Perfilman Indonesia dan Gerakan Manikebu
Jum'at, 17 Februari 2023 - 12:01 WIB
Kemala Atmojo, Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Akhir bulan depan, tepatnya 30 Maret, akan diperingati Hari Film Nasional ke-73. Penetapan 30 Maret sebagai Hari Film Nasional ini berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 tahun 1999, yang mana pada tangal tersebut 30 Maret 1950 adalah untuk pertama kalinya sebuah film diproduksi oleh perusahaan Indonesia dan disutradarai oleh orang Indonesia. Biasanya banyak kegiatan yang dilakukan insan perfilman Indonesia untuk memperingati hari film tersebut.
Usaha membaca perjalanan sejarah perfilman Indonesia memang bisa dari beberapa sudut pandang. Dari sisi politikkah atau dari sudut estetika. Juga pada periode kapan sebuah analisis dimulai dan diakhiri. Pada masa awal kemerdekaan, pada masa Orde Lama, Orde Baru, sesudah Reformasi, dan seterusnya.
Tulisan ini sekadar mengisahkan sepenggal peristiwa sosial-politik yang ikut mewarnai perjalanan perfilman Indonesia, yakni Manifes Kebudayaan (Manikebu). Gerakan ini punya pengaruh dan diperhitungkan dalam sejarah politik kebudayaan kita saat itu, termasuk perfilman Indonesia.
Manifes Kebudayaan adalah gerakan kebudayaan yang mengusung humanisme universal. Mereka menolak kebebasan berekspresi dikorbankan untuk perjuangan politik. Gerakan ini diprakarsai oleh H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin (Arief Budiman), D.S Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Gerson Poyk ,Taufiq Ismail, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar dan Boen S. Oemarjati.
Gerakan ini merupakan respon dari teror-teror dalam ranah budaya yang dilancarkan oleh orang-orang yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Dalam surat kabar Berita Republik tahun 1963 dimuat teks Manifes Kebudayaan yang ditanda tangani pada 17 Agustus 1963 itu.
Bunyinya: “Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami. Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaa lain.
Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya. Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.”
Lalu apa kaitannya dengan dunia perfilman kita? Dalam laporan Musyawarah Besar (Mubes) Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialisme Amerika Serikat (Papfias) yang berlangsung pada 30 Oktober – 3 November 1964 di Hotel Duta Indonesia, nama Manikebu beberapa kali disebut dengan nada miring. Mereka ditempatkan sebagai “lawan” oleh peserta Papfias yang dihadiri lebih dari 500 orang dari berbagai daerah dan aneka organisasi.
Akhir bulan depan, tepatnya 30 Maret, akan diperingati Hari Film Nasional ke-73. Penetapan 30 Maret sebagai Hari Film Nasional ini berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 tahun 1999, yang mana pada tangal tersebut 30 Maret 1950 adalah untuk pertama kalinya sebuah film diproduksi oleh perusahaan Indonesia dan disutradarai oleh orang Indonesia. Biasanya banyak kegiatan yang dilakukan insan perfilman Indonesia untuk memperingati hari film tersebut.
Usaha membaca perjalanan sejarah perfilman Indonesia memang bisa dari beberapa sudut pandang. Dari sisi politikkah atau dari sudut estetika. Juga pada periode kapan sebuah analisis dimulai dan diakhiri. Pada masa awal kemerdekaan, pada masa Orde Lama, Orde Baru, sesudah Reformasi, dan seterusnya.
Tulisan ini sekadar mengisahkan sepenggal peristiwa sosial-politik yang ikut mewarnai perjalanan perfilman Indonesia, yakni Manifes Kebudayaan (Manikebu). Gerakan ini punya pengaruh dan diperhitungkan dalam sejarah politik kebudayaan kita saat itu, termasuk perfilman Indonesia.
Manifes Kebudayaan adalah gerakan kebudayaan yang mengusung humanisme universal. Mereka menolak kebebasan berekspresi dikorbankan untuk perjuangan politik. Gerakan ini diprakarsai oleh H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin (Arief Budiman), D.S Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Gerson Poyk ,Taufiq Ismail, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar dan Boen S. Oemarjati.
Gerakan ini merupakan respon dari teror-teror dalam ranah budaya yang dilancarkan oleh orang-orang yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Dalam surat kabar Berita Republik tahun 1963 dimuat teks Manifes Kebudayaan yang ditanda tangani pada 17 Agustus 1963 itu.
Bunyinya: “Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami. Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaa lain.
Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya. Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.”
Lalu apa kaitannya dengan dunia perfilman kita? Dalam laporan Musyawarah Besar (Mubes) Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialisme Amerika Serikat (Papfias) yang berlangsung pada 30 Oktober – 3 November 1964 di Hotel Duta Indonesia, nama Manikebu beberapa kali disebut dengan nada miring. Mereka ditempatkan sebagai “lawan” oleh peserta Papfias yang dihadiri lebih dari 500 orang dari berbagai daerah dan aneka organisasi.
tulis komentar anda