Kenangan-Kenangan yang Terpelihara
Senin, 27 Februari 2023 - 07:52 WIB
Yang abadi adalah perubahan, sekecil apa pun itu. Tidak perlu kaget menanggapi. Malah, tak jarang, kita harus mengingat kembali langkah apa yang telah kita tempuh. Pilihan-pilihan itu yang menentukan seberapa besar perubahan yang terjadi. Dan, semua wajar adanya.
“Kamu punya pilihan atas kebahagiaanmu. Jangan biarkan orang lain ikut campur.” (Amukan Badai, halaman 41-42). Begitu pula dengan pilihan untuk menerima apa yang hadir di depan mata. Takdir tidak bisa dihindari, tetapi kita bisa membuatnya menjadi kawan baik. Dengan membiarkan gelombang badai lewat begitu saja tanpa perlu kita bersusah payah menantangnya.
Memberi perlawanan hanya akan membuat kita habis. Hancur lebur. Dan, kehancuran juga terasa dalam cerpen Menanam Rumah. “Mereka tahu lebih mudah menanam rumah di sawah.” (Menanam Rumah, halaman 48)
Semesta selalu mencari titik keseimbangan. Tidak perlu waktu lama, jika ada yang berat sebelah atau berkurang jatahnya, aliran energi akan membuatnya kembali netral. Ibu Bhumi menjadi panas karena terlalu banyak beton di permukaan. Maka, ketika hujan turun, jutaan kubik air seolah-olah sedang diserahi tugas mendinginkan temperatur di permukaan.
Air memang kawan terbaik, tetapi jika jumlahnya terlalu banyak, siapa pun akan tenggelam. Laksmi―tokoh anak dalam cerpen tersebut―sampai perlu berandai-andai ada topan yang sanggup mencerabut beton-beton itu dari kulit Ibu Bhumi.
Ada satu cerita superpendek (flash fiction) yang terselip di antara tujuh belas judul yang tersaji. Cerita berjudul Reuni ini mungkin akan melempar kita ke masa-masa sekolah. Bagi saya sendiri, terkadang, dari cerita superpendek ini kita mendapat sesuatu yang superpanjang. Dan, reuni sendiri adalah cara termudah (mungkin juga―maaf―yang terjahanam) untuk mengubrak-abrik kotak kenangan. Bahkan, tali mati yang menyegel kotak-kotak itu dibuat tidak berdaya.
Tidak dimungkiri, manusia memang unik. Ada yang suka bermain-main dengan kenangan, ada yang sengaja menguburnya, meskipun tahu itu tindakan yang percuma. Sebab, sejatinya kenangan bukan untuk dilupakan. Kenangan, ya, untuk dikenang. Lebih bagus lagi jika bisa dirayakan dalam senyap.
Yang Tersimpan Rapi di Dalam
Pikiran kita akan selalu diramaikan dengan ingatan-ingatan. Apakah sudah mematikan kompor sebelum pergi? Apakah kemarin si sulung sudah menyampaikan titipan untuk Ibu Guru? Apakah tagihan air di bulan Maret 2019 sama dengan Maret 2020? Apakah dahulu Ibu pernah mengajak naik kereta ke Surabaya? Kenapa Ayah sengaja memarahi kita di depan teman-teman?
“Kamu punya pilihan atas kebahagiaanmu. Jangan biarkan orang lain ikut campur.” (Amukan Badai, halaman 41-42). Begitu pula dengan pilihan untuk menerima apa yang hadir di depan mata. Takdir tidak bisa dihindari, tetapi kita bisa membuatnya menjadi kawan baik. Dengan membiarkan gelombang badai lewat begitu saja tanpa perlu kita bersusah payah menantangnya.
Memberi perlawanan hanya akan membuat kita habis. Hancur lebur. Dan, kehancuran juga terasa dalam cerpen Menanam Rumah. “Mereka tahu lebih mudah menanam rumah di sawah.” (Menanam Rumah, halaman 48)
Semesta selalu mencari titik keseimbangan. Tidak perlu waktu lama, jika ada yang berat sebelah atau berkurang jatahnya, aliran energi akan membuatnya kembali netral. Ibu Bhumi menjadi panas karena terlalu banyak beton di permukaan. Maka, ketika hujan turun, jutaan kubik air seolah-olah sedang diserahi tugas mendinginkan temperatur di permukaan.
Air memang kawan terbaik, tetapi jika jumlahnya terlalu banyak, siapa pun akan tenggelam. Laksmi―tokoh anak dalam cerpen tersebut―sampai perlu berandai-andai ada topan yang sanggup mencerabut beton-beton itu dari kulit Ibu Bhumi.
Ada satu cerita superpendek (flash fiction) yang terselip di antara tujuh belas judul yang tersaji. Cerita berjudul Reuni ini mungkin akan melempar kita ke masa-masa sekolah. Bagi saya sendiri, terkadang, dari cerita superpendek ini kita mendapat sesuatu yang superpanjang. Dan, reuni sendiri adalah cara termudah (mungkin juga―maaf―yang terjahanam) untuk mengubrak-abrik kotak kenangan. Bahkan, tali mati yang menyegel kotak-kotak itu dibuat tidak berdaya.
Tidak dimungkiri, manusia memang unik. Ada yang suka bermain-main dengan kenangan, ada yang sengaja menguburnya, meskipun tahu itu tindakan yang percuma. Sebab, sejatinya kenangan bukan untuk dilupakan. Kenangan, ya, untuk dikenang. Lebih bagus lagi jika bisa dirayakan dalam senyap.
Yang Tersimpan Rapi di Dalam
Pikiran kita akan selalu diramaikan dengan ingatan-ingatan. Apakah sudah mematikan kompor sebelum pergi? Apakah kemarin si sulung sudah menyampaikan titipan untuk Ibu Guru? Apakah tagihan air di bulan Maret 2019 sama dengan Maret 2020? Apakah dahulu Ibu pernah mengajak naik kereta ke Surabaya? Kenapa Ayah sengaja memarahi kita di depan teman-teman?
tulis komentar anda