Berjeda Cerita
Rabu, 01 Maret 2023 - 08:37 WIB
Keinginan sibuk bersastra diusahakan dengan kelas-kelas kecil di Pare. Di situ, ada jena dinamakan Kelas Bahasa Indonesia dengan kebiasaan keseharian: membaca, bercakap, dan menulis. Buku-buku sastra digunakan sebagai acuan. Kelas Bahasa Indonesia diadakan sejak 2012 itu digenapi dengan membuat acara-acara obrolan mengundang para pengarang dari pelbagai kota. Kehadiran para pengarang dan buku-buku baru memungkinkan sastra terus bertumbuh di Pare.
Kelas Bahasa Indonesia menghasilkan buletin dan buku. Pada 2022, terbit buku berjudul Menjelang Kadjang dan Cerita Lainnya. Buku memuat cerita-cerita ditulis Fildzah SNF, Indi Irawan, Nayla Fitri, Rena Yanita S, Uun Nurcahyanti, dan Yulia Tan. Nama-nama mereka bakal susah ditemukan dalam perkembangan sastra di Indonesia.
Mereka tak bernafsu menjadi pengarang tapi gandrung sastra. Mereka bertemu gara-gara bahasa Inggris. Di Pare, pertemuan dan percakapan tak mau sia-sia. Mereka sadar sebagai pembaca buku-buku sastra. Janji kecil diadakan agar pertemuan itu langgeng. Mereka pun menulis cerita-cerita.
Mereka mendatangi kita dengan cerita-cerita sederhana. Kita mulai mengutip cerita berjudul “Bermesraan” gubahan Nayla Fitri. Ia mengisahkan perempuan dalam sibuk dan “kutukan” kota. Kita mudah menduga nasib perempuan bekerja dan dilelahkan oleh kota. Nayla Fitri berusaha menghindari klise dengan mengulang kalimat: “Kapan terakhir kali bermesraan?” Kita tak boleh sembarangan menebak itu urusan asmara.
Nayla Fitri menulis: “Kota pun menjadi oksigen baru bagi gadis itu… Oksigen yang menjadikan uang dan karir sebagai senyawa utama dalam hidupnya.” Ia menantang ketetapan publik bahwa kota itu tempat pesta polusi. Oksigen terlalu diimpikan di kota. Di ujung, ia mengelak bermesraan itu asmara lelaki-perempuan. Nayla Fitri agak berhasil mengecoh dengan kerinduan: “Bermesraan dengan alam, berbincang dengan angin, mendengarkan kikik jangkrik.” Cerita mengenai perbedaan kota dan desa. Kita mudah mengerti.
Kita berpindah ke cerita berjudul “Turun Tanah” gubahan Indi Irawan. Ia menggunakan latar desa. Keluarga sederhana dan anjing. kebersamaan dalam keseharian berubah dengan kematian anjing. Kita justru tergoda menikmati kejadian wajar di desa.
Indi Irawan mengisahkan: “Emak masih dengan lesung di dapur menyiapkan bumbu tumis pakis sambil melirik tanakan nasi di tungku yang berada di hadapannya. Hari ini, aku, ayah, dan Blaki, anjing hitam kami, akan ke kebun menunaikan ibadah yang telah lama dinanti. Berbekal nasi dan sayur pakis kami berangkat. Semak kami babat untuk merintis jalan. Saat itu langit masih kelam dan ayah telah berada di pucuk pohon pete.”
Penceritaan panen pete itu “menaruh” pembaca ke kebun hijau dan menakjubkan. Kita terbiasa bersantap nasi dengan pete bakal mendapat kesan-kesan pengalaman saat ikut “memandang” bapak memanen pete. Tokoh “aku” dan anjing di bawah menjadi penangkap pete. Kejadian itu diharapkan sukacita. Kita tak sedang dimanjakan dengan kelezatan pete tapi hubungan tokoh aku dan anjing. Pada suatu hari, anjing itu dikubur di tanah, tak lagi bersama untuk panen pete. Indi Irawan tak tergesa membuat pembaca dirundung haru.
Dua cerita sederhana itu disusul cerita agak kontemplatif gubahan Uun Nurcahyanti berjudul “Kediaman”. Ia mengurusi waktu dengan kalimat-kalimat dimuat dalam buku cuma dua halaman. Pertimbangan “singkat” dan “padat” menjadikan pembuatan kalimat lumrah puitis. Cerita memerlukan pembacaan lambat. Uun Nurcahyanti menulis: “Januari berdiam di tempatnya, lanjutku, manusialah yang mengangkat dan mengangkut peristiwa.”
Ia memasalahkan manusia dan waktu. Pembahasan atas waktu biasa dengan nama-nama bulan, selain nama-nama hari. Waktu itu berurutan. Uun Nurcahyanti mencoba menjadikan waktu “kepemilikan” tanpa kepastian waktu terus berlalu. Kalimat terakhir: “Pelan, kumasuki Februari yang telah dhuha seraya menggenggam Januari semakin erat.”
Kelas Bahasa Indonesia menghasilkan buletin dan buku. Pada 2022, terbit buku berjudul Menjelang Kadjang dan Cerita Lainnya. Buku memuat cerita-cerita ditulis Fildzah SNF, Indi Irawan, Nayla Fitri, Rena Yanita S, Uun Nurcahyanti, dan Yulia Tan. Nama-nama mereka bakal susah ditemukan dalam perkembangan sastra di Indonesia.
Mereka tak bernafsu menjadi pengarang tapi gandrung sastra. Mereka bertemu gara-gara bahasa Inggris. Di Pare, pertemuan dan percakapan tak mau sia-sia. Mereka sadar sebagai pembaca buku-buku sastra. Janji kecil diadakan agar pertemuan itu langgeng. Mereka pun menulis cerita-cerita.
Mereka mendatangi kita dengan cerita-cerita sederhana. Kita mulai mengutip cerita berjudul “Bermesraan” gubahan Nayla Fitri. Ia mengisahkan perempuan dalam sibuk dan “kutukan” kota. Kita mudah menduga nasib perempuan bekerja dan dilelahkan oleh kota. Nayla Fitri berusaha menghindari klise dengan mengulang kalimat: “Kapan terakhir kali bermesraan?” Kita tak boleh sembarangan menebak itu urusan asmara.
Nayla Fitri menulis: “Kota pun menjadi oksigen baru bagi gadis itu… Oksigen yang menjadikan uang dan karir sebagai senyawa utama dalam hidupnya.” Ia menantang ketetapan publik bahwa kota itu tempat pesta polusi. Oksigen terlalu diimpikan di kota. Di ujung, ia mengelak bermesraan itu asmara lelaki-perempuan. Nayla Fitri agak berhasil mengecoh dengan kerinduan: “Bermesraan dengan alam, berbincang dengan angin, mendengarkan kikik jangkrik.” Cerita mengenai perbedaan kota dan desa. Kita mudah mengerti.
Kita berpindah ke cerita berjudul “Turun Tanah” gubahan Indi Irawan. Ia menggunakan latar desa. Keluarga sederhana dan anjing. kebersamaan dalam keseharian berubah dengan kematian anjing. Kita justru tergoda menikmati kejadian wajar di desa.
Indi Irawan mengisahkan: “Emak masih dengan lesung di dapur menyiapkan bumbu tumis pakis sambil melirik tanakan nasi di tungku yang berada di hadapannya. Hari ini, aku, ayah, dan Blaki, anjing hitam kami, akan ke kebun menunaikan ibadah yang telah lama dinanti. Berbekal nasi dan sayur pakis kami berangkat. Semak kami babat untuk merintis jalan. Saat itu langit masih kelam dan ayah telah berada di pucuk pohon pete.”
Penceritaan panen pete itu “menaruh” pembaca ke kebun hijau dan menakjubkan. Kita terbiasa bersantap nasi dengan pete bakal mendapat kesan-kesan pengalaman saat ikut “memandang” bapak memanen pete. Tokoh “aku” dan anjing di bawah menjadi penangkap pete. Kejadian itu diharapkan sukacita. Kita tak sedang dimanjakan dengan kelezatan pete tapi hubungan tokoh aku dan anjing. Pada suatu hari, anjing itu dikubur di tanah, tak lagi bersama untuk panen pete. Indi Irawan tak tergesa membuat pembaca dirundung haru.
Dua cerita sederhana itu disusul cerita agak kontemplatif gubahan Uun Nurcahyanti berjudul “Kediaman”. Ia mengurusi waktu dengan kalimat-kalimat dimuat dalam buku cuma dua halaman. Pertimbangan “singkat” dan “padat” menjadikan pembuatan kalimat lumrah puitis. Cerita memerlukan pembacaan lambat. Uun Nurcahyanti menulis: “Januari berdiam di tempatnya, lanjutku, manusialah yang mengangkat dan mengangkut peristiwa.”
Ia memasalahkan manusia dan waktu. Pembahasan atas waktu biasa dengan nama-nama bulan, selain nama-nama hari. Waktu itu berurutan. Uun Nurcahyanti mencoba menjadikan waktu “kepemilikan” tanpa kepastian waktu terus berlalu. Kalimat terakhir: “Pelan, kumasuki Februari yang telah dhuha seraya menggenggam Januari semakin erat.”
Lihat Juga :
tulis komentar anda