Refleksi HUT 50 HKTI, Petani adalah Kunci Kemakmuran Negeri
Jum'at, 28 April 2023 - 07:12 WIB
Fadli Zon
Ketua Umum DPN HKTI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra
HARI Kamis 27 April 2023, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) berulang tahun ke-50. Organisasi yang didirikan pada 27 April 1973 di Jakarta ini merupakan hasil fusi dari 14 organisasi tani yang ada di Indonesia pada saat itu. Dengan usia setengah abad hari ini, HKTI merupakan organisasi tani tertua di Tanah Air, sekaligus organisasi tani tertua yang tercatat pernah ada.
Sejak awal pendiriannya, HKTI dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, serta mendorong sektor pertanian sebagai basis pembangunan nasional. Di usia pergerakannya yang persis setengah abad ini, HKTI ingin terus menunjukkan komitmennya untuk tidak pernah berhenti menyuarakan aspirasi petani Indonesia. Sebab, meskipun petani sering dipuji sebagai tulang punggung perekonomian kita, namun nyatanya tingkat kesejahteraan petani kita masih sangat rendah.
Dalam sepuluh tahun terakhir, misalnya, baru pada tahun 2022 lalu Nilai Tukar Petani (NTP) bisa melampaui NTP tahun 2013. Sebagai catatan, pada 2013 NTP ada di angka 104,92, sementara pada 2022 lalu NTP ada di angka 107,33. Artinya, dalam rentang 10 tahun terakhir, kecuali pada 2022 silam, level kesejahteraan petani kita konsisten berada di bawah level tahun 2013. Ini tentu saja menjadi kenyataan memprihatinkan.
Untuk meningkatkan kesejahteraan petani, kita perlu mendorong para petani bisa menciptakan nilai tambah. Namun, sebelum itu dilakukan, kebutuhan sarana dan prasarana pertanian untuk para petani harus tercukupi terlebih dahulu.
Nilai tambah memang merupakan isu utama kesejahteraan petani. Dari sisi produksi, petani kita ke depan tak boleh hanya mengerjakan pertanian di level on farm saja, namun harus juga menguasai off farm. Sementara, dari sisi sumber daya manusia, petani kita juga harus mampu mengembangkan diri menjadi seorang entrepreneur dalam bidang agribisnis.
Selama ini kita memang luput membangun para entrepreneur, karena pemerintah kita lebih suka menggantungkan motor pembangunan di tangan para konglomerat. Padahal, kalau kita belajar dari pengalaman Korea Selatan, yang berhasil mentranformasi petaninya menjadi entrepreneur, para petani kita mungkin bisa semaju Korea Selatan.
Ya, sekira enam puluh tahun lalu, sebagaimana halnya Indonesia, mayoritas masyarakat Korea Selatan juga berprofesi sebagai petani (farmer). Bedanya, para petani Korea kini sudah berhasil bertransformasi menjadi agripreneur, bahkan entrepreneur, sementara mayoritas masyarakat kita masih saja bertahan menjadi farmer.
Ketua Umum DPN HKTI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra
HARI Kamis 27 April 2023, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) berulang tahun ke-50. Organisasi yang didirikan pada 27 April 1973 di Jakarta ini merupakan hasil fusi dari 14 organisasi tani yang ada di Indonesia pada saat itu. Dengan usia setengah abad hari ini, HKTI merupakan organisasi tani tertua di Tanah Air, sekaligus organisasi tani tertua yang tercatat pernah ada.
Sejak awal pendiriannya, HKTI dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, serta mendorong sektor pertanian sebagai basis pembangunan nasional. Di usia pergerakannya yang persis setengah abad ini, HKTI ingin terus menunjukkan komitmennya untuk tidak pernah berhenti menyuarakan aspirasi petani Indonesia. Sebab, meskipun petani sering dipuji sebagai tulang punggung perekonomian kita, namun nyatanya tingkat kesejahteraan petani kita masih sangat rendah.
Dalam sepuluh tahun terakhir, misalnya, baru pada tahun 2022 lalu Nilai Tukar Petani (NTP) bisa melampaui NTP tahun 2013. Sebagai catatan, pada 2013 NTP ada di angka 104,92, sementara pada 2022 lalu NTP ada di angka 107,33. Artinya, dalam rentang 10 tahun terakhir, kecuali pada 2022 silam, level kesejahteraan petani kita konsisten berada di bawah level tahun 2013. Ini tentu saja menjadi kenyataan memprihatinkan.
Untuk meningkatkan kesejahteraan petani, kita perlu mendorong para petani bisa menciptakan nilai tambah. Namun, sebelum itu dilakukan, kebutuhan sarana dan prasarana pertanian untuk para petani harus tercukupi terlebih dahulu.
Nilai tambah memang merupakan isu utama kesejahteraan petani. Dari sisi produksi, petani kita ke depan tak boleh hanya mengerjakan pertanian di level on farm saja, namun harus juga menguasai off farm. Sementara, dari sisi sumber daya manusia, petani kita juga harus mampu mengembangkan diri menjadi seorang entrepreneur dalam bidang agribisnis.
Selama ini kita memang luput membangun para entrepreneur, karena pemerintah kita lebih suka menggantungkan motor pembangunan di tangan para konglomerat. Padahal, kalau kita belajar dari pengalaman Korea Selatan, yang berhasil mentranformasi petaninya menjadi entrepreneur, para petani kita mungkin bisa semaju Korea Selatan.
Ya, sekira enam puluh tahun lalu, sebagaimana halnya Indonesia, mayoritas masyarakat Korea Selatan juga berprofesi sebagai petani (farmer). Bedanya, para petani Korea kini sudah berhasil bertransformasi menjadi agripreneur, bahkan entrepreneur, sementara mayoritas masyarakat kita masih saja bertahan menjadi farmer.
Lihat Juga :
tulis komentar anda