Pengamat Sebut Gerakan Boikot Pajak Tak Akan Berjalan
Senin, 06 Maret 2023 - 13:04 WIB
JAKARTA - Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono memprediksi gerakan boikot bayar pajak tidak akan berjalan mulus. Prediksi itu berdasarkan beberapa alasan.
"Saya melihat imbauan atau hashtag untuk aksi boikot pajak itu tidak mungkin terlaksana secara mulus atau mendapatkan sambutan positif dari masyarakat luas," ujar Prianto dalam keterangannya, Senin (6/3/2023).
Pertama, kata Prianto, sikap masyarakat yang mendorong aksi tolak bayar pajak merupakan bentuk kekecewaan atas perilaku oknum pejabat pajak. Kekecewaan itu kemudian dilampiaskan di media sosial.
Kedua, basis perpajakan dalam negeri sudah bergeser dari Pajak Penghasilan (PPh) ke Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan ini menyebabkan pajak menempel di transaksi.
"Dengan kata lain, setiap masyarakat atau perusahaan yang bertransaksi sudah pasti memunculkan pembayaran PPN. Jadi, pada dasarnya mereka sudah bayar pajak, khususnya pajak tidak langsung berupa PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang ada di transaksi konsumsi dalam negeri," jelas Prianto.
Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI) ini juga menjelaskan harga pembelian barang kebutuhan sehari-hari masyarakat di minimarket, departement store, atau e-commerce sudah pasti mencakup PPN. Konsumsi rokok yang mereka lakukan juga sudah pasti mencakup cukai rokok yang juga merupakan pajak tidak langsung.
Berikutnya, kata Prianto, pajak atas penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja sudah pasti telah dipotong, disetor, dan dilapor ke kas negara. Penghasilan perusahaan dari jasa juga sudah pasti dipotong PPh oleh pemberi penghasilan.
Perusahaan juga secara umum menyetorkan angsuran PPh bulanan (PPh 25). Pembayaran PPh akhir tahun hanya berkaitan PPh kurang bayar yang tersisa.
"Saya melihat imbauan atau hashtag untuk aksi boikot pajak itu tidak mungkin terlaksana secara mulus atau mendapatkan sambutan positif dari masyarakat luas," ujar Prianto dalam keterangannya, Senin (6/3/2023).
Pertama, kata Prianto, sikap masyarakat yang mendorong aksi tolak bayar pajak merupakan bentuk kekecewaan atas perilaku oknum pejabat pajak. Kekecewaan itu kemudian dilampiaskan di media sosial.
Kedua, basis perpajakan dalam negeri sudah bergeser dari Pajak Penghasilan (PPh) ke Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan ini menyebabkan pajak menempel di transaksi.
"Dengan kata lain, setiap masyarakat atau perusahaan yang bertransaksi sudah pasti memunculkan pembayaran PPN. Jadi, pada dasarnya mereka sudah bayar pajak, khususnya pajak tidak langsung berupa PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang ada di transaksi konsumsi dalam negeri," jelas Prianto.
Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI) ini juga menjelaskan harga pembelian barang kebutuhan sehari-hari masyarakat di minimarket, departement store, atau e-commerce sudah pasti mencakup PPN. Konsumsi rokok yang mereka lakukan juga sudah pasti mencakup cukai rokok yang juga merupakan pajak tidak langsung.
Berikutnya, kata Prianto, pajak atas penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja sudah pasti telah dipotong, disetor, dan dilapor ke kas negara. Penghasilan perusahaan dari jasa juga sudah pasti dipotong PPh oleh pemberi penghasilan.
Perusahaan juga secara umum menyetorkan angsuran PPh bulanan (PPh 25). Pembayaran PPh akhir tahun hanya berkaitan PPh kurang bayar yang tersisa.
tulis komentar anda