Melihat Agama sebagai Warisan Kultural dari Sudut Pandang Denny JA

Kamis, 30 Maret 2023 - 08:36 WIB
loading...
Melihat Agama sebagai Warisan Kultural dari Sudut Pandang Denny JA
Penulis Ahmad Gaus yang menjadi narasumber dalam diskusi dan bedah buku karya terbarunya berjudul Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google di Rumi Cafe Jakarta Selatan, Rabu 29 Maret 2
A A A
JAKARTA - Saat ini terdapat 4.300 agama yang dipeluk oleh 8 miliar penduduk di dunia. Dengan bantuan mesin pencari Google, kita dapat mengetahui betapa praktik agama dan keyakinan setiap komunitas itu bukan saja berbeda tapi juga bertentangan antara satu dengan yang lainnya.

Ada dua cara bagaimana kita memperlakukan agama sebanyak itu di era Google sekarang ini. Pertama, agama diperlakukan sebagai kebenaran mutlak. Kedua, agama diperlakukan sebagai warisan kultural milik bersama umat manusia.

Baca juga:

“Denny JA menawarkan cara yang kedua, untuk terbangunnya kehidupan yang damai dan harmonis,” ujar Penulis Ahmad Gaus yang menjadi narasumber dalam diskusi dan bedah buku karya terbarunya berjudul “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google” di Rumi Cafe Jakarta Selatan, Rabu 29 Maret 2023.

Diskusi tersebut dihadiri oleh puluhan orang dari beragam latar belakang, seperti mahasiswa, tokoh agama, sastrawan dan wartawan. Berbeda dari diskusi buku pada umumnya, diskusi tersebut semakin hangat dengan diwarnai oleh pembacaan puisi serta tarian sufi dan diakhiri dengan buka puasa bersama.

Pada kesempatan tersebut, Gaus mengaku ia menulis buku tentang pemikiran Denny JA tersebut lantaran dirinya melihat hal yang tidak biasa, semacam inovasi, atau dulu lazim disebut pembaruan pemikiran agama.

Ia juga mencermati karya-karya Denny JA sampai akhirnya menemukan benang merah. Betapa agama memiliki gema yang berbeda jika dikatakan oleh seorang ilmuwan sosial yang terbiasa dengan data dan riset kuantitatif.

Pemikiran Denny JA bahwa agama merupakan warisan kultural milik bersama umat manusia, menurut Gaus, merupakan temuan yang sangat jenius. Ini menjadi jalan keluar dari kebuntuan teologi yang selama ini mempersepsi agama sebagai kebenaran mutlak. Pandangan teologis inilah yang telah menyumbang pada kekerasan berdarah sepanjang sejarah.

“Denny JA bukan ulama, bukan sufi, bukan ustaz, bahkan tidak punya latar belakang pendidikan pesantren. Ia tidak bicara soal hukum, halal dan haram dalam syariah. Ia bicara aspek sosiologis dari keberagamaan. Ia mengangkat fakta-fakta empirik yang terjadi di dunia Muslim. Dan ini menarik. Terlebih lagi pikiran-pikirannya bernas karena didukung oleh hasil-hasil riset mutakhir,” jelas Gaus.

Ditambahkan bahwa saat ini kita memang membutuhkan pikiran keagamaan yang berpijak pada riset keilmuan karena zaman sudah berubah dan nyaris seluruhnya bertumpu pada sains. Kalau tidak begitu maka agama akan tertinggal di belakang dan Denny JA, lanjut Gaus, sudah memulai tradisi itu.

Gaus menjelaskan Denny JA berbeda dengan para saintis pada umumnya. Mereka itu kalau sudah bertemu agama justru menjadi konservatif. Segala sesuatu ingin diagamakan. Berlakulah agamanisasi ruang publik. Dari soal makanan, pakaian, hiburan, tempat wisata, sampai soal karya seni seperti patung harus sesuai dengan syariah. Tentu saja maksudnya syariah versi mereka sendiri. Bahkan perkembangan sains ingin ditundukkan pada syariah. Muncullah islamisasi ilmu.

Sementara Denny berpikir sebaliknya. Agama pun tunduk pada hukum perubahan. Agama-agama akan bertahan kalau mereka mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan. Begitu juga iman. Ia harus berbasis pada riset jika hendak bertahan.

Iman secara konvensional memang didasarkan pada keyakinan. Karena itu selama ribuan tahun orang meyakini bahwa tempat agama ialah di dalam hati. Namun sekarang hal itu tidak cukup.



“Bagi Denny JA agama itu ada di dalam hati sekaligus di dalam kepala dan di pusat-pusat penelitian serta laboratorium. Agama butuh penjelasan yang memadai. Kalau tidak, ia akan sangat rapuh. Dan penjelasan itu berasal dari riset-riset keilmuan yang kini dengan mudah dapat ditemui di internet. Keaslian kitab suci, keotentikan kisah para nabi, bahkan klaim kebenaran setiap tradisi keimanan, dapat diuji di hadapan berbagai temuan sejarah, filologi, antropologi, arkeologi, dll,” tegasnya.

Gaus juga menyebut Denny JA sebagai seorang Rumian, yaitu pengikut Jalaluddin Rumi karena pikiran-pikirannya banyak dipengaruhi oleh ulama, penyair, sufi Persia dari abad ke-13 tersebut.

Setelah membaca dan menelaah hasil-hasil riset itu, kata Gaus, barulah kita tentukan apakah kita akan tetap beriman atau tidak? Pilihan berdasarkan kesadaran penuh sebagai manusia bebas itulah yang membuat keberimanan kita menjadi bermakna. Itulah yang dinamakan iman berbasis riset yang kini menjadi niscaya di era Google.

Mengenai Jalaluddin Rumi, Gaus membenarkan pandangan Denny JA bahwa tokoh sufi itu kini hidup kembali dan mendapatkan apresiasi yang luar biasa di dunia barat. Acara peringatan 800 tahun Rumi beberapa tahun lalu diadakan di seluruh dunia dengan gegap gempita termasuk di Indonesia.



"Sementara hari kematiannya diperingati setiap tahun dengan membaca puisi-puisi karya Rumi dan membawakan tarian Sema (Whirling Dervishes) atau tarian berputar yang merupakan warisan Rumi," katanya.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2061 seconds (0.1#10.140)