunci karena berposisi menentukan di peta kekuasaan hari ini.

Secara politis, saat Gibran mendapatkan tiket PDI Perjuangan dan berpasangan dengan Teguh Prakosa, sesungguhnya Pilkada Solo bisa dikatakan sudah “selesai”. PDI Perjuangan memborong 30 dari 45 kursi DPRD Solo. Untuk maju sebagai calon, Gibran setidaknya hanya membutuhkan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD sesuai Pasal 40 UU Nomor 10/2016 atau sembilan kursi. PDI Perjuangan menguasai 67% kursi DPRD Kota Solo. Selain PDI Perjuangan, partai-partai lain seperti Gerindra (tiga kursi), Golkar (tiga kursi), Partai Solidaritas Indonesia/PSI (tiga kursi), dan PAN (tiga kursi) telah menyatakan keinginannya bergabung dengan gerbong Gibran. Jika PKS dengan lima kursi di DPRD mau mengajukan calon lain di luar Gibran, akan sangat sulit mencari mitra koalisi karena jumlah suaranya tidak memenuhi syarat pengajuan calon. Dengan demikian, Pilkada Solo berpotensi calon tunggal!
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More