Kritik Postmodern dan Titik Kritis Birokrasi di Era New Normal
Kamis, 16 Juli 2020 - 07:04 WIB
Era pandemi ini telah menyediakan banyak waktu dan kurikulum bagi birokrasi untuk cepat belajar dan beradaptasi. Inilah titik kritis birokrasi di era new normal. Minimal ada dua pelajaran penting di masa pandemi ini, yaitu mengidentifikasi pekerjaan yang tidak lagi dibutuhkan dan mengidentifikasi pegawai yang tidak dapat bekerja pada pekerjaan yang membutuhkan kemampuan adaptasi kepada teknologi secara cepat. Pertama, tentang mengidentifikasi pekerjaan yang dibutuhkan. Hal ini menunjuk bahwa pandemi korona yang memaksa birokrat harus WFH, ternyata memang ada suatu posisi atau jabatan yang sebenarnya memang tidak ada pekerjaannya. Banyak posisi yang ditinggalkan dan birokrasi tetap dapat bekerja dengan normal.
Kedua, tentang mengidentifikasi pegawai yang tidak dapat bekerja pada pekerjaan yang membutuhkan kemampuan adaptasi teknologi menunjuk bahwa banyak pegawai, termasuk para pejabat yang tidak memiliki kecakapan untuk mengoperasikan teknologi. Pejabat yang gagap teknologi memang tidaklah sepenuhnya buruk. Namun, pada situasi lingkungan berubah dengan cepat dibutuhkan pejabat yang dapat mengikuti perubahan lingkungan dengan cepat pula. Pemanfaatan teknologi memang hanya sebagai alat untuk mengintroduksi perubahan, tetapi tanpa menguasai teknologi bagaimana mungkin seorang pejabat dapat beradaptasi? Selain itu, karakter yang dibutuhkan oleh birokrasi adalah karakter pejabat yang selalu ingin belajar. Jika seorang pejabat gagap teknologi, kemudian dia menyerah untuk tidak meningkatkan kapasitasnya, bagaimana mungkin dia akan bisa menjadi teladan dalam mendorong proses belajar birokrasi?
Birokrasi ke depan adalah birokrasi yang cerdas dan gesit. Birokrat yang ramah dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu keniscayaan, tetapi birokrat juga harus mendorong terciptanya keadilan sosial dalam kebijakan dan manajemen publik. Birokrat harus terus belajar untuk meningkatkan kualitas diri dan organisasinya dan masa pandemi korona bisa menjadi pemantik bagi birokrasi untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendasar sehingga birokrasi dapat bergerak secara cerdas dan gesit.
Kedua, tentang mengidentifikasi pegawai yang tidak dapat bekerja pada pekerjaan yang membutuhkan kemampuan adaptasi teknologi menunjuk bahwa banyak pegawai, termasuk para pejabat yang tidak memiliki kecakapan untuk mengoperasikan teknologi. Pejabat yang gagap teknologi memang tidaklah sepenuhnya buruk. Namun, pada situasi lingkungan berubah dengan cepat dibutuhkan pejabat yang dapat mengikuti perubahan lingkungan dengan cepat pula. Pemanfaatan teknologi memang hanya sebagai alat untuk mengintroduksi perubahan, tetapi tanpa menguasai teknologi bagaimana mungkin seorang pejabat dapat beradaptasi? Selain itu, karakter yang dibutuhkan oleh birokrasi adalah karakter pejabat yang selalu ingin belajar. Jika seorang pejabat gagap teknologi, kemudian dia menyerah untuk tidak meningkatkan kapasitasnya, bagaimana mungkin dia akan bisa menjadi teladan dalam mendorong proses belajar birokrasi?
Birokrasi ke depan adalah birokrasi yang cerdas dan gesit. Birokrat yang ramah dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu keniscayaan, tetapi birokrat juga harus mendorong terciptanya keadilan sosial dalam kebijakan dan manajemen publik. Birokrat harus terus belajar untuk meningkatkan kualitas diri dan organisasinya dan masa pandemi korona bisa menjadi pemantik bagi birokrasi untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendasar sehingga birokrasi dapat bergerak secara cerdas dan gesit.
(ras)
Lihat Juga :
tulis komentar anda