Berjeda Cerita

Rabu, 01 Maret 2023 - 08:37 WIB
loading...
Berjeda Cerita
Berjeda Cerita
A A A
Bandung Mawardi
Saudagar buku dan tukang kliping

PAREbiasa diingat saat kaum terpelajar membaca buku-buku Clifford Geertz dan Hildred Geertz. Di halaman-halaman buku mula-mula berbahasa Inggris, orang diajak “mengunjungi” tempat dinamakan “Mojokuto”. Penulisan tempat memang menggunakan nama samaran.

Pada suatu masa, buku-buku diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Jumlah pembaca bertambah untuk mengetahui masalah agama, politik, keluarga, pasar, atau seni mengarah alamat di Jawa Timur. Sekian orang perlahan mengerti itu Pare.

Dulu, orang-orang membaca Pare dalam tulisan-tulisan para peneliti berasal dari Amerika Serikat. Mereka cermat dalam pembuatan catatan-catatan atas segala hal penting di Pare. Para intelektual itu menulis dengan apik. Kita membaca dalam bahasa Inggris dan Indonesia mungkin iri. Penjelasan dan pengisahan tentang Pare disampaikan orang-orang asing tapi “mengerti” Jawa dan Indonesia.

Pada suatu masa, Pare moncer gara-gara bahasa Inggris. Di sana, ribuan orang hadir untuk mengalami hari-hari berbahasa Inggris. Ratusan kursus bahasa Inggris berada di Pare. Kedatangan ribuan pelajar, guru, mahasiswa, dan dosen dari pelbagai kota dan desa perlahan memberi pengesahan Pare dicap sebagai “Kampung Inggris”.

Pare makin ramai. Kita mengandaikan Pare memang pantas diramaikan dengan bahasa Inggris. Dulu, orang-orang berbahasa Inggris datang ke Pare untuk riset. Mereka terbiasa berbahasa Inggris tapi lekas mahir dalam menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia. Pare sebelum dinamakan “Kampung Inggris” didahului dengan kedatangan bahasa Inggris untuk misi kesarjanaan, puluhan tahun lalu.

Pada abad XXI, Pare sering menjadi berita berkaitan pengajaran atau kursus bahasa Inggris. Berita-berita mungkin menjemukan bila tak ada selingan. Kesibukan ribuan orang belajar bahasa Inggris mendapat selingan atau jeda dengan sastra. Sekian tahun lalu, ikhtiar meramaikan sastra di Pare dilakukan dengan perpustakaan dan diskusi-diskusi.

Pemandangan orang membaca novel atau membaca puisi tampak unik ketimbang melihat orang-orang selalu berurusan dengan kamus-kamus dan buku-buku pelajaran bahasa Inggris. Diskusi mengacu tokoh-tokoh dan buku-buku sastra agak menghindarkan dari jam-jam melulu bahasa Inggris.

Keinginan sibuk bersastra diusahakan dengan kelas-kelas kecil di Pare. Di situ, ada jena dinamakan Kelas Bahasa Indonesia dengan kebiasaan keseharian: membaca, bercakap, dan menulis. Buku-buku sastra digunakan sebagai acuan. Kelas Bahasa Indonesia diadakan sejak 2012 itu digenapi dengan membuat acara-acara obrolan mengundang para pengarang dari pelbagai kota. Kehadiran para pengarang dan buku-buku baru memungkinkan sastra terus bertumbuh di Pare.

Kelas Bahasa Indonesia menghasilkan buletin dan buku. Pada 2022, terbit buku berjudul Menjelang Kadjang dan Cerita Lainnya. Buku memuat cerita-cerita ditulis Fildzah SNF, Indi Irawan, Nayla Fitri, Rena Yanita S, Uun Nurcahyanti, dan Yulia Tan. Nama-nama mereka bakal susah ditemukan dalam perkembangan sastra di Indonesia.

Mereka tak bernafsu menjadi pengarang tapi gandrung sastra. Mereka bertemu gara-gara bahasa Inggris. Di Pare, pertemuan dan percakapan tak mau sia-sia. Mereka sadar sebagai pembaca buku-buku sastra. Janji kecil diadakan agar pertemuan itu langgeng. Mereka pun menulis cerita-cerita.

Mereka mendatangi kita dengan cerita-cerita sederhana. Kita mulai mengutip cerita berjudul “Bermesraan” gubahan Nayla Fitri. Ia mengisahkan perempuan dalam sibuk dan “kutukan” kota. Kita mudah menduga nasib perempuan bekerja dan dilelahkan oleh kota. Nayla Fitri berusaha menghindari klise dengan mengulang kalimat: “Kapan terakhir kali bermesraan?” Kita tak boleh sembarangan menebak itu urusan asmara.

Nayla Fitri menulis: “Kota pun menjadi oksigen baru bagi gadis itu… Oksigen yang menjadikan uang dan karir sebagai senyawa utama dalam hidupnya.” Ia menantang ketetapan publik bahwa kota itu tempat pesta polusi. Oksigen terlalu diimpikan di kota. Di ujung, ia mengelak bermesraan itu asmara lelaki-perempuan. Nayla Fitri agak berhasil mengecoh dengan kerinduan: “Bermesraan dengan alam, berbincang dengan angin, mendengarkan kikik jangkrik.” Cerita mengenai perbedaan kota dan desa. Kita mudah mengerti.

Kita berpindah ke cerita berjudul “Turun Tanah” gubahan Indi Irawan. Ia menggunakan latar desa. Keluarga sederhana dan anjing. kebersamaan dalam keseharian berubah dengan kematian anjing. Kita justru tergoda menikmati kejadian wajar di desa.

Indi Irawan mengisahkan: “Emak masih dengan lesung di dapur menyiapkan bumbu tumis pakis sambil melirik tanakan nasi di tungku yang berada di hadapannya. Hari ini, aku, ayah, dan Blaki, anjing hitam kami, akan ke kebun menunaikan ibadah yang telah lama dinanti. Berbekal nasi dan sayur pakis kami berangkat. Semak kami babat untuk merintis jalan. Saat itu langit masih kelam dan ayah telah berada di pucuk pohon pete.”

Penceritaan panen pete itu “menaruh” pembaca ke kebun hijau dan menakjubkan. Kita terbiasa bersantap nasi dengan pete bakal mendapat kesan-kesan pengalaman saat ikut “memandang” bapak memanen pete. Tokoh “aku” dan anjing di bawah menjadi penangkap pete. Kejadian itu diharapkan sukacita. Kita tak sedang dimanjakan dengan kelezatan pete tapi hubungan tokoh aku dan anjing. Pada suatu hari, anjing itu dikubur di tanah, tak lagi bersama untuk panen pete. Indi Irawan tak tergesa membuat pembaca dirundung haru.

Dua cerita sederhana itu disusul cerita agak kontemplatif gubahan Uun Nurcahyanti berjudul “Kediaman”. Ia mengurusi waktu dengan kalimat-kalimat dimuat dalam buku cuma dua halaman. Pertimbangan “singkat” dan “padat” menjadikan pembuatan kalimat lumrah puitis. Cerita memerlukan pembacaan lambat. Uun Nurcahyanti menulis: “Januari berdiam di tempatnya, lanjutku, manusialah yang mengangkat dan mengangkut peristiwa.”

Ia memasalahkan manusia dan waktu. Pembahasan atas waktu biasa dengan nama-nama bulan, selain nama-nama hari. Waktu itu berurutan. Uun Nurcahyanti mencoba menjadikan waktu “kepemilikan” tanpa kepastian waktu terus berlalu. Kalimat terakhir: “Pelan, kumasuki Februari yang telah dhuha seraya menggenggam Januari semakin erat.”

Kita mendapat cerita ingin menguatkan penokohan terdapat dalam gubahan Rena Yanita. Ia masih coba-coba dalam bercerita tapi tampak ingin mementingkan penokohan. Kita membaca cerita berjudul “Sisir dan Keintelektualan”. Rena memilih cepat mendefinisikan tokoh tanpa rentetan gejolak dan peristiwa.

Kita dikenalkan dengan tokoh: “Dia bukan lelaki berbuku dan bersepatu. Dia laki-laki yang berpeluh dengan matahari dan hujan. Laki-laki yang hanya punya satu hobi: bekerja. Saat berkenalan denganku, dia bilang, hidupnya jadi bergairah dan berwarna. Cerita yang kusuguhkan menjadi minuman segar. Aku bangga, tak banyak laki-laki yang bisa menghargai wanita banyak kata.” Perkenalan singkat berharap pembaca gampang mengenali lelaki dan perempuan dalam cerita. Kecerewetan tak diperlukan.

Cerita-cerita persembahan lima pengarang tak harus mendapat catatan (kritis) berselera HB Jassin. Pada masa lalu, tokoh itu biasa melakukan pemilihan dan pemberian catatan atas cerita-cerita. Ia berperan sebagai redaktur dan kritikus sastra. Ia pun menjadi dokumentator. Hal terpenting tentu menjadikan buku berjudul Menjelang Kadjang masuk koleksi dokumentasi untuk mengerti sastra bertumbuh di Pare. Kita belum perlu melakukan penilaian ketat atas kehadiran buku sederhana dari pengarang-pengarang sibuk mengurusi bahasa Inggris.

Buku juga belum diharuskan mendapat tatapan akademik berselera Maman S Mahayana. Pada suatu masa, ia pernah sibuk dengan menilai dan menerangkan cerita pendek. Kita justru mengangguk saja atas pembuatan dan pemenuhan janji lima pengarang gara-gara bertemu di Pare. Mereka memilih “bermain-main” dengan cerita tanpa patokan-patokan untuk berhasil dimuat di koran, majalah, atau situs sastra. Cerita-cerita mereka dinikmati saja tanpa janji bakal dijadikan sasaran penilaian oleh mahasiswa menggarap skripsi atau diamati menggunakan selera kritik sastra dianut Maman S Mahayana.

Buku berjudul Menjelang Kadjang hadir tanpa dalih-dalih mengenai nasib halaman-halaman sastra di koran sedang “berdebar” atau pemuatan cerita-cerita di pelbagai situs sastra makin berlimpah. Lima orang menulis cerita-cerita. Buku pun terbit tanpa pengumuman berlebihan minta perhatian. Mereka sadar cerita-cerita itu tak usah berurusan dengan koran atau situs sastra. Cerita-cerita memilih “berjalan” menemui para pembaca-pembaca tak muluk dalam pamrih bersastra. Begitu.

Judul : Menjelang Kadjang dan Cerita Lainnya

Penulis : Fildzah SNF, Indi Irawan, Yulia Tan, Nayla Fitri,

Rena Yanita S, Uun Nurcahyanti

Penerbit : Mlaku, Pare

Cetak : 2022

Tebal : 180 halaman

QRCBN : 6212142324863
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.7907 seconds (0.1#10.140)