Benchmarking Pendidikan Finlandia: Angin Segar atau Utopia?
Selasa, 21 Juli 2020 - 06:54 WIB
Kualitas pendidikan di Finlandia juga berkaitan erat dengan kebijakan seputar pendidikan anak usia dini (Ronsen & Sundstrom, 2002). Finlandia menerapkan kebijakan anak mulai diizinkan masuk lembaga PAUD pada usia 10 bulan agar anak memiliki cukup waktu untuk berinteraksi dengan ayah-ibunya. Selain itu, karakteristik fisik dan psikis anak pada usia tersebut dianggap tidak terlalu kompleks bagi guru PAUD dalam memberikan layanan pendidikan dan pengasuhan secara efektif. Anak juga dilibatkan dalam penyusunan kurikulum, dikenal dengan osallistava pedagogikka, karena keinginan anak sebagai input penting. Selanjutnya anak usia 6 tahun wajib memasuki pendidikan prasekolah selama setahun untuk melengkapi pendidikan jenjang usia dini. Penelitian menunjukkan bahwa partisipasi anak serta kualitas layanan PAUD berpengaruh positif terhadap kemajuan dan prestasi belajar anak didik di jenjang pendidikan berikutnya (Ojala, 2010; Gayden-Fence, 2016).
Menganalisa Kemungkinan Efektifitas Benchmarking
Pernyataan Presiden Jokowi tersebut bak angin segar menjawab harapan publik yang berharap pendidikan kita memiliki kualitas sebagaimana dimiliki Finlandia. Namun, melakukan pemodelan atau duplikasi praktik yang dilakukan Finlandia ke dalam konteks kultur dan geografis yang berbeda belum tentu berimplikasi pada peningkatan kualitas pendidikan sebagaimana dinikmati oleh Finlandia (Malinen, 2012), karena kemajuan yang dicapai merupakan kombinasi dari berbagai faktor saling berkaitan antara minat siswa, lingkungan belajar sekolah, dukungan orang tua, situasi sosial dan budaya belajar yang sudah terbangun secara mapan (Valijarvi, 2002). Lebih dari itu, sebagaimana dikemukakan Sahlberg (2011), kebijakan pendidikan yang saat ini diberlakukan di Finlandia merupakan hasil dari pengembangan yang sistematis serta terencana selama tiga dekade dan didukung keragaman kultural, rasa saling percaya, dan saling respek yang terbangun dalam masyarakat.
Oleh sebab itu, benchmarking akan menjadi pekerjaan besar bagi Indonesia karena dalam beberapa hal sistem pendidikan yang berlaku di Finlandia memiliki karakteristik berbeda dengan Indonesia. Idealnya, benchmarking perlu dimaknai sebagai belanja ide untuk melahirkan kebijakan relevan dengan situasi yang ada di negara kita. Menjadikan Finlandia sebagai benchmarking artinya berupaya mendalami karakteristik pendidikan Finlandia secara komprehensif dan pada saat yang sama mengenali situasi yang ada di dalam negeri kita sendiri. Dari situ nanti akan diperoleh pemilahan aspek yang mungkin dan tidak mungkin untuk melakukan adopsi serta adaptasi dalam pendidikan kita. Patut dipikirkan apa yang yang disampaikan Goldstein (2004) ketika mengkritisi program Education For All (EFA) yang digagas UNESCO bahwa setiap sistem pendidikan dalam suatu negara bisa saja berkembang mengikuti dinamika global, namun yang lebih penting adalah memberikan porsi lebih besar pada konteks dan budaya lokal.
Kemudian langkah fundamental yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengkaji ulang regulasi terkait pendidikan nasional mulai dari Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta seluruh regulasi turunannya di tingkat pusat maupun pemerintah daerah. Jika ini berhasil dilakukan, maka benchmarking menjanjikan perubahan positif bagi kualitas pendidikan di negara kita.
Sebaliknya, terciptanya pendidikan relevan dengan masa depan akan menjadi utopia belaka jika benchmarking hanya dimaknai sebagai upaya menduplikasi praktik-praktik yang dilakukan Finlandia karena terobsesi hasil bagus yang diperoleh negara tersebut.
Jadi, pemerintah memang berwenang mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan yang relevan dengan perubahan di masa depan. Benchmarking sistem pendidikan negara lain menjanjikan peningkatan kualitas pendidikan kita jika dilandasi pemahaman utuh terhadap seluruh elemen terkait sistem pendidikan negara itu maupun situasi internal pendidikan negara kita sendiri. Wallaahualam.
Menganalisa Kemungkinan Efektifitas Benchmarking
Pernyataan Presiden Jokowi tersebut bak angin segar menjawab harapan publik yang berharap pendidikan kita memiliki kualitas sebagaimana dimiliki Finlandia. Namun, melakukan pemodelan atau duplikasi praktik yang dilakukan Finlandia ke dalam konteks kultur dan geografis yang berbeda belum tentu berimplikasi pada peningkatan kualitas pendidikan sebagaimana dinikmati oleh Finlandia (Malinen, 2012), karena kemajuan yang dicapai merupakan kombinasi dari berbagai faktor saling berkaitan antara minat siswa, lingkungan belajar sekolah, dukungan orang tua, situasi sosial dan budaya belajar yang sudah terbangun secara mapan (Valijarvi, 2002). Lebih dari itu, sebagaimana dikemukakan Sahlberg (2011), kebijakan pendidikan yang saat ini diberlakukan di Finlandia merupakan hasil dari pengembangan yang sistematis serta terencana selama tiga dekade dan didukung keragaman kultural, rasa saling percaya, dan saling respek yang terbangun dalam masyarakat.
Oleh sebab itu, benchmarking akan menjadi pekerjaan besar bagi Indonesia karena dalam beberapa hal sistem pendidikan yang berlaku di Finlandia memiliki karakteristik berbeda dengan Indonesia. Idealnya, benchmarking perlu dimaknai sebagai belanja ide untuk melahirkan kebijakan relevan dengan situasi yang ada di negara kita. Menjadikan Finlandia sebagai benchmarking artinya berupaya mendalami karakteristik pendidikan Finlandia secara komprehensif dan pada saat yang sama mengenali situasi yang ada di dalam negeri kita sendiri. Dari situ nanti akan diperoleh pemilahan aspek yang mungkin dan tidak mungkin untuk melakukan adopsi serta adaptasi dalam pendidikan kita. Patut dipikirkan apa yang yang disampaikan Goldstein (2004) ketika mengkritisi program Education For All (EFA) yang digagas UNESCO bahwa setiap sistem pendidikan dalam suatu negara bisa saja berkembang mengikuti dinamika global, namun yang lebih penting adalah memberikan porsi lebih besar pada konteks dan budaya lokal.
Kemudian langkah fundamental yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengkaji ulang regulasi terkait pendidikan nasional mulai dari Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta seluruh regulasi turunannya di tingkat pusat maupun pemerintah daerah. Jika ini berhasil dilakukan, maka benchmarking menjanjikan perubahan positif bagi kualitas pendidikan di negara kita.
Sebaliknya, terciptanya pendidikan relevan dengan masa depan akan menjadi utopia belaka jika benchmarking hanya dimaknai sebagai upaya menduplikasi praktik-praktik yang dilakukan Finlandia karena terobsesi hasil bagus yang diperoleh negara tersebut.
Jadi, pemerintah memang berwenang mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan yang relevan dengan perubahan di masa depan. Benchmarking sistem pendidikan negara lain menjanjikan peningkatan kualitas pendidikan kita jika dilandasi pemahaman utuh terhadap seluruh elemen terkait sistem pendidikan negara itu maupun situasi internal pendidikan negara kita sendiri. Wallaahualam.
(ras)
tulis komentar anda