Politikus PKS Ini Bicara tentang Kopi Gayo di Tengah Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Rafly Kande mengatakan, Aceh tidak bisa dipisahkan dari kopi. Dia melanjutkan, sejarah, budaya apalagi ekonomi masyarakat Aceh sangat erat dengan kopi.
"Allah SWT memberkahi lahan yang sangat subur dan cocok untuk kopi di dataran Tinggi Gayo yang meliputi Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues," ujar Rafly dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Rabu (15/7/2020).
Dia menambahkan, dengan lahan sekitar 120 ribu hektare, kebun kopi Arabika Gayo menjadi terluas di Asia, mayoritas kopi dari Gayo juga diekspor ke negara- negara maju, suatu anugerah yang sangat luar biasa yang telah dinikmati puluhan tahun oleh masyarakat Gayo. Bahkan pernah menjadi pertahanan yang sangat ampuh pada masa krisis moneter tahun 1998.
Pada masa itu, kata dia, ekspor kopi Gayo sangat menguntungkan karena menggunakan valuta asing sebagai pembayarnya. Situasi yang berbeda justru terjadi akhir-akhir ini, pandemi covid-19 benar- benar memukul semua sektor ekonomi, termasuk perdagangan kopi Gayo.
Rafly mengatakan, berhentinya aktivitas kedai-kedai kopi di Amerika, Eropa dan Asia yang dibarengi dengan berhentinya aktivitas di pelabuhan ekspor menciptakan kondisi yang sangat sulit bagi para pelaku kopi, ratusan ribu penduduk Gayo tidak lagi memiliki pemasukan utama, harga kopi jatuh bahkan hampir menyentuh angka minimum ongkos produksi.
"Sebagian warga memilih untuk menyimpan biji kopi kering (green bean) dengan harapan sewaktu aktivitas ekspor berjalan, mereka bisa mendapatkan kembali pemasukan dengan jumlah yang sama seperti sebelumnya," ungkap Pecinta Kopi Gayo ini.
Dia mengungkapkan, pada bulan pertama penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), masyarakat masih sanggup bertahan dengan menyimpan green bean, hingga kemudian mereka terpaksa menjual kepada para penampung dengan harga yang sangat rendah demi biaya hidup sehari- hari. Dia menuturkan, walaupun ada bantuan sosial dari pemerintah, tapi itu belum menjawab kebutuhan keluarga yang tidak memiliki pemasukan lain.
"Pada kondisi seperti inilah seharusnya negara hadir untuk membantu meringankan beban dan menyediakan solusi cepat agar warga bisa bertahan di tengah pandemi," kata Legislator asal daerah pemilihan Nanggroe Aceh Darussalam ini.
Dia menambahkan, pemerintah punya beberapa opsi untuk membantu para pelaku kopi di Gayo, misalnya dengan relaksasi kredit, bantuan langsung tunai atau perluasan penerapan sistem Resi Gudang (SRG). Ketiganya memiliki dampak yang berbeda baik dari sisi positif dan negatifnya.
"Sistem Resi Gudang dapat disebut sebagai opsi terbaik karena memberikan solusi yang adil kepada semua pihak, hal ini sebenarnya sudah memiliki ketentuan hukum yang kuat yaitu UU Nomor 9 tahun 2006 Sistem Resi Gudang diperbaharui dengan UU Nomor 9 tahun 2011," katanya.
Dengan mengantongi Resi Gudang, lanjut dia, para petani kopi dapat memperoleh dana tunai dari bank yang ditunjuk, sehingga mereka dapat menggunakan untuk kebutuhan keluarga sehari-hari. Kata dia, semua aturan dan mekanisme dalam penerapan SRG ini sudah ada dan dipahami oleh pihak- pihak terkait, hanya diperlukan willingness yang lebih kuat dari pembuat kebijakan agar dapat ditingkatkan kapasitas dan jangkauannya.
"Menurut penuturan para pelaku kopi di Gayo, pada saat ini sudah ada 4 gudang yang ditunjuk menjadi Sistem Resi Gudang, dengan kapasitas masing- masing sekitar seribu ton biji kopi kering, sehingga jika diakumulasikan dapat menampung maksimum empat ribu ton biji kopi pada saat bersamaan, sebuah angka yang sangat signifikan yang apabila dikonversi menjadi uang tunai sekitar Rp 200 Miliar," ungkapnya.
Dana sebanyak itu, kata dia, walaupun secara aturan hanya 70% yang dapat dicairkan untuk petani pemegang resi pasti akan berdampak sangat besar dan memberikan multiple effect bagi kehidupan masyarakat Gayo khususnya dan tentunya akan mempengaruhi daerah- daerah sekitarnya yang secara ekonomi berhubungan. "Sayangnya, realita yang terjadi di Gayo tidak demikian," ujarnya.
Dia menjelaskan, penerapan SRG belum memberikan dampak yang signifikan dan luas kepada masyarakat Gayo karena beberapa faktor, di antaranya masih rendahnya plafon pembiayaan yang dapat disalurkan oleh Bank yang ditunjuk yaitu maksimum Rp 20 Miliar.
"Dengan dana segitu, jumlah green bean yang dapat disimpan ke gudang pengelola resi hanya sekitar 560 ton (asumsi harga green bean termurah Rp50.000/kg). Jumlah tersebut sangat tidak seimbang dengan produksi kopi Arabika Gayo yang mencapai 70 ribu ton per tahun," ujarnya.
Kemudian, bank yang ditunjuk hanya satu, yaitu Bank Rakyat Indonesia, padahal jika Bank- bank lain diberi kesempatan yang sama terutama Bank Aceh dengan sistem syariahnya pasti akan lebih menguntungkan bagi masyarakat.
Lalu, yang boleh memperoleh resi gudang hanya kelompok tani/koperasi, tidak boleh individu (usaha pribadi). Selain itu, syarat batas minimum volume kopi untuk disimpan yaitu 1 ton. Umumnya keluarga di Gayo menyimpan kopi di rumah sejumlah 100 Kg, mereka harus menggabungkan stok kopinya dengan keluarga lain atau membentuk kelompok lain, sebuah upaya yang tidak mudah dan berlangsung cepat.
Sebagai wakil rakyat Aceh di Komisi VI DPR RI yang mengawasi ruang lingkup tugas bidang Perindustrian, Perdagangan, Koperasi UKM, BUMN, Investasi dan Standarisasi Nasional, dirinya merasa terpanggil untuk dapat menyuarakan kepentingan masyarakat Gayo dalam perluasan penerapan SRG ini.
"Insya Allah, jika upaya ini didukung oleh segenap masyarakat Aceh, para anggota forbes, lebih khusus lagi pemerintah Aceh dengan BUMD-nya, perjuangan ini akan semakin dikuatkan dan dapat diterima oleh pembuat kebijakan di tingkat nasional dalam hal ini mitra kami kerja kami Komis VI DPR RI, Kementerian Keuangan dan OJK," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, ada beberapa rekomendasi dan kebutuhan yang kita harus perjuangkan bersama- sama dalam rangka penguatan dan sustainibility pelaku kopi di Gayo antara lain peningkatan plafon pembiayaan untuk Resi Gudang, dari yang sekarang masih di kisaran Rp20 Miliar menjadi minimal Rp200 Miliar, sesuai dengan kapasitas gudang- gudang yang sudah disahkan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI)-Kemendag.
"Kita juga harus memperjuangkan agar ekspor Kopi Gayo harus dapat dilakukan melalui pelabuhan- pelabuhan yang ada di Aceh, sehingga akan lebih menjamin kualitas dan standar seperti yang diinginkan para buyer, hal tersebut juga akan memberikan dampak signifikan bagi perputaran uang daerah," imbuhnya.
Dia melanjutkan, para pelaku ekspor Kopi Gayo juga menginginkan pelabuhan yang ditunjuk berupa dry port, dimana komoditas yang akan dikirim tidak dapat lagi diutak atik dan sesuai dengan yang dilepaskan oleh produsen. Kehadiran SRG yang lebih luas juga diyakininya sangat bermanfaat untuk menjaga harga kopi tidak jatuh dan para petani tidak terjebak untuk menggantungkan kehidupannya kepada para tengkulak dan lintah darat yang tidak sesuai dengan nilai- nilai keadilan dan keislaman.
"Mudah- mudahan tulisan ini mengilhami banyak pihak untuk sama- berjuang agar kebangkitan ekonomi Aceh menghadapi pandemi dapat diraih dengan mengandalkan Kopi Gayo. Masyarakat Aceh pada umumnya juga akan terbantu karena perputaran uang yang besar serta tidak hanya berharap dari APBN/APBA yang penggunaannya lebih tepat untuk pembiayaan pembangunan dan infrastruktur," pungkasnya.
"Allah SWT memberkahi lahan yang sangat subur dan cocok untuk kopi di dataran Tinggi Gayo yang meliputi Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues," ujar Rafly dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Rabu (15/7/2020).
Dia menambahkan, dengan lahan sekitar 120 ribu hektare, kebun kopi Arabika Gayo menjadi terluas di Asia, mayoritas kopi dari Gayo juga diekspor ke negara- negara maju, suatu anugerah yang sangat luar biasa yang telah dinikmati puluhan tahun oleh masyarakat Gayo. Bahkan pernah menjadi pertahanan yang sangat ampuh pada masa krisis moneter tahun 1998.
Pada masa itu, kata dia, ekspor kopi Gayo sangat menguntungkan karena menggunakan valuta asing sebagai pembayarnya. Situasi yang berbeda justru terjadi akhir-akhir ini, pandemi covid-19 benar- benar memukul semua sektor ekonomi, termasuk perdagangan kopi Gayo.
Rafly mengatakan, berhentinya aktivitas kedai-kedai kopi di Amerika, Eropa dan Asia yang dibarengi dengan berhentinya aktivitas di pelabuhan ekspor menciptakan kondisi yang sangat sulit bagi para pelaku kopi, ratusan ribu penduduk Gayo tidak lagi memiliki pemasukan utama, harga kopi jatuh bahkan hampir menyentuh angka minimum ongkos produksi.
"Sebagian warga memilih untuk menyimpan biji kopi kering (green bean) dengan harapan sewaktu aktivitas ekspor berjalan, mereka bisa mendapatkan kembali pemasukan dengan jumlah yang sama seperti sebelumnya," ungkap Pecinta Kopi Gayo ini.
Dia mengungkapkan, pada bulan pertama penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), masyarakat masih sanggup bertahan dengan menyimpan green bean, hingga kemudian mereka terpaksa menjual kepada para penampung dengan harga yang sangat rendah demi biaya hidup sehari- hari. Dia menuturkan, walaupun ada bantuan sosial dari pemerintah, tapi itu belum menjawab kebutuhan keluarga yang tidak memiliki pemasukan lain.
"Pada kondisi seperti inilah seharusnya negara hadir untuk membantu meringankan beban dan menyediakan solusi cepat agar warga bisa bertahan di tengah pandemi," kata Legislator asal daerah pemilihan Nanggroe Aceh Darussalam ini.
Dia menambahkan, pemerintah punya beberapa opsi untuk membantu para pelaku kopi di Gayo, misalnya dengan relaksasi kredit, bantuan langsung tunai atau perluasan penerapan sistem Resi Gudang (SRG). Ketiganya memiliki dampak yang berbeda baik dari sisi positif dan negatifnya.
"Sistem Resi Gudang dapat disebut sebagai opsi terbaik karena memberikan solusi yang adil kepada semua pihak, hal ini sebenarnya sudah memiliki ketentuan hukum yang kuat yaitu UU Nomor 9 tahun 2006 Sistem Resi Gudang diperbaharui dengan UU Nomor 9 tahun 2011," katanya.
Dengan mengantongi Resi Gudang, lanjut dia, para petani kopi dapat memperoleh dana tunai dari bank yang ditunjuk, sehingga mereka dapat menggunakan untuk kebutuhan keluarga sehari-hari. Kata dia, semua aturan dan mekanisme dalam penerapan SRG ini sudah ada dan dipahami oleh pihak- pihak terkait, hanya diperlukan willingness yang lebih kuat dari pembuat kebijakan agar dapat ditingkatkan kapasitas dan jangkauannya.
"Menurut penuturan para pelaku kopi di Gayo, pada saat ini sudah ada 4 gudang yang ditunjuk menjadi Sistem Resi Gudang, dengan kapasitas masing- masing sekitar seribu ton biji kopi kering, sehingga jika diakumulasikan dapat menampung maksimum empat ribu ton biji kopi pada saat bersamaan, sebuah angka yang sangat signifikan yang apabila dikonversi menjadi uang tunai sekitar Rp 200 Miliar," ungkapnya.
Dana sebanyak itu, kata dia, walaupun secara aturan hanya 70% yang dapat dicairkan untuk petani pemegang resi pasti akan berdampak sangat besar dan memberikan multiple effect bagi kehidupan masyarakat Gayo khususnya dan tentunya akan mempengaruhi daerah- daerah sekitarnya yang secara ekonomi berhubungan. "Sayangnya, realita yang terjadi di Gayo tidak demikian," ujarnya.
Dia menjelaskan, penerapan SRG belum memberikan dampak yang signifikan dan luas kepada masyarakat Gayo karena beberapa faktor, di antaranya masih rendahnya plafon pembiayaan yang dapat disalurkan oleh Bank yang ditunjuk yaitu maksimum Rp 20 Miliar.
"Dengan dana segitu, jumlah green bean yang dapat disimpan ke gudang pengelola resi hanya sekitar 560 ton (asumsi harga green bean termurah Rp50.000/kg). Jumlah tersebut sangat tidak seimbang dengan produksi kopi Arabika Gayo yang mencapai 70 ribu ton per tahun," ujarnya.
Kemudian, bank yang ditunjuk hanya satu, yaitu Bank Rakyat Indonesia, padahal jika Bank- bank lain diberi kesempatan yang sama terutama Bank Aceh dengan sistem syariahnya pasti akan lebih menguntungkan bagi masyarakat.
Lalu, yang boleh memperoleh resi gudang hanya kelompok tani/koperasi, tidak boleh individu (usaha pribadi). Selain itu, syarat batas minimum volume kopi untuk disimpan yaitu 1 ton. Umumnya keluarga di Gayo menyimpan kopi di rumah sejumlah 100 Kg, mereka harus menggabungkan stok kopinya dengan keluarga lain atau membentuk kelompok lain, sebuah upaya yang tidak mudah dan berlangsung cepat.
Sebagai wakil rakyat Aceh di Komisi VI DPR RI yang mengawasi ruang lingkup tugas bidang Perindustrian, Perdagangan, Koperasi UKM, BUMN, Investasi dan Standarisasi Nasional, dirinya merasa terpanggil untuk dapat menyuarakan kepentingan masyarakat Gayo dalam perluasan penerapan SRG ini.
"Insya Allah, jika upaya ini didukung oleh segenap masyarakat Aceh, para anggota forbes, lebih khusus lagi pemerintah Aceh dengan BUMD-nya, perjuangan ini akan semakin dikuatkan dan dapat diterima oleh pembuat kebijakan di tingkat nasional dalam hal ini mitra kami kerja kami Komis VI DPR RI, Kementerian Keuangan dan OJK," katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, ada beberapa rekomendasi dan kebutuhan yang kita harus perjuangkan bersama- sama dalam rangka penguatan dan sustainibility pelaku kopi di Gayo antara lain peningkatan plafon pembiayaan untuk Resi Gudang, dari yang sekarang masih di kisaran Rp20 Miliar menjadi minimal Rp200 Miliar, sesuai dengan kapasitas gudang- gudang yang sudah disahkan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI)-Kemendag.
"Kita juga harus memperjuangkan agar ekspor Kopi Gayo harus dapat dilakukan melalui pelabuhan- pelabuhan yang ada di Aceh, sehingga akan lebih menjamin kualitas dan standar seperti yang diinginkan para buyer, hal tersebut juga akan memberikan dampak signifikan bagi perputaran uang daerah," imbuhnya.
Dia melanjutkan, para pelaku ekspor Kopi Gayo juga menginginkan pelabuhan yang ditunjuk berupa dry port, dimana komoditas yang akan dikirim tidak dapat lagi diutak atik dan sesuai dengan yang dilepaskan oleh produsen. Kehadiran SRG yang lebih luas juga diyakininya sangat bermanfaat untuk menjaga harga kopi tidak jatuh dan para petani tidak terjebak untuk menggantungkan kehidupannya kepada para tengkulak dan lintah darat yang tidak sesuai dengan nilai- nilai keadilan dan keislaman.
"Mudah- mudahan tulisan ini mengilhami banyak pihak untuk sama- berjuang agar kebangkitan ekonomi Aceh menghadapi pandemi dapat diraih dengan mengandalkan Kopi Gayo. Masyarakat Aceh pada umumnya juga akan terbantu karena perputaran uang yang besar serta tidak hanya berharap dari APBN/APBA yang penggunaannya lebih tepat untuk pembiayaan pembangunan dan infrastruktur," pungkasnya.
(maf)