Memborong Alutsista, Indonesia dalam Ancaman Perang?
Senin, 26 Juni 2023 - 11:57 WIB
Walaupun dalam keadaan damai, suatu negara juga tidak boleh berleha-leha dan menganggap akan berlangsung damai selamanya. Justru, untuk mempertahankan kondisi damai inilah diperlukan upaya strategis memperkuat otot militer untuk mengantisipasi setiap ancaman masa depan, seperti dipercaya kalangan militer semenjak era Romawi kuno: si vis pacem para bellum (jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang).
Kesadaran inilah yang juga dipahami Prabowo Subianto. Saat menjadi pembicara kunci dalam webinar bertajuk "Optimalisasi Industri Pertahanan dalam Konteks Kepentingan Nasional RI di Abad 21" di Universitas Padjajaran Bandung (9/7). Ia menegaskan bahwa sejarah manusia mengisahkan bangsa yang ingin damai dan merdeka adalah bangsa yang siap perang.
"Itulah inti pertahanan. Kalau jadi perang, kita tidak bisa buru-buru ke supermarket membeli alat perang," ujar dia.
Berangkat dari pemahaman ini, jika Indonesia ingin siap menghadapi perang, maka minimal mulai dari sekarang negara ini sudah mau berpikir soal potensi adanya perang dan mengoptimalisasi industri pertahanan.
Dalam momen tersebut, mantan Danjen Kopassus ini memaparkan definisi perang sebagai pemaksaan kehendak oleh sebuah negara dengan tujuan menguasai suatu wilayah atau sumber daya suatu negara. Caranya, yaitu dengan kekuatan fisik atau kekerasan. Mengutip filosopi perang bangsa Athena, suatu negara wajib memiliki pertahanan yang kuat untuk mengantisipasi perang.
"The strong do what they can and the weak suffer what they must. Kalau dia mampu membom dia membom kalau mampu hancurkan satu kota dia akan lakukan. Yang lemah akan menderita," kata Prabowo.
Untuk itu, Prabowo menekankan, jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang kuat, maka wajar pemerintah menyiapkan rencana dan skenario pertahanan. Termasuk, mempersiapkan rencana alutsista untuk memperkuat pertahanan. "Kita ini dalam keadaan tidak kuat, tidak sehat, kalau tidak kuat hadapi ancaman virus, lebih cepat kita hancur. Pertanyaannya kembali, apakah Indonesia mau kuat atau lemah. Kalau mau kuat lakukan hal-hal yang jadi kuat," kata Prabowo.
Walaupun sekilas terlihat kondisi geopolitik sedang baik-baik saja, sesungguhnya kawasan sedang menyimpan bara panas, yang setiap saat bisa meletus menjadi perang terbuka. Secara langsung atau tidak langsung perang yang bakal terjadi rawan menyeret Indonesia ke dalamnya pusarannya.
Potensi perang dimaksud tidak lain terkait agresivitas China di kawasan Laut China Selatan atau Indo-Pasific, yang memaksakan klaimnya terhadap 90% wilayah laut hingga bergesekan dengan beberapa negara di kawasan dan mengancam kebebasan lalu lintas di salah satu laut strategis dan tersibuk dunia tersebut.
Gesekan yang terjadi pun tidak lagi melibatkan China vis a vis Vietnam atau Filipina, tapi juga telah menyeret Australia, AS, Inggris, dan beberapa negara barat lainnya yang memiliki kepentingan terhadap akses lalu lintas transportasi dan keamanan kepentingan geopolitiknya.
Kesadaran inilah yang juga dipahami Prabowo Subianto. Saat menjadi pembicara kunci dalam webinar bertajuk "Optimalisasi Industri Pertahanan dalam Konteks Kepentingan Nasional RI di Abad 21" di Universitas Padjajaran Bandung (9/7). Ia menegaskan bahwa sejarah manusia mengisahkan bangsa yang ingin damai dan merdeka adalah bangsa yang siap perang.
"Itulah inti pertahanan. Kalau jadi perang, kita tidak bisa buru-buru ke supermarket membeli alat perang," ujar dia.
Berangkat dari pemahaman ini, jika Indonesia ingin siap menghadapi perang, maka minimal mulai dari sekarang negara ini sudah mau berpikir soal potensi adanya perang dan mengoptimalisasi industri pertahanan.
Dalam momen tersebut, mantan Danjen Kopassus ini memaparkan definisi perang sebagai pemaksaan kehendak oleh sebuah negara dengan tujuan menguasai suatu wilayah atau sumber daya suatu negara. Caranya, yaitu dengan kekuatan fisik atau kekerasan. Mengutip filosopi perang bangsa Athena, suatu negara wajib memiliki pertahanan yang kuat untuk mengantisipasi perang.
"The strong do what they can and the weak suffer what they must. Kalau dia mampu membom dia membom kalau mampu hancurkan satu kota dia akan lakukan. Yang lemah akan menderita," kata Prabowo.
Untuk itu, Prabowo menekankan, jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang kuat, maka wajar pemerintah menyiapkan rencana dan skenario pertahanan. Termasuk, mempersiapkan rencana alutsista untuk memperkuat pertahanan. "Kita ini dalam keadaan tidak kuat, tidak sehat, kalau tidak kuat hadapi ancaman virus, lebih cepat kita hancur. Pertanyaannya kembali, apakah Indonesia mau kuat atau lemah. Kalau mau kuat lakukan hal-hal yang jadi kuat," kata Prabowo.
Walaupun sekilas terlihat kondisi geopolitik sedang baik-baik saja, sesungguhnya kawasan sedang menyimpan bara panas, yang setiap saat bisa meletus menjadi perang terbuka. Secara langsung atau tidak langsung perang yang bakal terjadi rawan menyeret Indonesia ke dalamnya pusarannya.
Potensi perang dimaksud tidak lain terkait agresivitas China di kawasan Laut China Selatan atau Indo-Pasific, yang memaksakan klaimnya terhadap 90% wilayah laut hingga bergesekan dengan beberapa negara di kawasan dan mengancam kebebasan lalu lintas di salah satu laut strategis dan tersibuk dunia tersebut.
Gesekan yang terjadi pun tidak lagi melibatkan China vis a vis Vietnam atau Filipina, tapi juga telah menyeret Australia, AS, Inggris, dan beberapa negara barat lainnya yang memiliki kepentingan terhadap akses lalu lintas transportasi dan keamanan kepentingan geopolitiknya.
tulis komentar anda