Jaga Kerukunan Umat Beragama, Dai Harus Memiliki Wawasan Kebangsaan
Kamis, 18 Mei 2023 - 17:55 WIB
JAKARTA - Dai atau penceramah adalah tokoh yang didengarkan ucapannya karena dianggap menguasai ajaran agama melebihi kebanyakan orang. Dalam konteks negara Indonesia yang sangat majemuk, seharusnya apa yang diucapkan para dai berdasarkan pada wawasan kebangsaan yang kuat, sehingga kerukunan antarumat tetap terjaga.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI) Moch Syarif Hidayatullah menanggapi adanya dai atau penceramah yang berwawasan kebangsaannya tidak mumpuni, bahkan terkesan menafsirkan dalil agama secara serampangan. Padahal para dai memiliki tanggung jawab moral dalam penguasaan wawasan kebangsaan karena begitu pentingnya figur mereka di mata masyarakat Indonesia.
"Wawasan kebangsaan ini menjadi tanggung jawab dan kewajiban para dai untuk ditanamkan kepada siapa pun, terutama kepada pengikutnya. Dai-dai ini sudah menjadi trendsetter, apa yang mereka katakan dan lakukan, akan diikuti oleh para pengikutnya. Dalam konteks wawasan kebangsaan ini, peran dai itu tidak bisa dikecilkan karena ia mempunyai daya ubah dalam menanamkan wawasan kebangsaan. Apalagi jika ia mempunyai follower sekian ratus ribu atau bahkan jutaan," kata Syarif di Jakarta, Kamis (18/5/2023).
Menurutnya, apabila umat mengikuti dai yang wawasan kebangsaannya rendah, bahkan antiwawasan kebangsaan, menanamkan nilai-nilai kebencian terhadap negara dan Tanah Air, maka akan sangat signifikan mengubah cara pandang para pengikutnya. Umat akan terpapar setiap hari dengan materi dakwah yang dibagikan oleh para dai, baik di media sosial atau lainnya.
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerja Sama Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta ini menyoroti adagium jika ingin viral, maka harus menjadi sangat keras, ekstrem, menyerang sana dan sini, mencaci maki banyak pihak, sehingga cepat mendapatkan follower. Seseorang harus terlibat dalam perdebatan yang memecah-belah, memposisikan diri di kubu yang menyerang kubu lainnya, supaya dapat follower atau cheerleaders dari orang-orang di media sosialnya.
"Nah, ini yang berbahaya. Pada titik tertentu nanti bisa memunculkan konflik horizontal yang sudah terjadi juga di beberapa negara di Timur Tengah," kata Syarif.
Ia mencontohkan, fenomena Arab Spring yang dimulai awal 2010 juga sebagian di provokasi dari media sosial. Sentimen kelompok lain juga dibakar di media sosial. Hal ini disebabkan karena ada orang-orang tertentu yang ingin terkenal, viral, tapi tidak sabar mengikuti jalur orang-orang yang berhasil mendapatkan pengikut tapi bukan by design/sekadar cari pengikut. Para figur yang berhasil ini betul-betul merintis dari bawah, memberikan manfaat pada orang banyak dan orang merasakan manfaatnya, baru dia menjadi viral. Biasanya yang seperti ini lebih awet terkenalnya karena dia diterima oleh masyarakat.
Namun ada pula yang ingin viral dengan memprovokasi, mencaci-maki, menghujat, menyerang kelompok lain, yang kemudian nilai moderasi beragamanya menjadi rendah. Biasanya figur yang seperti ini hanya sekejap, setidaknya dalam kurun waktu atau periode tertentu, misalkan periode pilpres, pilkada, dan lain sebagainya.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI) Moch Syarif Hidayatullah menanggapi adanya dai atau penceramah yang berwawasan kebangsaannya tidak mumpuni, bahkan terkesan menafsirkan dalil agama secara serampangan. Padahal para dai memiliki tanggung jawab moral dalam penguasaan wawasan kebangsaan karena begitu pentingnya figur mereka di mata masyarakat Indonesia.
"Wawasan kebangsaan ini menjadi tanggung jawab dan kewajiban para dai untuk ditanamkan kepada siapa pun, terutama kepada pengikutnya. Dai-dai ini sudah menjadi trendsetter, apa yang mereka katakan dan lakukan, akan diikuti oleh para pengikutnya. Dalam konteks wawasan kebangsaan ini, peran dai itu tidak bisa dikecilkan karena ia mempunyai daya ubah dalam menanamkan wawasan kebangsaan. Apalagi jika ia mempunyai follower sekian ratus ribu atau bahkan jutaan," kata Syarif di Jakarta, Kamis (18/5/2023).
Menurutnya, apabila umat mengikuti dai yang wawasan kebangsaannya rendah, bahkan antiwawasan kebangsaan, menanamkan nilai-nilai kebencian terhadap negara dan Tanah Air, maka akan sangat signifikan mengubah cara pandang para pengikutnya. Umat akan terpapar setiap hari dengan materi dakwah yang dibagikan oleh para dai, baik di media sosial atau lainnya.
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerja Sama Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta ini menyoroti adagium jika ingin viral, maka harus menjadi sangat keras, ekstrem, menyerang sana dan sini, mencaci maki banyak pihak, sehingga cepat mendapatkan follower. Seseorang harus terlibat dalam perdebatan yang memecah-belah, memposisikan diri di kubu yang menyerang kubu lainnya, supaya dapat follower atau cheerleaders dari orang-orang di media sosialnya.
"Nah, ini yang berbahaya. Pada titik tertentu nanti bisa memunculkan konflik horizontal yang sudah terjadi juga di beberapa negara di Timur Tengah," kata Syarif.
Ia mencontohkan, fenomena Arab Spring yang dimulai awal 2010 juga sebagian di provokasi dari media sosial. Sentimen kelompok lain juga dibakar di media sosial. Hal ini disebabkan karena ada orang-orang tertentu yang ingin terkenal, viral, tapi tidak sabar mengikuti jalur orang-orang yang berhasil mendapatkan pengikut tapi bukan by design/sekadar cari pengikut. Para figur yang berhasil ini betul-betul merintis dari bawah, memberikan manfaat pada orang banyak dan orang merasakan manfaatnya, baru dia menjadi viral. Biasanya yang seperti ini lebih awet terkenalnya karena dia diterima oleh masyarakat.
Namun ada pula yang ingin viral dengan memprovokasi, mencaci-maki, menghujat, menyerang kelompok lain, yang kemudian nilai moderasi beragamanya menjadi rendah. Biasanya figur yang seperti ini hanya sekejap, setidaknya dalam kurun waktu atau periode tertentu, misalkan periode pilpres, pilkada, dan lain sebagainya.
tulis komentar anda