Perfilman Indonesia dan Gerakan Manikebu
Jum'at, 17 Februari 2023 - 12:01 WIB
Karena itu, apa yang dilakukan kubu “Mubes Nasakom” itu juga tidak disukai oleh kelompok Papfias. Menurut Papfias, Mubes Nasakom Penterapan Penpres Nomor I Tahun 1964” adalah “mubes” yang khusus diadakan untuk menimbulkan kekacauan opini umum mengenai perfilman umumnya, dan khususnya untuk menjegal pengaruh Papfias yang semakin kuat.
Intinya Papfias menyimpulkan bahwa penyelenggaraan “mubes Nasakom” itu adalah perbuatan yang munafik dan bertujuan menggerogoti pengertian-pengertian yang elementer tentang Nasakom. Menurut mereka, sesungguhnya tidak ada alasan untuk bermusyawarah-bermusyawarahan tentang Penpres Nomor I Tahun 1964 itu, karena sejak Penpres itu dikeluarkan tidak ada orang yang menentang dan mempersoalkan Penpres tersebut untuk diterapkan. Maka, bagi Papfias, me-mubes-kan penterapan Penpres tersebut adalah pekerjaan yang dicari-cari untuk dijadikan dalih bagi “Pameran Anti Nasakom”, anti persatuan nasional yang revolusioner dan anti-Papfias.
Kedua kelompok tersebut (Kelompok Mubes Nasakom dan Kelompok Papfias) sama-sama mengaku sebagai pendukung Presiden Sukarno. Keduanya sama-sama menganggap bahwa Penpres Nomor I tahun 1964 adalah sebuah peraturan perundang-undangan yang baik dan wajib dilaksanakan. Keduanya sam-sama anti kelompok lain, yaitu Kelompok Manikebu. Namun, antara keduanya tidak saling mendukung satu sama lain.
Belakangan, tepatnya tahun 1984, dalam salah satu bagian tulisannya, Seomardjono Demang Wiryokusumo, peserta “Mubes Nasakom” menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap Papfias. Katanya dalam tulisan itu, menurut “seorang tokoh film yang memiliki wawasan politik”, yang saya kira adalah dirinya sendiri, dikatakan bahwa menjelang peristiwa G 30 S/PKI muncul sebuah gerakan atau kelompok di bawah LEKRA yang menamakan diri Panitia Pusat Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (Papfias).
Munculnya Papfias ini, menurut Soemardjono, menghancurkan kubu-kubu film Amerika untuk digantikan dengan dominasi film dari blok Timur. Padahal, saat itu Indonesia masih melaksanakan kebijakan politik bebas-aktif. Akibat peristiwa itu, lanjutnya, struktur perbioskopan Indonesia ambruk dan hampir runtuh sama sekali. Siapa yang rugi, katanya bertanya.
Begitulah sekelumit persinggungan gerakan Manikebu dengan perfilman Indonesia. Gerakan itu sangat diperhitungkan dan hingga kini dikenang sebagai salah satu tonggak gerakan kebudayaan yang penting dalam sejarah kebudayaan di Indonesia.Adapun tentang aneka konflik yang pernah terjadi, biarlah semua itu menjadi bagian dari sejarah bangsa kita di masa lalu. Tak perlu ada saling dendam. Setiap bangsa punya kisah perjalanannya sendiri untuk mematangkan diri. Kini saatnya kita menatap masa depan dengan tantangan-tantangan baru yang bisa jadi lebih berat dibanding masa lalu...
Intinya Papfias menyimpulkan bahwa penyelenggaraan “mubes Nasakom” itu adalah perbuatan yang munafik dan bertujuan menggerogoti pengertian-pengertian yang elementer tentang Nasakom. Menurut mereka, sesungguhnya tidak ada alasan untuk bermusyawarah-bermusyawarahan tentang Penpres Nomor I Tahun 1964 itu, karena sejak Penpres itu dikeluarkan tidak ada orang yang menentang dan mempersoalkan Penpres tersebut untuk diterapkan. Maka, bagi Papfias, me-mubes-kan penterapan Penpres tersebut adalah pekerjaan yang dicari-cari untuk dijadikan dalih bagi “Pameran Anti Nasakom”, anti persatuan nasional yang revolusioner dan anti-Papfias.
Kedua kelompok tersebut (Kelompok Mubes Nasakom dan Kelompok Papfias) sama-sama mengaku sebagai pendukung Presiden Sukarno. Keduanya sama-sama menganggap bahwa Penpres Nomor I tahun 1964 adalah sebuah peraturan perundang-undangan yang baik dan wajib dilaksanakan. Keduanya sam-sama anti kelompok lain, yaitu Kelompok Manikebu. Namun, antara keduanya tidak saling mendukung satu sama lain.
Belakangan, tepatnya tahun 1984, dalam salah satu bagian tulisannya, Seomardjono Demang Wiryokusumo, peserta “Mubes Nasakom” menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap Papfias. Katanya dalam tulisan itu, menurut “seorang tokoh film yang memiliki wawasan politik”, yang saya kira adalah dirinya sendiri, dikatakan bahwa menjelang peristiwa G 30 S/PKI muncul sebuah gerakan atau kelompok di bawah LEKRA yang menamakan diri Panitia Pusat Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (Papfias).
Munculnya Papfias ini, menurut Soemardjono, menghancurkan kubu-kubu film Amerika untuk digantikan dengan dominasi film dari blok Timur. Padahal, saat itu Indonesia masih melaksanakan kebijakan politik bebas-aktif. Akibat peristiwa itu, lanjutnya, struktur perbioskopan Indonesia ambruk dan hampir runtuh sama sekali. Siapa yang rugi, katanya bertanya.
Begitulah sekelumit persinggungan gerakan Manikebu dengan perfilman Indonesia. Gerakan itu sangat diperhitungkan dan hingga kini dikenang sebagai salah satu tonggak gerakan kebudayaan yang penting dalam sejarah kebudayaan di Indonesia.Adapun tentang aneka konflik yang pernah terjadi, biarlah semua itu menjadi bagian dari sejarah bangsa kita di masa lalu. Tak perlu ada saling dendam. Setiap bangsa punya kisah perjalanannya sendiri untuk mematangkan diri. Kini saatnya kita menatap masa depan dengan tantangan-tantangan baru yang bisa jadi lebih berat dibanding masa lalu...
(wur)
tulis komentar anda