Melihat Agama sebagai Warisan Kultural dari Sudut Pandang Denny JA
Kamis, 30 Maret 2023 - 08:36 WIB
Ditambahkan bahwa saat ini kita memang membutuhkan pikiran keagamaan yang berpijak pada riset keilmuan karena zaman sudah berubah dan nyaris seluruhnya bertumpu pada sains. Kalau tidak begitu maka agama akan tertinggal di belakang dan Denny JA, lanjut Gaus, sudah memulai tradisi itu.
Gaus menjelaskan Denny JA berbeda dengan para saintis pada umumnya. Mereka itu kalau sudah bertemu agama justru menjadi konservatif. Segala sesuatu ingin diagamakan. Berlakulah agamanisasi ruang publik. Dari soal makanan, pakaian, hiburan, tempat wisata, sampai soal karya seni seperti patung harus sesuai dengan syariah. Tentu saja maksudnya syariah versi mereka sendiri. Bahkan perkembangan sains ingin ditundukkan pada syariah. Muncullah islamisasi ilmu.
Sementara Denny berpikir sebaliknya. Agama pun tunduk pada hukum perubahan. Agama-agama akan bertahan kalau mereka mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan. Begitu juga iman. Ia harus berbasis pada riset jika hendak bertahan.
Iman secara konvensional memang didasarkan pada keyakinan. Karena itu selama ribuan tahun orang meyakini bahwa tempat agama ialah di dalam hati. Namun sekarang hal itu tidak cukup.
“Bagi Denny JA agama itu ada di dalam hati sekaligus di dalam kepala dan di pusat-pusat penelitian serta laboratorium. Agama butuh penjelasan yang memadai. Kalau tidak, ia akan sangat rapuh. Dan penjelasan itu berasal dari riset-riset keilmuan yang kini dengan mudah dapat ditemui di internet. Keaslian kitab suci, keotentikan kisah para nabi, bahkan klaim kebenaran setiap tradisi keimanan, dapat diuji di hadapan berbagai temuan sejarah, filologi, antropologi, arkeologi, dll,” tegasnya.
Gaus juga menyebut Denny JA sebagai seorang Rumian, yaitu pengikut Jalaluddin Rumi karena pikiran-pikirannya banyak dipengaruhi oleh ulama, penyair, sufi Persia dari abad ke-13 tersebut.
Setelah membaca dan menelaah hasil-hasil riset itu, kata Gaus, barulah kita tentukan apakah kita akan tetap beriman atau tidak? Pilihan berdasarkan kesadaran penuh sebagai manusia bebas itulah yang membuat keberimanan kita menjadi bermakna. Itulah yang dinamakan iman berbasis riset yang kini menjadi niscaya di era Google.
Mengenai Jalaluddin Rumi, Gaus membenarkan pandangan Denny JA bahwa tokoh sufi itu kini hidup kembali dan mendapatkan apresiasi yang luar biasa di dunia barat. Acara peringatan 800 tahun Rumi beberapa tahun lalu diadakan di seluruh dunia dengan gegap gempita termasuk di Indonesia.
Gaus menjelaskan Denny JA berbeda dengan para saintis pada umumnya. Mereka itu kalau sudah bertemu agama justru menjadi konservatif. Segala sesuatu ingin diagamakan. Berlakulah agamanisasi ruang publik. Dari soal makanan, pakaian, hiburan, tempat wisata, sampai soal karya seni seperti patung harus sesuai dengan syariah. Tentu saja maksudnya syariah versi mereka sendiri. Bahkan perkembangan sains ingin ditundukkan pada syariah. Muncullah islamisasi ilmu.
Sementara Denny berpikir sebaliknya. Agama pun tunduk pada hukum perubahan. Agama-agama akan bertahan kalau mereka mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan. Begitu juga iman. Ia harus berbasis pada riset jika hendak bertahan.
Iman secara konvensional memang didasarkan pada keyakinan. Karena itu selama ribuan tahun orang meyakini bahwa tempat agama ialah di dalam hati. Namun sekarang hal itu tidak cukup.
“Bagi Denny JA agama itu ada di dalam hati sekaligus di dalam kepala dan di pusat-pusat penelitian serta laboratorium. Agama butuh penjelasan yang memadai. Kalau tidak, ia akan sangat rapuh. Dan penjelasan itu berasal dari riset-riset keilmuan yang kini dengan mudah dapat ditemui di internet. Keaslian kitab suci, keotentikan kisah para nabi, bahkan klaim kebenaran setiap tradisi keimanan, dapat diuji di hadapan berbagai temuan sejarah, filologi, antropologi, arkeologi, dll,” tegasnya.
Gaus juga menyebut Denny JA sebagai seorang Rumian, yaitu pengikut Jalaluddin Rumi karena pikiran-pikirannya banyak dipengaruhi oleh ulama, penyair, sufi Persia dari abad ke-13 tersebut.
Setelah membaca dan menelaah hasil-hasil riset itu, kata Gaus, barulah kita tentukan apakah kita akan tetap beriman atau tidak? Pilihan berdasarkan kesadaran penuh sebagai manusia bebas itulah yang membuat keberimanan kita menjadi bermakna. Itulah yang dinamakan iman berbasis riset yang kini menjadi niscaya di era Google.
Mengenai Jalaluddin Rumi, Gaus membenarkan pandangan Denny JA bahwa tokoh sufi itu kini hidup kembali dan mendapatkan apresiasi yang luar biasa di dunia barat. Acara peringatan 800 tahun Rumi beberapa tahun lalu diadakan di seluruh dunia dengan gegap gempita termasuk di Indonesia.
Lihat Juga :
tulis komentar anda