Wapres Alternatif dan Tribalisme Agama
Jum'at, 19 Mei 2023 - 14:35 WIB
Kemala Atmojo
Peminat dan Pemerhati Masalah Filsafat, Hukum, dan Seni
Perbincangan mengenai calon wakil presiden (wapres) di berbagai media televisi dan media sosial mulai membosanan. Selain karena lamanya penunjukan, juga kandidat yang dimunculkan hanya “itu-itu” saja. Apalagi dari nama-nama kandidat yang sudah beredar, belum satu pun yang terdengar mengucapkan visi-misinya. Sebetulnya mau dibawa ke mana bangsa ini.
Maka, mumpung masih ada sedikit waktu, ada baiknya tokoh atau partai politik memunculkan nama-nama baru sebagai alternatif. Ini agar masyarakat memiliki lebih banyak aklternatif dan segera tahu visi misi mereka. Orang seperti Muhadjir Effendy (Menko PMK) dan Sri Mulyani (Menkeu), misalnya, layak untuk mendapat perhatian. Muhadjir Effendy, selain rendah hati, pekerja keras, jujur, tidak suka pencitraan, juga dapat mewakili nasionalisme relijius seperti yang selama diharapkan bayak orang. Sedangkan Sri Mulyani adalah menteri keuangan yang pandai, pekerja keras, dan berintegritas.
Memilih calon wakil presiden hanya karena pertimbangan kemampuan finansial adalah sebuah kekeliruan yang bakal menjerumuskan bangsa ini. Demikian juga memilih mereka yang bernafsu besar untuk berkuasa, atau mereka yang disponsori oleh pengusaha yang mengincar berbagai bisnis atau lapangan usaha nantinya, jelas bukan pertimbangan yang baik. Karena itu, sekali lagi, mumpung masih ada waktu, patut dicari beberapa nama lain sebagai alternatif. Makin banyak orang, makin banyak pilihan bagi masyarakat.
Menurut saya, siapapun pasangan presiden dan wakil presiden nanti, jika mereka tidak berbicara soal pemanasan global, artificial intelligence (AI), pembangunan pedesaan, bonus demografi dan pluralisme, sebaiknya memang tidak usah dipilih. Sebab tidak ada gunanya memilih calon pemimpin yang tidak mengerti permasalahan bangsanya hari ini dan masa depan. Mereka bakal tidak berguna bagi kemajuan peradaban bangsa Indonesia.
Selain urusan wapres, ada beberapa hal lain yang perlu mendapat perhatian. Pertama, soal kecurangan. Maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sangat diharapkan bekerja secara profesional. Lembaga pemantau pemilu swasta (kalau ada) serta masyarakat pada umumnya diharapkan ikut mengawasi seluruh rangkaian proses pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) nanti. Jangan sampai pilpres dan pileg nanti hanya menjadi ajang dagelan atau sandiwara saja.
Ancaman lain yang tak kalah menakutkan -- meski semoga tidak terjadi-- adalah munculnya tribalisme agama yang dihembus-hembuskan oleh para petualangan politik. Tribalisme yang dulu hanya mengacu pada masalah kesukuan, kini dalam budaya populer tribalisme juga merujuk pada cara berpikir atau berperilaku setia hanya kepada kelompok sosial mereka saja di atas segalanya. Kelompok lain seakan lebih rendah dan salah.
Para petualangan politik bisa jadi akan mengeksploitasi sentimen agama tertentu demi perolehan suara. Tribalisme relijius ini mencederai demokrasi modern yang kita yakini sebagai sistem pemerintahan terbaik hingga kini. Dermokrasi modern adalah bentuk pelaksanaan kekuasaan negara sebagai penerima mandat dari rakyat.
Peminat dan Pemerhati Masalah Filsafat, Hukum, dan Seni
Perbincangan mengenai calon wakil presiden (wapres) di berbagai media televisi dan media sosial mulai membosanan. Selain karena lamanya penunjukan, juga kandidat yang dimunculkan hanya “itu-itu” saja. Apalagi dari nama-nama kandidat yang sudah beredar, belum satu pun yang terdengar mengucapkan visi-misinya. Sebetulnya mau dibawa ke mana bangsa ini.
Maka, mumpung masih ada sedikit waktu, ada baiknya tokoh atau partai politik memunculkan nama-nama baru sebagai alternatif. Ini agar masyarakat memiliki lebih banyak aklternatif dan segera tahu visi misi mereka. Orang seperti Muhadjir Effendy (Menko PMK) dan Sri Mulyani (Menkeu), misalnya, layak untuk mendapat perhatian. Muhadjir Effendy, selain rendah hati, pekerja keras, jujur, tidak suka pencitraan, juga dapat mewakili nasionalisme relijius seperti yang selama diharapkan bayak orang. Sedangkan Sri Mulyani adalah menteri keuangan yang pandai, pekerja keras, dan berintegritas.
Memilih calon wakil presiden hanya karena pertimbangan kemampuan finansial adalah sebuah kekeliruan yang bakal menjerumuskan bangsa ini. Demikian juga memilih mereka yang bernafsu besar untuk berkuasa, atau mereka yang disponsori oleh pengusaha yang mengincar berbagai bisnis atau lapangan usaha nantinya, jelas bukan pertimbangan yang baik. Karena itu, sekali lagi, mumpung masih ada waktu, patut dicari beberapa nama lain sebagai alternatif. Makin banyak orang, makin banyak pilihan bagi masyarakat.
Menurut saya, siapapun pasangan presiden dan wakil presiden nanti, jika mereka tidak berbicara soal pemanasan global, artificial intelligence (AI), pembangunan pedesaan, bonus demografi dan pluralisme, sebaiknya memang tidak usah dipilih. Sebab tidak ada gunanya memilih calon pemimpin yang tidak mengerti permasalahan bangsanya hari ini dan masa depan. Mereka bakal tidak berguna bagi kemajuan peradaban bangsa Indonesia.
Selain urusan wapres, ada beberapa hal lain yang perlu mendapat perhatian. Pertama, soal kecurangan. Maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sangat diharapkan bekerja secara profesional. Lembaga pemantau pemilu swasta (kalau ada) serta masyarakat pada umumnya diharapkan ikut mengawasi seluruh rangkaian proses pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) nanti. Jangan sampai pilpres dan pileg nanti hanya menjadi ajang dagelan atau sandiwara saja.
Ancaman lain yang tak kalah menakutkan -- meski semoga tidak terjadi-- adalah munculnya tribalisme agama yang dihembus-hembuskan oleh para petualangan politik. Tribalisme yang dulu hanya mengacu pada masalah kesukuan, kini dalam budaya populer tribalisme juga merujuk pada cara berpikir atau berperilaku setia hanya kepada kelompok sosial mereka saja di atas segalanya. Kelompok lain seakan lebih rendah dan salah.
Para petualangan politik bisa jadi akan mengeksploitasi sentimen agama tertentu demi perolehan suara. Tribalisme relijius ini mencederai demokrasi modern yang kita yakini sebagai sistem pemerintahan terbaik hingga kini. Dermokrasi modern adalah bentuk pelaksanaan kekuasaan negara sebagai penerima mandat dari rakyat.
tulis komentar anda