Politikus PKS Ini Bicara tentang Kopi Gayo di Tengah Pandemi
Rabu, 15 Juli 2020 - 21:04 WIB
JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Rafly Kande mengatakan, Aceh tidak bisa dipisahkan dari kopi. Dia melanjutkan, sejarah, budaya apalagi ekonomi masyarakat Aceh sangat erat dengan kopi.
"Allah SWT memberkahi lahan yang sangat subur dan cocok untuk kopi di dataran Tinggi Gayo yang meliputi Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues," ujar Rafly dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Rabu (15/7/2020).
Dia menambahkan, dengan lahan sekitar 120 ribu hektare, kebun kopi Arabika Gayo menjadi terluas di Asia, mayoritas kopi dari Gayo juga diekspor ke negara- negara maju, suatu anugerah yang sangat luar biasa yang telah dinikmati puluhan tahun oleh masyarakat Gayo. Bahkan pernah menjadi pertahanan yang sangat ampuh pada masa krisis moneter tahun 1998.
Pada masa itu, kata dia, ekspor kopi Gayo sangat menguntungkan karena menggunakan valuta asing sebagai pembayarnya. Situasi yang berbeda justru terjadi akhir-akhir ini, pandemi covid-19 benar- benar memukul semua sektor ekonomi, termasuk perdagangan kopi Gayo.
Rafly mengatakan, berhentinya aktivitas kedai-kedai kopi di Amerika, Eropa dan Asia yang dibarengi dengan berhentinya aktivitas di pelabuhan ekspor menciptakan kondisi yang sangat sulit bagi para pelaku kopi, ratusan ribu penduduk Gayo tidak lagi memiliki pemasukan utama, harga kopi jatuh bahkan hampir menyentuh angka minimum ongkos produksi.
"Sebagian warga memilih untuk menyimpan biji kopi kering (green bean) dengan harapan sewaktu aktivitas ekspor berjalan, mereka bisa mendapatkan kembali pemasukan dengan jumlah yang sama seperti sebelumnya," ungkap Pecinta Kopi Gayo ini.
Dia mengungkapkan, pada bulan pertama penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), masyarakat masih sanggup bertahan dengan menyimpan green bean, hingga kemudian mereka terpaksa menjual kepada para penampung dengan harga yang sangat rendah demi biaya hidup sehari- hari. Dia menuturkan, walaupun ada bantuan sosial dari pemerintah, tapi itu belum menjawab kebutuhan keluarga yang tidak memiliki pemasukan lain.
"Pada kondisi seperti inilah seharusnya negara hadir untuk membantu meringankan beban dan menyediakan solusi cepat agar warga bisa bertahan di tengah pandemi," kata Legislator asal daerah pemilihan Nanggroe Aceh Darussalam ini.
Dia menambahkan, pemerintah punya beberapa opsi untuk membantu para pelaku kopi di Gayo, misalnya dengan relaksasi kredit, bantuan langsung tunai atau perluasan penerapan sistem Resi Gudang (SRG). Ketiganya memiliki dampak yang berbeda baik dari sisi positif dan negatifnya.
"Allah SWT memberkahi lahan yang sangat subur dan cocok untuk kopi di dataran Tinggi Gayo yang meliputi Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues," ujar Rafly dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Rabu (15/7/2020).
Dia menambahkan, dengan lahan sekitar 120 ribu hektare, kebun kopi Arabika Gayo menjadi terluas di Asia, mayoritas kopi dari Gayo juga diekspor ke negara- negara maju, suatu anugerah yang sangat luar biasa yang telah dinikmati puluhan tahun oleh masyarakat Gayo. Bahkan pernah menjadi pertahanan yang sangat ampuh pada masa krisis moneter tahun 1998.
Pada masa itu, kata dia, ekspor kopi Gayo sangat menguntungkan karena menggunakan valuta asing sebagai pembayarnya. Situasi yang berbeda justru terjadi akhir-akhir ini, pandemi covid-19 benar- benar memukul semua sektor ekonomi, termasuk perdagangan kopi Gayo.
Rafly mengatakan, berhentinya aktivitas kedai-kedai kopi di Amerika, Eropa dan Asia yang dibarengi dengan berhentinya aktivitas di pelabuhan ekspor menciptakan kondisi yang sangat sulit bagi para pelaku kopi, ratusan ribu penduduk Gayo tidak lagi memiliki pemasukan utama, harga kopi jatuh bahkan hampir menyentuh angka minimum ongkos produksi.
"Sebagian warga memilih untuk menyimpan biji kopi kering (green bean) dengan harapan sewaktu aktivitas ekspor berjalan, mereka bisa mendapatkan kembali pemasukan dengan jumlah yang sama seperti sebelumnya," ungkap Pecinta Kopi Gayo ini.
Dia mengungkapkan, pada bulan pertama penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), masyarakat masih sanggup bertahan dengan menyimpan green bean, hingga kemudian mereka terpaksa menjual kepada para penampung dengan harga yang sangat rendah demi biaya hidup sehari- hari. Dia menuturkan, walaupun ada bantuan sosial dari pemerintah, tapi itu belum menjawab kebutuhan keluarga yang tidak memiliki pemasukan lain.
"Pada kondisi seperti inilah seharusnya negara hadir untuk membantu meringankan beban dan menyediakan solusi cepat agar warga bisa bertahan di tengah pandemi," kata Legislator asal daerah pemilihan Nanggroe Aceh Darussalam ini.
Dia menambahkan, pemerintah punya beberapa opsi untuk membantu para pelaku kopi di Gayo, misalnya dengan relaksasi kredit, bantuan langsung tunai atau perluasan penerapan sistem Resi Gudang (SRG). Ketiganya memiliki dampak yang berbeda baik dari sisi positif dan negatifnya.
tulis komentar anda